Mohon tunggu...
Roni Ramlan
Roni Ramlan Mohon Tunggu... Freelancer, Guru - Pembelajar bahasa kehidupan

Pemilik nama pena Dewar alhafiz ini adalah perantau di tanah orang. Silakan nikmati pula coretannya di https://dewaralhafiz.blogspot.com dan https://artikula.id/dewar/enam-hal-yang-tidak-harus-diumbar-di-media-sosial/.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi | Jelata

15 Juni 2020   08:00 Diperbarui: 15 Juni 2020   08:10 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tak terasa,
Tetes peluh mencurah deras tanpa dinyana
Gelombang perih menyeret muara tirus di pipi dua
Tegar bahu-dadanya bukan menyoal kekar-bugar belaka
Pun tak sirnanya kerut dahi, pertanda keras akal pikiran yang terporsir dieja

Bergegas lepas,
Bergerak bebas
Ini bukan sekadar kampanye heroik peleton pengecut yang megetaskan diri tuk segera kandas
Pula bukan perihal lecutan peluru takdir yang mengoyak bagian rusuk beruas
Bagaimanapun ini menceritakan hasrat hidup nan kian giras

Ditentengnya jerih bukan lambaran untuk mengiba
Jerahnya menyambung nyawa, tak pelak menjadikannya kapok menyapa dunia
Meskipun bejibun tatih menjadi sumber biang keladi yang terus-terusan menebal dan menyeretnya
Tapi dirinya tetaplah manusia, peracik senyuman palsu dalam setiap guratan sesal berpunggung putus asa

Tetapi manusia tetap saja hanyalah simpulan nama
Sebangsa hewan jenius intelegensia
Dalam benaknya tersisip decakan ruang-ruang perselisihan antara rasa
Relung-relung kejadian dan putusan logika
Persuaan nurani dan dahaga nafsu nan terus menjelma

Tiada jengkal tubuh tanpa kuasa
Tak pernah ada kuasa tanpa menyisakan perparuh bagian tuk melena
Pun semua bergeming dalam jenaka
Sejenak pelipurlara, dalam gelanggang banyolan duka

Menjadi biasa bukan berarti hina
Menyederhana tidaklah mesti layak untuk dicerca
Bukankah identitas privasi tetap terjaga?
Meski nyaring kempes perut miliknya seringkali menegasikan dirinya sebagai kaum duafa
Sungguh, tak ada alasan untuk menyela

Biarlah fakta berbicara tentang rupa
Nyatanya kesengsaraan itu tidak lain adalah permata
Suara sumbangnya berkali-kali harus ditebus bongkahan harta
Lembaran rupiah terhamburkan seketika
Lihat saja, tatkala kesempatan pemilihan wakil rakyat itu tetiba

Semua tersentak, tak mampu beranjak
Diam, percuma saja barang sedetikpun tak ada daya untuk berontak
Terampas harkat-martabat dan hakikat seakan-akan nadir yang tak dapat ditolak
Paripurna sudah manusia penghamba, tak ada rongga celah terhadap sejumput hak
Jiwa-raganya telah tergadai semangkuk bubur di ujung tombak

Hampir saja,
Tak pernah ada niatan tuk menjenguk lipatan cipta
Apapun itu, menjadi nadim abadi adalah lantaran untuk menderma
Berjejal tekad mewujud amunisi kegandrungan akan hidup menyala-nyala
Setiap inci tanpa bersisa

Mungkin benar, manusia acapkali beristerikan luput dan nista
Sementara sumbu nafas-nafas pengharapannya, tidak lain rentetan do'a
Proses panjang jerit hatinya memotret selongsong kegetiran nasib yang tak pernah diterka
Kalkulasi tipu daya lebih banyak menabuh gamelan sukacita
Kokoh-lestari terpelihara

Tak ada bagian kisah yang benar-benar berubah dalam sesaat
Semula hendak menggila dengan mengupat
Namun, tengiang ikrar setia teruntuk taat
Lenyap sudah segunung onak, teramat
Habis riwayat, berduyun-duyun laku pelawat

Gerutu rakyat jelata
Yang terabadikan dalam sentosa
Ciamis, 30 Mei 2020

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun