Tulisan ini melanjutkan pembahasan bagian 5 dari artikel yang berjudul "Syukur di Balik Kerapuhan Rasa dan Psikis di Hari Raya".
(Bagian 6)
Pernyataan dan pertanyaan yang bergenre hasut, dengki dan namimah
Selain hadirnya pertanyaan dan pernyataan body shaming, pada kenyataannya sebagian besar orang juga kerap melontarkan pernyataan dan pertanyaan yang memiliki kecenderungan memicu terjadinya hasut, dengki dan namimah dalam konteks silaturrahim pasca lebaran.
Sebagai gambaran dalam kasus ini, kita ambil saja contoh dari berondong pertanyaan tajassus yang telah ditampilkan di atas. Adapun bunyinya sebagai berikut; Kapan nih mau lebaran bawa gandengan? Kapan nih mau punya momongan? Kapan nih mau nambah momongan lagi?
Semua pertanyaan itu mungkin akan menjadi biasa saja tatkala di antara penanya dan yang ditanya saling memahami konteks persoalan yang ditanyakan, situasi dan kondisi target yang ditanya serta bagaimana kepandaian personal dalam membungkus butir-butir pertanyaan itu tampil ke permukaan.Â
Namun yang menjadi permasalahan adalah bagaimana jika ternyata target yang ditanya itu sedang mengalami down (tekanan batin), telah lama memendam emosi dan kesehatan psikisnya kurang stabil.
Sebagai analoginya, bagaimana jadinya jika kita bertanya, "Kapan nih mau lebaran bawa gandengan?" kepada orang yang orangtuanya sangat sekali mendambakan anaknya untuk segera menikah namun sang anak tak kunjung menemukan jodohnya, bertanya kepada orang yang baru saja batal menikah atau mungkin kepada orang yang baru saja bercerai. Tentu todongan pertanyaan ini menohok dan mengguncang benak target yang ditanya.
Belum lagi, misalnya jika kita memuntahkan pertanyaan; "Kapan nih mau punya momongan? Kapan nih mau nambah momongan lagi?", dan ternyata orang yang kita tanya itu baru saja mengalami keguguran kandungan, divonis mandul atau mungkin sangat sekali mendambakan kehadiran buah hati namun tak kunjung diberi kepercayaan untuk memiliki anak, tentu pertanyaan itu begitu menyesakan dada dan menyayat hati.
Alhasil karena kesemberonoan kita dalam bertanya bisa saja menjadi kerikil yang terus berserak hingga membuat tersandung. Lontaran butir pertanyaan itu sangat dimungkinkan menjadi biang keladi hasutan yang memicu hadirnya rasa dengki hingga berujung namimah di pihak internal subjek yang bersangkutan. Tentu saja ini adalah salah satu bentuk kerugian dan kezaliman terhadap diri sendiri dan orang lain. Salah satu hal yang secara pasti tidak pernah kita inginkan untuk terjadi sama sekali.
Dalam konteks ini, saya berusaha memahami bahwa manajemen dalam memposisikan diri sebagai pendengar dan pembicaraan yang baik dan ramah lingkungan itu sangatlah penting. Ibarat kata "diam itu emas", maka hal itu lebih baik daripada menggores luka baru dengan mengobral kata secara serampangan dan amburadul seenaknya pada saat silaturrahim pasca lebaran Idulfitri itu tiba.