Mohon tunggu...
Roni Ramlan
Roni Ramlan Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar sejati, penulis dan pegiat literasi

Pemilik nama pena Dewar alhafiz ini adalah perantau di tanah orang. Silakan nikmati pula coretannya di https://dewaralhafiz.blogspot.com dan https://artikula.id/dewar/enam-hal-yang-tidak-harus-diumbar-di-media-sosial/.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Antara Utang, Geliat Menulis dan Prinsip Hidup

18 Maret 2021   00:54 Diperbarui: 18 Maret 2021   01:07 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Utang ya disaur bukan malah berkelit. Gitu aja kok repot", Dewar Alhafiz.

Terhitung sejak berganti nama dan beralih ruang grup WhatsApp -dari Komunitas menulis menjadi Sahabat Pena Kita Tulungagung- pekik takbir literasi belum saja sampai di ujung ubun dan menjelma jiwa bagi para penghuni di dalamnya. Tak terkecuali saya pribadi yang banyak mencekal lengan ide dengan sengaja. 

Sering memilih menunda kesempatan untuk menuangkan ide yang muncul, belum mampu istakamah dalam menulis Sunnah bahkan sekadar untuk menggugurkan kewajiban saja lebih banyak berkelit dalam segunung alasan kesibukan, alhasil mengutang pun adalah pilihan.

Tapi masalahnya, sejak kapan mengutang itu menjadi pilihan? Sejak kapan mengutang itu diperbolehkan? Apakah lapak obral utang itu mulai dijajakan di kala masing-masing kita memilih untuk bergabung menjadi bagian dari grup WhatsApp Sahabat Pena Kita Tulungagung? 

Apakah kewajiban menulis itu benar-benar telah berikhlas hati mana kala mayoritas memilih untuk menduakan? menunda mengerjakan. Atau memang kita telanjur asyik melatah diri atas tiap-tiap tugas dan kewajiban. Seperti halnya kebiasaan khilaf kita yang doyan ngutang di warung langganan.

Ah, sialnya kebiasaan ngutang itu terbawa-bawa sekaligus diaplikasikan pula dalam segala aspek nyata dari kehidupan kita, tak terkecuali dalam hal urusan belajar menulis. Belajar menulis saja bisa diutang, apalagi yang tidak pernah belajar. Lah halah, jika masih bisa utang kenapa harus tepat waktu dalam setor tulisan? 

Jika masih ada hari esok kenapa harus dikerjakan sekarang? Jika, kalau dan seabrek pernyataan apologi lain yang menjadikan kita terbiasa membenarkan keengganan untuk berusaha keras dalam menggembleng diri tak ubahnya toxic thinking yang harus kita hindari. Buanglah hal itu jauh-jauh dari dalam diri. 

Mulai sekarang janganlah melulu menjadikan akal pikiran sebagai tipu muslihat dan biang kerok daripada kebebalan kita bertamasya di zona nyaman. Bukankah menalar apa-apa yang bersifat positif untuk kemajuan diri lebih baik? Bahkan cara berpikir kita yang positif mampu menghasilkan ucapan, tindakan dan keputusan yang lebih baik. Mampu mengerjakan tugas yang begitu sulit dalam keadaan riang, ringan dan merasa nyaman tanpa beban. 

Sampai di sini saya terhentak, seakan jiwa dan raga terpisah sesaat; lah, tampaknya memang benar, jangan-jangan yang selama ini menjadi benteng utama kenapa kita selalu memilih membiasakan berutang itu dilatarbelakangi oleh cara berpikir yang tidak sehat (toxic thinking). 

Toxic thinking itu selanjutnya mencekal, mengalihkan bahkan menggugurkan setiap niatan baik yang hendak kita lakukan. Benteng itulah yang ada di dalam setiap pribadi kita. Benteng yang keberadaannya luput dari kesadaran dan evaluasi sehingga setiap waktu kita mengokohkannya dengan sejubel alasan ini dan itu.

Tapi, siapa gerangan yang benar-benar memahami keberadaan benteng itu? Siapa yang benar-benar mampu mengatasi? Bukankah benteng itu terletak jauh di dalam diri kita sendiri? Sementara Hwang Sun-Mi dalam bukunya yang berjudul The Dog Who Dared to Dream menegaskan; "Terserah kamu mau percaya atau tidak. Kita justru yang paling akhir mengenal diri sendiri". Bukankah mengetahui hal itu sangat menyesakkan dada?

Sudahlah, sudah waktunya kita hentikan monolog omong kosong pesimistis ini! Mari kita sama-sama insyaf dari panjangnya khilaf. Yang jelas sampai di sini kita bisa tahu sentilan sarkasnya,"bagaimana mau punya banyak anak dari tangan yang tak berahim jika menunaikan kewajiban saja masih lungla-lengle (baca dalam bahasa Sunda; bermalas-malasan) akut tak terbendung. 

Kerja keras sana! Pengorbananmu kurang berdarah-darah. Peluhmu masih kurang parah. Dayungmu di samudera ilmu masih saja di tepian pantai bahkan tak jauh dari lemah (baca dalam bahasa Sunda; permukaan tanah)".

Mengutang, mengutang dan terus saja mengutang hingga menumpuk. Entah sejak kapan saya jadi doyan menumpuk utang. Padahal, katakan no untuk utang adalah salah satu prinsip dalam hidup saya yang telah lama bergema. Tentu itu bukan sekadar prinsip yang hanya menguap ke udara tatkala diucapkan melainkan memang berusaha keras dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari saya. Utamanya dalam urusan duit. Tapi semua itu mulai goyah tanpa dinyana.

Konsep utang pun pada kenyataannya tidak hanya dilekatkan pada urusan perduitan, logam mulia, surat berharga dan jasa semata melainkan berlaku pula pada segenap hak dan kewajiban atas komitmen yang telah kita putuskan secara personal. Seperti halnya tatkala kita secara sadar memilih untuk bergabung di salah satu grup menulis. Itu berarti kewajiban utama kita ya menulis. 

Menulis di sini dalam artian berproses untuk pandai mengelola kata, merajut kalimat, menentukan presisi antar alinea (pragaraf) hingga koherensi antara topik dengan cara pandang kita dalam menampilkan idealitas gagasan yang kita punya.

Tentu semua proses penempaan itu tidak akan pernah cukup memapankan-memantaskan diri kita sebagai penulis jika hanya mengandalkan berlatih semaunya (baca; menunggu good mood) dan sekadar punya niatan "yang penting bergabung dan menjadi bagian dari grup" tanpa kemauan keras untuk lebih baik dari waktu ke waktu. Intinya tidak akan pernah cukup jika kita hanya melulu memposisikan diri sebagai silent reader atau hanya berambisi menjadi pengkritik tanpa mau menulis. 

Nampaknya di sini pula sangat perlu adanya bagi kita untuk berani membulatkan tekad, menetapkan standaritas dan beberapa capaian penting yang harus diraih dari kesempatan yang ada di hadapan kita.

Pendek kata, kita perlu banyak menentukan target atas pilih yang telah diputuskan sekaligus siap melakukan "pertapaan" dalam jalan keheningan; banyak membaca buku, mempelajari teknik menulis, memahami bagaimana gaya tulisan penulis idola kita, banyak berlatih dan mengevaluasi tulisan, pandai-pandai menampung ide sampai dengan kita benar-benar memahami bahwa tulisan itu tidak lain adalah representasi atas diri kita. 

Role model atas eksistensi syukur kita sebagai manusia yang diberkati akal dan jiwa oleh sang Maha Kuasa pemilik pena bertintakan samudera yang tak ada habisnya.

Sebagaimana jelas tertandaskan dalam Firman-Nya; Say (Muhammad), "If the sea were ink for (writing) the words of my Lord, the sea would be exhausted before the words of my Lord were exhausted, even if We brought the like of it as a supplement", (Al-Kahf; 109).

Memang secara eksplisit ayat tersebut tidak menegaskan perintah untuk menulis bagi khalayak umat manusia. Tidak pula menyinggung perihal utang-piutang, akan tetapi sebagai manusia yang telah diberkati akal tentu kita bisa memetik hikmah dari penegasan ayat tersebut, bahwa Kalam Tuhan yang tak terhingga bisa saja dalam wujud emanasinya yang ke sekian menjadi curahan ide yang tak ada habisnya bagi seorang penulis dalam meletakkan deretan kalimat di atas bukunya. Walaupun mereka (manusia) berkali-kali telah membahas satu topik yang sama toh selalu ada celah dalam membidik sudut pandang yang hendak ditampilkannya. 

Lantas persoalan itu pun seperti halnya teori emansi Surahwardi Al-Maqtul yang memandang segalanya bermula dari satu sumber cahaya yang memancar-memantul terus membentuk titik-titik baru yang terus berkembang. Meskipun manusia selalu sibuk dengan upaya memandang dan menerjemahkan segala sesuatu dalam versi yang spesifik (baca; mengkategorikan satu persoalan sesuai spesialisasi di bidangnya) akan tetapi dalam perkembangannya manusia tidak benar-benar mampu menyelesaikan satu persoalan dari sudut pandang sesuai bidang spesialisasi tersebut. 

Itu berarti suatu masalah tidak serta-merta bisa dipecahkan dengan menggunakan disiplin ilmu tunggal. Pemecahan itu senantiasa membutuhkan kontribusi dari disiplin ilmu lain. 

Kompleksitas permasalahan yang dihadapi manusia pada kenyataannya memerlukan pendekatan yang kompleks pula. Dalam artian berbagai pendekatan bila perlu dilakukan secara bersamaan atau silih bergantian dalam memecah satu permasalahan yang sama, (Mujamil Qomar, 2020: v-vii)

Hal ini memiliki banyak kemiripan dengan bagaimana satu ilmu pengetahuan lahir dan berkembang sebagai bentuk kausalitas dari usaha keras manusia. Entah itu dalam konteks manusia berusaha memahami realitas kehidupan ataupun dalam upaya menyelesaikan permasalahan hidup yang dihadapinya, maka upaya menciptakan berbagai pendekatan dalam menyelesaikan permasalahan pun perlu digencarkan. Tak terkecuali pendekatan yang bersifat interdisipliner, multidisipliner, transdisipliner, pluridisipliner, dedisipliner, antidisipliner, indisipliner, metadisipliner dan postdisipliner, (Mujamil Qomar, 2020: vii-viii).

Semua kemungkinan besar itu di satu sisi menegaskan betapa tak hingganya Kalam Tuhan (pemilik samudera pengetahuan) sekaligus menunjukkan keterbatasan manusia yang selalu dalam posisi awam. Jika pun pintar itu hanya titipan, dan spesialisasi dalam bidang tertentu yang digelutinya tak lain hanya paras dari kerdilnya jangkauan pengetahuan yang mampu kita telan secara perlahan. Lantas bagaimana mungkin yang papa bisa mengangkuh diri? Jika pun ada yang demikian, itu hanya bentuk kekonyolan belaka.

Sementara kehendak kita untuk memilih dan mengambil keputusan untuk memanfaatkan potensi yang ada di dalam diri tak ubahnya nasib pena di tangan sang empunya. Pena akan semakin piawai menggoreskan rangkaian kata kalau sering dipakai. Runcingnya pena terus senada dengan potensi yang kita kelola. 

Semakin sering kita menyepadankan antara gerakan pena dan merangkai kata dalam upaya mengikat curahan ide maka akan semakin dekat kita akan mengenali jati diri. Sederhananya, menulis itu adalah salah satu jalan kita menemukan kesadaran diri. Memanusiakan manusia sebagai makhluk yang dihargai.

Pada akhirnya sampai detik ini, kita adalah penjelajah senyap yang telah diberkati. Untuk itu mari kita sama-sama bercocok tanam, bertunas hingga menuai hasil yang mencukupi. Mencukupi kebutuhan dahaga literasi diri pribadi, orang lain dan jerit lantang kewarasan bumi Pertiwi.

Di sinilah waktunya kita lantang mengakui; "Menulis itu memang berat, tapi bukan itu persoalannya. Persoalannya adalah kita merasa keberatan atau tidak. Jika merasa keberatan dengan pembiasaan menulis setiap hari, selera dalam menuangkan ide pun akan hilang dengan sendiri".

Sebagai penutup, nampaknya di sini saya akan mengaminkan apa yang dikatakan oleh Picasso; "tanpa kesendirian yang ketat, tidak ada pekerjaan serius yang dapat diselesaikan". 

Tertanda tukang ngutang ugal-ugalan.

Tanjungsari, 18 Maret 2021.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun