Mohon tunggu...
Roni Ramlan
Roni Ramlan Mohon Tunggu... Freelancer, Guru - Pembelajar bahasa kehidupan

Pemilik nama pena Dewar alhafiz ini adalah perantau di tanah orang. Silakan nikmati pula coretannya di https://dewaralhafiz.blogspot.com dan https://artikula.id/dewar/enam-hal-yang-tidak-harus-diumbar-di-media-sosial/.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Manusia Rebahan

28 Juli 2020   09:32 Diperbarui: 28 Juli 2020   09:37 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terlanjur mapan dalam timang buaian
Hingga sampai hati berkubang lumpur mengtasnama kenyamanan
Kusebutlah itu sebagai kondisi persetubuhan
Persenggamaan antara nafsu tetumbuhan; kasur dan bisikan setan yang meraih kemenangan

Lantas sejak kapan kita berani turun gelanggangan?
Menyitas sebilah pedang bertameng keluasan
Membumihanguskan apa-apa terpandang lawan
Atau mungkin musuh bebuyutan?

Dalam imajinasi atau kenyataan?
Telah terjulur menjadi aksi pun atau hanya sebatas tekad yang terbenam dalam balut persenyamunan
Aku tahu jenis kelamin muntahan sesungutan
Menjadi komentator ulung dengan penuh penghujatan

Pendakwa handal atas dasar setiap bait pergerakan
Bahkan jika perlu dicantumkan, nilai kemanusiaan itu kau sirnakan
Sesekali rasanya tak berberat hati kau gadaikan
Tuk memborong segunung hasrat penilaian yang harus digencarkan

Kau kuliti yang tak nampak
Kau cukil-cukil borok yang terahasiakan dengan tamak
Dicecarlah apapun yang berkelibat di kedua jendela matanya secara terbelalak
Hampir-hampir semua yang ada harus ditampol dengan keruncingan kapak

Sementara celah dirimu tak pernah kau endus
Tak terusik walau seelus
Sengaja rapat-rapat kau bungkus
Sengaja kau lupakan layaknya cara kerja modus
Dan kebobrokan moralmu telah terkarantinakan dalam aus

Apa itu yang dimaksud gorengan kondisi tak berhaluan?
Hendak berhenti namun candunya tak mudah ditinggalkan
Dopamine di uluhati telah akut mengakar sebagai kenikmatan
Dan terakhir menyisakan ruas tol menuju titik kerapuhan

Jika itu sepanjang bentangan waktu yang kau kukuhkan
Hanya gema sumringah sesaat yang kau daku, selebihnya hanya sekadar keputusasaan
Adamu hanya sebongkah kayu yang terkikis rayap ketiadaan
Pongahmu tak lebih baik daripada kengeyelan bujuk-rengek atas tingkah salah bocah ingusan

Sementara engkau sibuk mengelu-elukan
Orang-orang memandang julid dirimu sebagai seonggok kotoran
Mendengarnya aku terhiyak dalam pusar renungan
Satu hal yang membuatku tak pernah sadar; bahwa Aku seorang manusia

Tulungagung, 28 Juli 2020

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun