"Salah satu hikmah Tuhan menciptakan nyamuk adalah agar engkau sesekali menampar dirimu sendiri", Teguh.
Tidak hanya di Semarang, pada kenyataannya bencana banjir juga melanda beberapa wilayah, tak terkecuali kota marmer, Tulungagung. Surya.co.id menyebutkan banjir di Tulungagung sekurang-kurangnya melanda 9 desa di tiga Kecamatan. Dari kesembilan desa tersebut di antaranya; Tugu, Sumberagung, Pojok, Ngentrong, Tenggong, Sumbergempol, Pasir, Panggungploso dan lainnya. Sedangkan ketiga kecamatan tersebut yakni Campurdarat, Kalidawir dan Rejotangan.
Kebenaran atas kabar duka itu pun dikonfirmasi langsung akun Facebook Kacamata Tulungagung sembari memastikan beberapa hal; pertama mempertanyakan bagaimana kondisi terkini beberapa titik yang terkena banjir. Kedua, berusaha membuat list terkait desa mana saja yang terlanda banjir. Ketiga, postingan akun tersebut juga menegaskan kesiapannya untuk memberikan bantuan sewaktu-waktu. Dalam konteks ini, mungkin kesiapan yang dimaksud yakni memberikan bantuan berupa materiil kepada beberapa korban banjir.
Selain itu, kalimat terakhir yang tercantum dalam postingan akun tersebut; "Terusno, dingge bahan evaluasi. Nyapo yo cah kok akeh nggon neng Tulungagung iso Sampek banjir Ki?" (Lanjutkan, sebagai bahan evaluasi. Kenapa ya cah kok banyak tempat di Tulungagung bisa sampai banjir sih?).Â
Bagi saya, konteks redaksi kalimat tersebut mendeskripsikan ekspresi diri yang menggenggam erat adanya sikap empati, humanis dan kritis. Salah satu ciri yang menegaskan bahwa setiap kata itu sejatinya memiliki nyawa. Setiap kata mampu merepresentasikan betapa dalamnya keterkaitan rasa dan kepedulian antara komunikator dan komunikan.
Secara implisit poin terakhir dari postingan akun Facebook Kacamata Tulungagung tersebut saya sebut sebagai stressing utama dalam menyikapi banjir yang melanda di jilid kedua pandemi Corona. Penggunaan logika dalam membaca bencana alam menemukan momentumnya. Mencari kausalitas atas persoalan yang menerpa adalah karakter mahkluk yang dianugerahi akal dan jiwa. Upaya merasionalkan setiap kejadian adalah ciri khas manusia.
Bak melepas dahaga di tengah-tengah terik fatamorgana, warta yang disampaikan situs liputan6.com pada 4 Februari 2021 memberi jawaban tegas atas musabab kejadian. Berita tersebut mengabarkan bahwa banjir bandang yang melanda beberapa daerah Tulungagung dua hari terakhir disebabkan jebolnya dua tanggul sungai. Tanggul di sungai terusan desa Pojok, kecamatan Campurdarat dan tanggul di aliran sungai desa Sumberagung dan Tugu.
Menyikapi kejadian itu, Anang Prastistianto selaku Kepala Dinas Perumahan dan Pemukiman dan Sumber Daya Air Kabupaten Tulungagung menjabarkan bahwa upaya normalisasi tanggul sungai yang jebolpun dilakukan dengan sigap. Sementara waktu, tanggul yang jebol ditambal dengan menggunakan karung pasir. Mengingat curah hujan dikhawatirkan akan turun kembali.
Itulah alasan yang tampil ke permukaan.Â
Akan tetapi pembacaan atas bencana banjir harus terus berlanjut pada tahap pengkajian, dan itu memang perlu dilakukan. Bagaimanapun manusia tidaklah sopan jikalau dengan sengaja mengasumsikan setiap kejadian dalam hidup yang dijalani di dunia adalah semata-mata takdir Tuhan yang digariskan. Satu pandangan yang berusaha menyembunyikan-menihilkan- maksud dan tujuan dari penciptaan. Dalam artian tidak ada kehendak dan usaha memfungsikan akal untuk mencari alasan serinci mungkin hingga keakar sampai dengan kita menemukan hikmah dan pelajaran. Sudah barang tentu hal itu adalah satu kedzaliman. Menistakan syukur atas gunungan nikmat yang telah diberikan.
Padahal jika kita termasuk orang-orang yang beriman dan berusaha memaksimalkan kinerja akal pikiran maka kita akan pandai mengelola ingatan bahwa Allah SWT. telah menandaskan firman-Nya dalam Hudan.Â
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!