Hampir genap dua tahun saya berbagi kasih sayang dengan putra-putri dari sekian ibu-bapak yang berbeda. Anak-anak luar biasa yang sebelumnya tak pernah saya dekati sepanjang jalan terjal seperinci kedipan mata. Bahkan tidak terpikirkan sebelumnya.
Tepat Januari 2019, saya bertemu dengan salah seorang dosen muda yang sibuk mengabdikan diri untuk memanusiakan manusia. Merangkul anak-anak yang divonis pandangan lumrah tidak sempurna. Menegakkan keadilan sosial dan hak-kewajibannya untuk mendapatkan perlakuan yang sama dari khalayak ramai sebagai sesama manusia.Â
Pertanyaannya, keadilan sosial dan hak-kewajiban dalam hal apa? Kesamaan dalam konteks pergaulan sosial, kehidupan yang layak dan mendapatkan pendidikan yang mestinya mereka terima, utamanya persoalan pendidikan agama.Â
Masih ingat betul, tatkala itu saya pertama kali berjumpa dengan beliau dalam acara persiapan launching organisasi baru yang diberi nama Lentera. Apa si Lentera? Lentera itu singkatan dari "lintas edukasi dan kajian seputar rumah tangga".Â
(Kalau ngomongin urusan itu, bibir si Kadrun langsung lanyah saja nih. "Yaelah Bang... Bang... tak kira apa. Etdah suasananya kok jadi horor banget ya? Kalau nyenggol tentang rumah tangga. Ane sensitif nih, lagi datang bulan. Eh, usianya sudah matang tapi jodohnya tak kunjung datang. Idih... busyeet. Malah asyik kebablasan kalau curhat ya").
Pagi itu kami (saya dan beberapa teman) dikoordinir untuk berkumpul di kediaman beliau. Tak perlu saya sebutkan kalau beliau kerap dipanggil om Sinung Restendy. Satu panggilan yang kerap dilontarkan satu-dua senior yang memang satu kantor dengan beliau.Â
(Itu mungkin karena pertautan usia di antara mereka memang tidak terlalu jauh. Jadinya ya... dipanggil om-om gitu. Kalau saya si, seringnya panggil beliau bapak. Meskipun pada kenyataannya beliau masih tampak berusia kepala tiga. Sementara anaknya masih satu). Ohya, selain berprofesi sebagai dosen luar biasa beliau juga bekerja di dinas sosial.
Rumah beliau di Gedangsewu Boyolangu, tepatnya masih dekat dengan balai desa Gedangsewu. Waktu itu, saya berangkat sendiri menuju lokasi dengan mengendarai si matic, hingga akhirnya sempat tersesat beberapa saat. Berkali-kali saya lontarkan chat di group, barangkali saja ada beberapa teman yang mungkin sudah sampai di lokasi dan benar-benar memahami daerah lokasi.Â
(Nah ini dia salah satu kelemahan saya. Dalam membaca arah, saya memang selalu tampil payah. Jadi jangan heran kalau pergi ke mana-mana, utamanya ke tempat yang sama sekali baru, saya selalu bersikap bawel. Suruh nunjukin arahnya dengan detaillah, tanda-tandanya apa saja, sampai dengan wajib share location. Mohon bersabar ya pemirsa).
Beberapa saat kemudian, saya berhasil sampai di lokasi. Dari kejauhan nampak ada satu dua motor yang sudah terparkir rapi di halaman. Tepatnya di seberang jalan, bukan di depan rumah. Maklum saja antara jalan dan pagar rumah sangat mepet. Jadinya, lahan parkir dialihkan di seberang jalan.
Selepas turun dari motor, saya pun langsung menghampiri dua orang yang sedang asyik bercengkrama. Salah seorang senior ternyata telah sampai duluan di sana, sementara tuan rumah berada tepat di hadapannya. Saya yang kikuk, langsung berjabat tangan dengan senior dan sang tuan rumah. Nampak beliau sangat kepo tentang siapa saya. Hingga akhirnya beberapa pertanyaan tumpah ruah dimuntahkannya.