Judul Buku: The Legend of Blendrang Kenangan, Pengalaman, dan Kesan Tak Terlupakan
Penulis: Aan Choirul Anam, dkk.
Penerbit: Akademia Pustaka
Tahun Terbit: 2020
Tebal Halaman: viii + 136 halaman
ISBN: 978-623-6704-11-0
Harga: Rp. 50.000,-
Agaknya tidaklah berlebihan jikalau saya menyebutkan buku antologi The Legend of Blendrang Kenangan, Pengalaman, dan Kesan Tak Terlupakan sebagai aktualisasi diri dari para penulisnya. Aktualisasi diri yang berlambar pada kesadaran bahwa manusia adalah makhluk yang kompleks. Sarat akan himpunan pengalaman, pengetahuan dan pemikiran serta keterampilan yang menjadikannya sebagai narator ulung secara tidak sadar.Â
Dalam konteks ketidaksadaran itu pula manusia berabad-abad hanyut dalam budaya cerita verbal. Mengoleksi dan berbagi pengalaman, pengetahuan dan pemikiran dipersepsikan cukup secara verbal. Sehingga tak ayal jika kemudian bentuknya selalu hadir dalam versi distorsi dan reduksi "katanya" menurut simpang siur.Â
Padahal, jika disadari lebih awal dan menimbang-nimbang orientasi kemanfaatan jangka panjang, keterampilan sebagai narator ulung itu akan jauh lebih efektif (bermanfaat bagi diri sendiri dan khalayak ramai; mendatangkan kebaikan yang tidak terduga; bertumpu pada barometer proses menjadi) manakala mentransformasikan wujudnya dalam bentuk cerita versi tulisan.Â
Tegasnya, dalam hal ini saya melihat buku ini hadir dalam upaya menjungkirbalikkan budaya cerita secara lisan menjadi bercerita melalui tulisan. 29 penulis buku ini tampaknya mengamini pandangan Hernowo Hasyim dalam buku Andaikan Buku Itu Sepotong Pizza (2003), bahwa aktivitas menulis itu bukanlah sekadar pertautan laten antara tinta dan kertas, melainkan proses menjadi dan melampaui  batas-batas stagnan.Â
Yang dimaksud menulis sebagai proses menjadi dan melampaui batas-batas stagnan adalah memposisikan menulis sebagai media yang efektif tatkala kita membutuhkan pemecahan atas satu persoalan, sehingga menemukan banyak hal luar biasa yang dapat memberdayakan penulisnya. Singkatnya, melalui membaca dan menulis dapat menjadikan penggiatnya berubah dan tumbuh-kembang.
Perubahan dan tumbuh-kembang itu hanya akan terejawantah manakala kita konsisten mentransformasikan cerita verbal ke dalam tulisan. Sebagai langkah awal ideal, Hernowo dalam buku Quantum Writing (2003) menganjurkan kita untuk menuliskan sesuatu hal yang dekat dan kita pahami. Misalnya tentang diri sendiri, rutinitas sehari-hari yang dijalani, pengalaman pribadi, ataupun hobi yang kita sukai.Â
Inspirasi itu pulalah yang kemudian mendorong para kontributor buku antologi ini untuk menuliskan pengalaman, pengetahuan dan pemikiran personalitasnya tentang Blendrang. Bagi khalayak ramai Blendrang itu mungkin sebatas makanan sederhana. Sejenis sayur yang berkali-kali dipanaskan dan takdirnya berakhir dengan wujud feses.Â
Namun bagi para penulis yang peka atas segala hal yang ada di hadapan, kesederhanaan sayur Blendrang itu adalah ide yang harus diabadikan. Selain menyimpan cerita luar biasa yang mewarnai hidup masing-masing, ada banyak tinjauan, pendekatan dan latar belakang yang mengitarinya sehingga menjadi alasan mengapa cerita yang ia tuliskan itu unik.
Secara umum, buku antologi yang menghimpun 29 cerita ini dapat dikategorikan menjadi tiga sudut pandang: Blendrang dipandang sebagai makanan khas daerah (positif dan negatifnya), keterkaitan Blendrang dengan perjuangan dan Blendrang dipandang dari ragam jenis komponen yang meliputinya.Â