adaptasi para santri luar biasa yang menjelma sebagai tradisi di lembaga tersebut.Â
Dua tahun lebih sepuluh bulan mengabdikan diri di TPQLB Spirit Dakwah Indonesia kiranya cukup untuk saya memahami berbagai jenis, karakter dan siklusHitung saja upaya proses pemahaman itu dimulai semenjak masa transisi perpindahan tempat pembelajaran: dari desa Gedangsewu rumah Pak Sinung ke SDLB Tamanan.Â
Tiga bulan pembelajaran di SDLB Tamanan, saya melihat ada tiga jenis santri disabilitas yang tertampung: Tuna netra, tuna rungu dan tuna wicara. Dari tiga jenis santri disabilitas itu penyandang tuna rungu dan tuna wicara menjadi mayoritas penduduknya. Sementara santri penyandang tuna netra yang kerap hadir hanya seorang saja, Riska namanya.Â
Setiap sesi kehadiran pembelajaran perminggunya lebih didominasi oleh santri, laki-laki. Sedang santriwatinya dapat dihitung jari. Jumlah itu pun pada umumnya dikuasai oleh santri yang berlatarbelakang pendidikan formal sekolah dasar luar biasa atau sekolah dasar biasa yang di dalamnya memuat inklusi.Â
Ada pula dua-tiga santri yang bersekolah di tingkat pertama dan tingkat atas. Rata-rata mereka semua mengenyam bangku sekolah di zonasi pendidikan wilayah masing-masing.
Adapun jika seluruh jumlah santri yang ada saat itu ditinjau dari sisi usianya, secara umum kurang lebih dapat dikelompokkan berdasarkan rentang usia 8-17 tahunan. Santri terkecil berusia 8 tahun dan santri yang besar berusia 17 tahun. Total santri tatkala itu pun tidak menyentuh angka 30 orang. Paling-paling hanya terhitung maksimum kurang lebih 25 orang santri.
Menurut saya pribadi, latar belakang pendidikan itu pula yang banyak membentuk karakter, mengondisikan sikap dan tingkah santri tatkala belajar mengaji di TPQLB Spirit Dakwah Indonesia. Meski demikian, proses pembelajaran TPQLB Spirit Dakwah Indonesia saat bermukim sementara di SDLB Tamanan itu ada pula  santri yang memang dengan jelas mempertontonkan tingkahnya yang susah diam dan diatur. Sebutkan saja hal itu dengan istilah hiperaktif.Â
Seingat saya, tatkala itu ada dua santri kembar yang memang hiperaktif: Royan dan Royihan. Mereka berdua selama belajar ngaji kerapkali wira-wiri dan mengotak-ngatik barang yang memang milik (inventaris) sekolah. Tidak jarang pula, salah satu di antara mereka memukul kaca dengan penggaris. Jika tidak demikian, lemari, bangku, pintu dan santri lainnya menjadi objek incaran keusilan kedua tangannya.Â
Karakter anak yang susah diam dan diatur demikian itu pula yang terkadang membuat asatidz merasa was-was dan diliput khawatir yang berlebihan.Â
Takutnya cuma satu: akan ada korban. Entah itu barang sekolah yang rusak atau pun hal lain yang memang membahayakan keselamatan santri yang lain. Sudah barang tentu, hal itu harus diminimalisir semampu dan seketat mungkin.Â
Selama kurang lebih tiga bulan bermukim di SDLB Tamanan saya pribadi belum bisa memetakan bagaimana siklus pembelajaran TPQLB Spirit Dakwah Indonesia berlangsung.Â