Bagi warga Bogor seperti penulis, juga mungkin bagi warga di wilayah bodetabek (Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi) lainnya, hampir tidak memiliki kepentingan apapun terhadap bermunculannya para kandidat gubenur daerah ibukota Jakarta yang mulai ramai menghiasi berbagai media akhir-akhir ini dan akan makin semarak di hari-hari mendatang.Â
Akan tetapi jika ditelisik lebih jauh sebenarnya persolanan Jakarta ada juga hubungannya dengan persoalan daerah-daerah sekitarnya yaitu kawasan bodetabek. Persoalan banjir misalnya, tidak bisa dilepaskan dari kondisi alam wilayah Bogor dan Depok yang secara geografis memang posisinya lebih tinggi dibanding Jakarta. Air yang tidak tertangkap oleh tanah resapan, akan langsung meluncur ke tempat yang lebih rendah. Sungai-sungai yang bermuara ke Jakarta akan lebih cepat meluap dan menyerbu ibukota dengan segala isinya termasuk sampah dengan berbagai jenis dan volume berbilang ribuan kubik.Â
Bukan hanya benda cair yang mengalir ke Jakarta, setiap harinya tentu saja jutaan orang dan ribuan kendaraan memasuki ibukota yang sudah pasti menambah sesaknya pusat pemerintahan di republik ini.Â
Pemimpin Jakarta, entah itu Ahok yang bernama lengkap Basuki Tjahayadi Purnama atau "betepe" yang saat ini masih menjabat dan sudah menyatakan diri akan maju kembali menjadi gubernur untuk periode kedua, mengingat polling popularitas maupun elektabilitasnya untuk sementara waktu yang dirilis oleh beberapa lembaga survey terpercaya, masih jauh di atas kandidat lain yang mencoba menantang pertanahana, baik secara terang-terangan maupun malu-malu dan ada juga yang masih diselimuti keraguan meskipun cukup mendapat dukungan.
Bagi beberapa kepala daerah yang masih menjabat di daerah lain atau pejabat publik lainnya yang akan ikut berebut posisi DKI-1 tidaklah mudah untuk memutuskan karena aturan yang sekarang berbeda dengan 5 tahun yang lalu. Dulu, kepala daerah dan pejabat publik termasuk anggota DPR/DPD/DPRD boleh cuti dari jabatan yang didudukinya sejak pendaftaran diterima Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) setempat sebagai penyelenggara pilkada. Akan tetapi berdasarkan Peraturan KPU Nomor 12 Tahun 2015, pejabat publik yang akan mencalonkan menjadi kepala daerah harus menanggalkan jabatannya secara permanen alias berhenti total, dan ketika tidak terpilih maka tidak bisa kembali ke jabatan semula.Â
PKPU No 12 Tahun 2015, Pasal 4 antara lain menyatakan bahwa calon kepala daerah berhenti dari jabatannya bagi gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota atau wakil walikota yang mencalonkan diri di daerah lain sejak ditetapkan sebagai calon. Selanjutnya calon kepala daerah yang sedang menjabat sebagai anggota legislatif memberitahukan pencalonannya kepada pimpinan DPR/DPD/DPRD dan mengundurkan diri dari keanggotaannya dan tidak dapat ditarik kembali sejak ditetapkan sebagai calon. Sedangkan bagi anggota TNI, Polri dan PNS juga harus mengundurkan diri dan tidak dapat ditarik kembali sejak ditetapkan sebagai calon. Selain itu, ketentuan yang sama berlaku bagi pejabat atau pegawai BUMN atau BUMD. Sejak ditetapkan sebagai calon maka resiko kehilangan jabatan sebelumnya sudah pasti terjadi. Mungkin peraturan ini pula yang membuat beberapa tokoh yang "dikandidatkan" dan didorong-dorong, merasa ragu dan tidak mau berspekulasi.
Bagi penulis, siapapun yang akan maju secara resmi nanti untuk memperebutkan simpati warga DKI tahun depan, selayaknya harus memperhatikan daerah penyangga yang sedikit banyak memiliki peran penting dalam mengurai dan mengatasi persolan pokok Jakarta yaitu masalah banjir dan kemacetan.
Meskipun warga Bogor (kota maupun kabupaten) tidak ikut memilih Gubernur Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta tahun depan, akan tetapi pemerintahan maupun rakyat dari dua daerah ini sangat berkepentingan dengan siapa yang harus terpilih jadi Gubernur DKI yang akan datang. Mengapa? Minimal ada tiga alasan yg tidak boleh diabaikan oleh Gubernur DKI ke depan.Â
Pertama, masalah mengatasi banjir. Istilah banjir kiriman dari Bogor memang faktanya demikian karena secara geografis, permukaan tanah wilayah Bogor lebih tinggi dibanding DKI. Hukum alamnya adalah kemana air mengalir ke tempat rendahlah dia berlabuh. Akan tetapi pemerintah DKI tidak bisa berpangku tangan mengatasi penyebabnya. Salah satu penyebabnya sudah diketahui umum dimana wilayah resapan air di daerah puncak misalnya, villa-villa dan rumah-rumah hunian lainnya mayoritas pemiliknya adalah warga DKI.
Bendung Katulampa adalah barometer dan petunjuk nyata betapa persoalan di hulu menjadi masalah di Jakarta. Maka sangatlah wajar apabila pemimpin DKI memperhatikan warganya dengan memberikan konpensasi dana pembangunan infrastruktur untuk mengatasi pemulihan wilayah resapan di wilayah-wilayah yang banyak dimiliki oleh warga DKI. Jadi pilihlah gubernur DKI yang mau berkomitmen untuk mengatasi banjir dari hulunya yaitu dari Bogor dengan tidak ragu-ragu turut membiayai upaya-upaya daerah setempat menahan air masuk Jakarta.
Kedua, masalah sampah dan kebersihan. Sungai Ciliwung yang bermuara ke Jakarta juga kerap membawa sampah. Bukan tidak ada upaya di Kota maupun Kabupaten Bogor baik dalam penganggaran maupun berbagai program mengatasi kebersihan dan sosialisasi agar warga Bogor tidak membuang sampah ke sungai. Akan tetapi dengan PAD yang relatif kecil dibanding DKI maka tidak cukup banyak dana yang bisa dialokasikan dalam APBD dari kedua daerah ini untuk pengelolaan sampah baik dengan cara pengolahan sampah di wilayah setempat dengan sistem 3R (reuse, reduce dan recycle) maupun dengan cara modern seperti sanitary landfild. Terlebih kedua daerah ini sedang bermasalah dengan TPA Galuga yang sudah harus direlokasi ke TPST Nambo yang belum kunjung selesai. Jadi sangat wajar juga apabila program kebersihan dan mengatasi masalah sampah di kedua daerah ini mendapat sokongan dana yang signifikan dari pemerintah DKI. Hanya gubernur yang memahami dan berkomitmen terhadap masalah-masalah ini yang layak menjadi pemimpin Jakarta di mata orang Bogor. Â
Ketiga, masalah kemacetan. Perumahan-perumahan, apartemen-apartemen yang penghuninya mayoritas bekerja di Jakarta. Lihat saja setiap pagi antrian kendaraan roda empat di Gerbang Toll Baranagsiang maupun Sentul Selatan dan Cibinong serta Ciawi sedemikian padatnya. Pemandangan yang sama terjadi di setiap sore hingga petang. Demikian pula ratusan bus dan omprengan setiap pagi  mengalir deras dari Bogor ke Jakata dan sebaliknya terjadi di setiap sore hingga malam. Tentu saja DKI berkepentingan untuk turut serta menyediakan angkutan massal yang nyaman dan aman sehingga mereka tidak perlu lagi membawa kendaraan pribadinya yang sedikit banyak berkontribusi memacetkan Jakarta.Â