Buruh Tani Dadakan hingga Gotong Royong Sebagai Falsafah Hidup Masyarakat Desa Bagian 1: Dari
***
Sebagai warga Perancis (peranakan asli Ciamis) yang dibesarkan di lingkungan keluarga sederhana, saya kerap memperhatikan bagaimana cara orang desa mengelola hidup mereka. Tak terkecuali mengenai bagaimana orang-orang desa memanfaatkan tenaga yang terbenam dalam tubuhnya.
Tubuhnya boleh kecil dan kerempeng, namun masalah kearifan dan keaktifan dalam bekerja jangan ditanya. Kearifan dan keaktifan itu tak perlu lagi disanksikan adanya. Kearifan dan keaktifan dalam bekerja telah meliputi dirinya. Tidak percaya? Baiklah, mari kita seduh sedikit demi sedikit cerita kehidupan mereka.
Kehidupan sehari-hari masyarakat yang ada di desa saya pada tahun 2000-an tidak jauh berbeda dengan pola hidup orang desa pada umumnya. Mereka setiap hari bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pekerjaannya pun cukup sederhana, mereka mengandalkan sumber daya alam yang tersedia. Bertani di kebun dan sawah.
Ya, mengelola kebun dan sawah menjadi pekerjaan utama setiap warga yang ada di desa saya. Entah mereka bekerja di lahan milik sendiri ataupun menjadi buruh dadakan karena permintaan dari seorang pemilik lahan yang memang masih terbilang tetangga.
Tetangga yang meminta bantuan ini umumnya mereka memiliki lahan yang lumayan luas, sehingga atas dasar itu pula-kebiasaan yang terjadi dalam konteks mengelola sawah- pada saat menanam benih dan panen padi kerap membutuhkan tambahan tenaga kerja yang ekstra.
Uniknya, tradisi yang langgeng terjadi di kampung saya, siapapun orang yang turut berpartisipasi dalam menanam benih padi, maka ia juga wajib turut serta dalam memanen padi jika waktunya telah tiba.
Namun itu semua tidak dilakukan secara cuma-cuma. Biasanya, mereka (yang menjadi buruh tani dadakan) tatkala musim menanam padi tidak dibayar dengan uang sepeserpun, melainkan hanya cukup diberi suguhan makanan tatkala bekerja dan dibawakan nasi yang terwadahi (baca; besek, kalau dalam istilah Sunda) serta makanan ringan (seperti; roti, keripik dan lain sebagainya) untuk dibawa pulang. Jika tidak demikian, maka biasanya si pemilik lahan yang dipanen akan mengantarkan makanan ke rumah tetangga yang menjadi buruh tani dadakan tersebut.
Adapun menu makanan yang pernah saya rasakan tatkala ibu saya menjadi buruh tani dadakan itu, di antaranya ialah; nasi putih, bakmie goreng, terkadang mie bihun, sambel kentang balado dan rempeyek dengan topping (entah itu; rebon, ikan teri, ikan asin atau kacang tanah). Semua menu itu seakan-akan wajib adanya, dan mesti ditemukan dalam makanan yang menjadi upah dari buruh menanam benih padi di lahan milik tetangga.
Sementara tatkala musim panen padi tiba maka buruh tani dadakan tadi akan diberi makan saat bekerja serta mendapat jatah padi mentahan untuk dibawa pulang. Entah itu jatahnya sekarung atau dua karung. Yang jelas, pembagian jatah itu disesuaikan dengan kuantitas dan kualitas hasil panen.