Tak sempat terlintas dalam benak bahwa saya bisa bertandang ke SMAN 2 Trenggalek. Salah satu sekolah istimewa jika ditinjau dari letak geografis. Istimewa karena keberadaannya di antara hamparan sawah yang hijau dan tegaknya bukit. Asri dan indah adalah dua kata yang saya kira benar-benar mampu melukiskan keadaan lingkungan sekitar sekolah.Â
Bisa bertandang ke sekolah tersebut tentu bukanlah suatu kebetulan. Bukan kebetulan karena saya murid, guru ataupun karyawan di sana melainkan dalam rangka menepati sepucuk undangan. Undangan untuk berbagi seputar esai dan editing naskah bersama segenap guru dan karyawan di lembaga tersebut.Â
Perlu ditegaskan di muka, sejujurnya, undangan tersebut ditujukkan khusus untuk Prof. Naim (sapaan akrab: Prof. Dr. Ngainun Naim, M. H. I.) akan tetapi di waktu yang bersamaan beliau memiliki agenda di Jakarta. Alhasil, beliau melimpahkan kesempatan itu kepada bang Woks. Bang Woks menandaskan, bahwa proses pengalihan mandat itu dilangsungkan melalui panggilan telepon.Â
Lebih lanjut dikatakan, mulanya bang Woks bimbang dan ragu akan menerima mandat yang diberikan. Rasa bimbang dan ragu bercongkol kuat di dalam hati, mengingat di waktu yang bersamaan ada tugas yang harus dijalankan di tempat kerja barunya. Baru karena memang beberapa bulan lalu baru masuk, dan kini masih dalam proses training.Â
Namun kebimbangan dan keraguan itu seketika pupus manakala mendapat pencerahan dari Prof. Naim. Kesadarannya tersingkap: sebagai seorang santri tentu harus taat kepada sang guru. Ada keyakinan yang diaminkan dan digenggam bahwa senantiasa ada kebaikan dan keberkahan di balik amanah yang diberikan sang guru.Â
Tak lama dari sana, lantas bang Woks mengirimkan saya voice note via WhatsApp. Intinya, ia mengajak (saya memahaminya sebagai sebuah tawaran) saya untuk ikut mendampinginya dalam menunaikan amanah tersebut. Itu pun sifatnya tidak memaksa. Boleh ikut atau tidak. Jika tidak berkenan ia akan berangkat sendiri, tegasnya.Â
Mendapatkan kabar tersebut tentu saya tidak langung menyanggupinya. Saya berusaha mececar mengenai detail dan kejelasan terkait konsep acara tersebut. Ada diskusi panjang yang kami pintal via chatting. Saya berusaha memastikan tanggal, jadwal kegiatan dan ruang lingkup materi yang akan didedah ke muka. Yang tak kalah penting, saya harus memastikan diri untuk mendapatkan izin dari ketua yayasan di mana saya mengabdi.Â
Di lain sisi saya menangkap sinyalmen bahwa momentum ini semacam--kesempatan baik--lanjutan dari program Safari Literasi SPK Tulungagung. Program menebar virus akan pentingnya menanamkan, mentradisikan dan menjadi masyakarat literat ke berbagai jenjang dunia pendidikan. Salah satu program yang dalam pelaksanaanya di (turun ke-) lapangan memang lebih kerap dinahkodai oleh saya dan bang Woks.Â
Kendati begitu, dalam pandangan saya, kesempatan ini tetap ada perbedaan mendasar. Perbedaan itu tampak nyata pada partisipan atau audiensi yang hadir. Selama ini program Safari Literasi fokus menggembleng para siswa baik yang duduk di bangku sekolah menengah ataupun atas. Sedangkan partisipan edisi ini menghadirkan dewan guru dan karyawan yang luar biasa.Â
Luar biasa jika ditinjau dari segi pertautan usia, pengalaman dan pengabdian boleh dibilang menjadi jurang pemisah yang menganga. Tidak mungkin kami lancang dan mampu nguyahi segara. Ibarat anak bau kencur yang berbicara lantang di depan orang tua yang telah banyak makan garam kehidupan. Bukan hanya sungkan namun kami (saya dan bang Woks) takut dicap tidak sopan, kualat dan lain sebagainya. Tentu ini adalah tembok tantangan yang harus kami taklukkan.Â