Mohon tunggu...
Roni Ramlan
Roni Ramlan Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar sejati, penulis dan pegiat literasi

Pemilik nama pena Dewar alhafiz ini adalah perantau di tanah orang. Silakan nikmati pula coretannya di https://dewaralhafiz.blogspot.com dan https://artikula.id/dewar/enam-hal-yang-tidak-harus-diumbar-di-media-sosial/.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Logika Mencari Biang Bencana

15 Februari 2021   17:50 Diperbarui: 15 Februari 2021   17:59 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

"Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia: Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)", Q. S.  Ar-Rum: 41.

Ayat tersebut memproyeksikan satu gambaran umum akan adanya kemungkinan besar bahwa setiap bencana alam ditimbulkan-tidak lepas dari- perbuatan "nakal" umat manusia. Kelaliman manusia terhadap kelestarian lingkungan sekitar sehingga menyebabkan kerusakan di mana-mana, dan ia harus menuai sekaligus menganggung akibat perbuatannya. Pola kelaliman tersebut bermula dari keacuhan, kebebalan dan kelancangan manusia atas sikap rakus yang merajalela. Selanjutnya disambung dengan mengeksploitasi sumber daya alam yang menggila, tak beretika dan tak ada habisnya.

Lantas benarkah bencana banjir yang melanda Tulungagung memang bermula dari kemafsadatan yang diperbuat tangan-tangan lalim manusia? Di sinilah kita mulai menginjak tahap pengkajian secara mendalam. Di balik jebolnya dua tanggul sungai itu tentu ada alasan logis lain yang sistematis dan terstruktur. Satu rangkaian prosesi yang menggiring dan memancing hadirnya bencana banjir.

Benar saja, setelah Bupati Tulungagung Maryoto Birowo dan jajaran Forkopimda meninjau titik-titik penyebab banjir, pada kenyataannya bencana tersebut bukan semata-mata dipicu jebolnya tanggul sungai karena debit air yang terus meningkat. Melainkan disokong pula oleh beberapa faktor lain, yakni sampah yang terbawa hanyut dan gundulnya hutan. Hemat saya, selain dua faktor yang disebutkan di atas, membuang sampah di sembarang tempat juga menjadi ada faktor lain yang dominan.

Kebiasaan buruk kita membuang sampah sembarangan, bukan pada tempatnya, turut menerjemahkan kita sebagai manusia nista yang tak menghormati alam yang berjasa membesarkan beribu-ribu umat manusia. 

Utamanya membuang sampah ke sungai dengan seenaknya. Kebiasaan negatif ini tentu menjadi problematika bersama yang hampir terjadi di berbagai daerah Indonesia. Meskipun tidak dapat dipungkiri pula bahwa beberapa daerah telah begitu ketat dalam menertibkan ceceran sampah di setiap penjuru kota dan menghukum mereka yang melanggar aturan; entah itu dengan sangsi pidana ataupun denda.

Penempatan tong sampah sesuai dengan jenisnya di beberapa titik yang dipandang representatif pada akhirnya tidak bekerja sebagaimana mestinya bahkan nampak tidak terkelola. Tetap saja sampah itu lebih sering berceceran di mana-mana. Sampah anorganik dan organik itu sangat begitu susah terkumpul di satu tempat yang sama. Hal itu dapat dilihat dari bagaimana banjir membawa hanyut sampah hingga menyangkut di titik-titik pintu air dan tiang jembatan yang menjadikan aliran tersumbat.

Ironisnya, di tengah-tengah air bah yang terus-menerus merambah ke berbagai tempat pemukiman penduduk, masih saja ada segelintir orang yang berusaha mengais rezeki dengan memungut kategori sampah yang dapat dijual kembali. Mereka bekerja di tengah kegetiran. Di kala sebagian orang benar-benar dilanda ketakutan dan kecemasan atas banjir yang sewaktu-waktu bisa merenggut kenyamanan, persediaan bahan pokok makanan dan kebahagiaan yang diagungkan. Tapi bagi si pengais barang bekas, banjir itu justru mendatangkan rezeki yang tidak terduga sebelumnya. Satu jalan rezeki yang mampu melukisan merekah bibir dua di wajah kusamnya.

Memang dunia demikian adanya, selalu menyodorkan dua sisi yang berbeda. Seperti halnya rapalan do'a dan harapan yang saling bertabrakan di langit sana. Analoginya, di satu pihak terdapat penjual es krim yang langgeng mengharapkan sengat mentari nan terus terjaga sementara di pihak lain ada si penjual bakso yang bersimpuh mendambakan hujan menyirami dunia. Rupa-rupa hidup itu demikian kompleks tak terbantahkan selisihnya.

Sejauh pengamatan saya, persoalan sampah ini adalah tantangan lama. Tantangan lama yang sama sekali tidak bergantung dan dipengaruhi oleh faktor pergantian musim semata. Musim kemarau ataupun penghujan sampah tetaplah tersebar di mana-mana. Sebagai contoh faktual, misalnya tatkala kita pergi liburan ke pantai, tetap saja pada bagian-bagian tertentu sampah adalah pengunjung yang tak bernyawa. Bahkan saking banyaknya sampah-sampah itu terkadang menghiasi bibir pantai tak terhingga. Mengikis keasrian pantai tak terkira.

Mungkin kita masih ingat dengan film dokumenter yang memvisualisasikan betapa ngerinya sampah mengancam kehidupan ekosistem laut, sungai dan danau. Tidak sedikit pula kasus hewan laut, berbagai jenis ikan sungai dan danau yang mati karena pencemaran sampah kantong plastik dan sampah lainnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun