Beberapa hari setelah Kopdar ke-4 SPN, saya sempat mengirimkan catatan singkat yang berisikan kesan-pesan dan sedikit review mengikuti Kopdar serta mengutarakan keinginan saya untuk bergabung menjadi salah satu anggota SPN melalui kolom pesan Facebook ke akun ketua SPN. Malangnya nasib pesan itu tidak menemukan tuannya. Kala itu hati kecil hanya mampu berkhusnudzon, mungkin saya belum memenuhi kualifikasi dan syarat untuk menjadi bagian, sehingga tidak diperkenankan. Atau mungkin saya telah salah alamat, sebab tidak mengikuti prosedur yang telah dibuat oleh tim panitia. Dan masih banyak kemungkinan lainnya yang belum tahu pasti apa alasan sesungguhnya. Tentu saja, hal itu saya terima dengan lapang dada. Ketidakpastian dan penolakan memang sudah seharusnya menjadi makanan pokok penulis amatir seperti saya ini.
Rasa ngidam yang belum terpenuhi itu pada kenyataannya di luar dugaan saya. Rasa ngidam tidak sirna begitu saja seiring kelapangan hati, melainkan menjadi katarsis ala Freud yang menjelma sebagai salah satu penghuni alam bawah sadar saya. Lantas di kemudian hari ternyata rasa ngidam di masa lalu itu membawa sekelebat nama grup SPN dan berhasil mengarahkan kesadaran saya untuk  memilih dua kata yang sama sebagai awalan nama dari grup menulis yang saya inisiasi.
Meski demikian, saya yakin betul setiap grup yang terbentuk memiliki falsafah tersendiri, sehingga tetap memiliki marwah visi, misi dan berjalan di jalurnya sendiri. Maka begitu halnya dengan kasus kesamaan dua kata awalan ini, bukan berarti semata-mata mencaplok ataupun mencuri ide, melainkan timbul dari kesadaran orientasi.
Penggunaan kata "Sahabat Pena" dalam grup SPL, menunjukkan orientasi harapan, cita-cita dan do'a yang mengekspektasikan setiap orang yang tergabung dalam SPL kelak menjadi "manusia langka". Satu istilah yang saya pinjam dari Dr. Ngainun Naim (selanjutnya sebut saja Dr. Naim) sebagaimana termaktub dalam buku The Power of Writing. Dalam buku tersebut dikatakan, istilah manusia langka itu dimaksudkan bukan sebagai bentuk penghinaan ataupun menjelek-jelekkan guna mendiskriditkan penulis melainkan justru mendudukkan penulis dalam posisi yang istimewa, (Ngainun Naim, 2015: 58-60).
Lah kok bisa? Memang apa alasannya seorang penulis itu digadang-gadang menduduki posisi yang istimewa? Logika seperti apa pula yang menjadikan penulis layak disebutkan sebagai makhluk yang langka. Apa mungkin penulis itu dianalogikan sebagai flora dan fauna purba yang harus diperhatikan sejarah jejak hidupnya hingga melestarikan segelintir yang masih tersisa?
Dr. Naim memaparkan lebih lanjut, bahwa menamai penulis sebagai makhluk langka tidak timbul atas dasar serampangan begitu saja melainkan pengistilahan itu sendiri mengacu pada akar realitas sosial dan problematika budaya yang ada. Tidak main-main, bahkan untuk membuktikan kebenaran atas penyematan istilah itu beliau menjadikan tempat pengabdiannya -kampus IAIN Tulungagung-sebagai laboratorium literasi dan objek risetnya.
Profesinya sebagai seorang dosen, beliau manfaatkan sebaik mungkin untuk mengkaji geliat literasi di lingkungan kampus. Meskipun di satu sisi beliau juga membuat semacam apologetik dan penegasan diri bahwa bidang keilmuannya secara langsung tidak bersentuhan dengan dunia menulis seperti halnya dosen bahasa Indonesia, namun bagi beliau yang "gila" literasi itu bukanlah masalah yang berarti. Yang terpenting bagi beliau adalah aksi: memberi contoh dan memotivasi (menebarkan spirit literasi).
Dari hasil pengamatannya, beliau membuat simpulan bahwa hanya segelintir orang saja yang benar-benar menekuni dunia menulis, baik itu di kalangan mahasiswa atau dosen sekalipun. Jikalau jumlah yang segelintir itu dipresentasikan sudah barang tentu hasilnya jomplang. Jauh dari harapan. Hal yang demikian sangat dimungkinkan disokong oleh ketidakcintaan dan nihilnya kesadaran akan pentingnya serta manfaat daripada keterampilan menulis itu sendiri.
Padahal keterampilan menulis di kalangan mahasiswa itu sangat penting. Tentu bukan hanya berguna untuk menopang kesuksesan dalam menuntaskan tugas makalah yang telah mendarah daging di bangku kuliah, melainkan juga akan mempermudah kelancaran prasyarat untuk kelulusan kuliah. Merampungkan tugas akhir berupa skripsi. Di samping itu semua, yang terpenting dari rangkaian penugasan itu adalah proses penempaan dan penajaman keterampilan menulis secara personal. Sebab menulis sendiri sebagai modal penting untuk menjadi bagian dari transformasi pengetahuan dan peradaban manusia, (Ngainun Naim, 2015: 59-60).
Sementara manfaat keterampilan menulis yang baik di  kalangan para dosen dapat dijadikan tools untuk mencetak karya dan menunjang performance kinerja. Misalnya saja, bermanfaat dalam pembuatan artikel jurnal, jurnal laporan hasil penelitian dan pengabdian, membuat buku, dan lain sebagainya. Yang jelas, hasil dari pemanfaatan keterampilan menulis itu akan membantu para dosen untuk kenaikan pangkat, (Ngainun Naim, 2015: 59).
Pertanyaan mendasarnya, jika keterampilan menulis itu banyak menghadirkan manfaat dan menunjang kinerja, tak terkecuali eksistensi manusia, namun mengapa masih banyak orang-utamanya akademisi-yang anti dan ogah-ogahan menulis? Jikapun menulis, itu hanya sekadar untuk memenuhi kebutuhan saja. Bukan menjadikan keterampilan menulis sebagai passion yang mampu meningkatkan kualitas diri dan branding personal.