Mohon tunggu...
Roni Ramlan
Roni Ramlan Mohon Tunggu... Freelancer, Guru - Pembelajar bahasa kehidupan

Pemilik nama pena Dewar alhafiz ini adalah perantau di tanah orang. Silakan nikmati pula coretannya di https://dewaralhafiz.blogspot.com dan https://artikula.id/dewar/enam-hal-yang-tidak-harus-diumbar-di-media-sosial/.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Prof. Ngainun Naim: Sosok Teladan yang Murah Ilmu

22 Maret 2022   14:31 Diperbarui: 22 Maret 2022   14:43 1814
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto dokumentasi pribadi

Kabar terbaru yang santer beredar di kalangan civitas akademis dan penggiat literasi adalah turunnya surat keputusan (SK) guru besar Dr. Ngainun Naim. Tentu ini adalah kabar gembira yang sungguh dinantikan. Kabar gembira yang jauh-jauh hari telah diprediksikan. Baik oleh kalangan civitas akademis, mahasiswa dan penggiat literasi tingkat nasional. Utamanya, euforia itu disambut hangat keluarga besar Universitas Islam Negeri Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung.

Kabar penetapan gelar Profesor untuk Dr. Ngainun Naim dalam pengertian sebagai kabar gembira yang dinantikan berhubungan banyak dengan profesi kerja beliau selaku dosen. Sehingga ketepatan itu spontanitas berdampak pada penambahan kuantitas guru besar yang dimiliki oleh Kampus UIN SATU Tulungagung. Penambahan kuantitas guru besar itu tentu menjadi salah satu faktor yang turut mendorong kemajuan, meningkatkan kualitas dan peradaban keilmuan sekaligus menguatkan identitas UIN SATU Tulungagung di mata publik yang dikenal sebagai kampus dakwah dan peradaban.

Mengapa demikian? Sebab, idealnya sebuah perguruan tinggi negeri ataupun swasta selalu mengidam-idamkan hadirnya sosok representatif secara gelar akademik. Ada persepsi yang mengerak di mayoritas kepala akademisi, bahwa tercapainya gelar tertinggi akademik (Profesor) akan berdampak pada citra kampus: kualitas dan peradaban keilmuan yang terakomodir dengan baik- di dalam dan ruang publik. Lantas tercapainya gelar itu menjadi barometer kebanggaan secara personal, ketajaman signifikansi keilmuan maupun kelembagaan. Dan itu alasan mengapa setiap perguruan tinggi selalu memacu seluruh sumber daya manusia yang tersedia; akademisi yang tertampung untuk terus meningkatkan produktivitas kerja, disiplin dalam berkarya dan pengabdian di masyarakat.

Sedang dalam konteks kabar gembira yang jauh-jauh hari telah diprediksikan mengerucut pada penyematan gelar akademik tertinggi untuk Dr. Ngainun Naim, sebagai Profesor, secara verbal sebenarnya sudah lama dikumandangkan. Titel itu telah lama disematkan kepada beliau, mendahului SK legalitas Mentri yang diturunkan. Yang demikian dibuktikan dengan derasnya hilirisasi penyebutan nama Dr. Ngainun Naim yang selalu diawali dengan imbuhan titel Profesor. Prof. Naim lebih tepatnya. 

Bahkan titel profesor itu telah populer di semua kalangan yang mengenalnya: civitas akademis, mahasiswa, alumni-mahasiswa, partisipan: seminar, pelatihan dan lokakarya kepenulisan-maupun khalayak orang yang mengakusisi diri sebagai anak ideologis beliau yang terlahir dari lokomotif grup menulis yang diinisiasi dan dinaunginya. Tak terkecuali para penghuni grup Sahabat Pena Kita cabang Tulungagung yang telah teramat latah memanggil beliau dengan sebutan, Prof. Naim. 

Tentu di luar sana masih banyak lagi grup literasi yang melibatkan Prof. Naim di dalamnya. Itu artinya, kita tidak mampu menerka-nerka secara lancang tentang seberapa banyak Naimisme (baca: anak ideologis; orang yang telah terpantik secara intelektualitas oleh pemikiran Prof. Naim, jika boleh saya menyebutnya) yang tersebar di pelosok negeri Indonesia. Terkait seberapa banyak kuantitas anak ideologis itu sudah barang tentu hanya Prof. Naim semata yang mafhum persisnya.

Dari gambaran tersebut setidaknya kita mampu menegaskan, bahwa penyebutan nama yang disertai dengan titel profesor-sebelum turunya SK- itu tidak ujug-ujug lahir di ruang hampa melainkan mengakar kuat pada beberapa fakta yang ada di lapangan. Fakta yang tersemat di dalam diri dan ditorehkan Prof. Niam secara personal. Kecakapan intelektual, konsistensi dalam berkarya dan geliat literasi yang membara. 

Perihal Kecakapan Intelektual

Keluasan dan ketajaman wawasan intelektual Prof. Naim tidak perlu diragukan lagi. Sependek pengetahuan saya, keluasan wawasan ilmu pengetahuan ini bisa diukur dengan jumlah jam terbang beliau mengajar dan mengisi kegiatan di luar perkuliahan. Misalnya saja kita ambil satu kasus gambaran kecil. Pada saat saya duduk di strata satu (S-1) di IAIN Tulungagung yang sekarang bertransformasi menjadi UIN SATU Tulungagung beliau mengajar hampir di setiap jurusan fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah. Kala itu beliau mengampu berbagai macam mata kuliah: Mulai dari Sejarah Peradaban Islam, Sejarah Pemikiran Islam, Tasawuf, Ilmu Kalam, Kepenulisan dan lain sebagainya. 

Tidak hanya di S-1, tatkala saya berkesempatan duduk di bangku Pascasarjana di tempat yang sama, saya pun kembali bersua ria dengan beliau. Tentu transaksi ilmu pengetahuan itu terlaksana melalui beberapa mata kuliah yang sesuai dengan keilmuan beliau. Dan faktanya, setelah saya mengamati dan bertanya kiri-kanan, hampir di semua jurusan Pascasarjana (S-2) dan program studi doktoral (S-3) beliau mengampu perkuliahan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun