Engkau rahasiakan seluruh kehinaanku di balik beranda dunia
Sangat rapih, rapat terbendung dari rundungan peleton pasang mata
Bahkan orang-orang tak mampu mengendus bau busuknya
Mereka menyebutku sang terpelihara
Dalam benak masing-masing mereka meluap-luap rasa bangga
Menatap tajam, penuh decak kagum menyurat bahasa pengiba
Perlahan tapi pasti, kehendaknya mengeja-ngeja kebaikan diri kian menggema di daun telinga
Kalimatnya sharih merapal mantra
Sebangsa puji-pujian yang memenuhi segenap ruang di dada
 Â
Awalnya biasa saja, tak ada makna sumbang yang mengena
Tak ada kerak yang bersisa
Tak ada ocehan yang berbisa
Tak ada sepatah kalimat pun berbicara tentang dusta
"Pun semuanya baik-baik saja", seru Marsinah yang hampir termakan usia
Tapi aku tak begitu cukup percaya
Bahkan kalau boleh jujur, aku tak mengenalnya
Butuh ketegasan nyata realitas sebagai senjata
Bagaimana mungkin ketenangan batin meliputi jiwa
Sementara pengabaian adalah jalan keluarnya
Penggembalaan rasa dan karsa kini terasa berpusat dalam genggamnya
Diam-diam dalam kesendirian menyumat percikan bahaya
Dalam keheningan itu aku bermain dengan parasit binal kebinatangannya
Hampir-hampir nafsuku mencapai tingkat kulminasinya
Namun atas nikmat itu pula sungguh berat mengakhirinya
Ah, yang benar saja?
Lambat-laun magis mustika itu ampuh memupus kuasa
Nuraniku menjadi buram terluluhlanta
Isian dadaku sesak akan tumpukan curiga
Hati ini seolah-olah muak dengan nasihat-nasihat agama
Sementara gelap gulita adalah teman baiknya
Lantas aku tersungkur dalam muara sombong mengetahuinya
Menyeruak sedikit senyuman yang tersungging di kedua sisi bibir tanpa dosa
Bisikan setan itu berhasil membuatku terpana seketika
Dan aku bersuka cita di atas kubangan lumpur yang kutata dengan sengaja
Aku benar-benar terlena
Tertelan lubang maksiat berparas sempurna; orang-orang menyebutnya
Terjerembab dalam sakau melintas janji pedih yang difirmankan-Nya
Terjerat candu segala bentuk hubbud dunya
Kacau balau kini komoditas harga yang kupunya
Mematung, memahat sesal bercampur aduk putus asa
Terkadang aku jengkel, marah, semarah-marahnya
Mengutuk sendiri apa yang kusebut dahaga dan cela
Pada akhirnya manusia lebih suka menyembunyikan segala-galanya dalam pekik tawa yang singkat
Berpura-pura lupa atas latahnya kehendak yang belum terlumat
Bereuforia sesaat di tepian biru langit nan pekat
Tak apa, setidaknya manusia piawai dalam beberapa hal;
Menyembunyikan sayatan lukanya dalam kata-kata bijak
Menyembunyikan kemaruknya dalam derma
Menyembunyikan bebalnya dalam tipudaya
Menenggelamkan tamaknya dalam kuasa
Meredam ketakutannya dalam asa
Dan menyelinapkan harapannya dalam do'a
Meskipun sebenarnya ia tahu-menahu, bahwa dirinya tetap saja dalam nestapa