Salam merdeka! Selamat menyambut hari kemerdekaan.
Tulisan atau pidato Soekarno ini memang sangat panjang, namun sangat menginspirasi dan sayang sekali jika dilewatkan. Semoga gagasan dan cita-cita yang ada di tulisan ini dapat menjadi salah satu bahan reflektif menyambut hari kemerdekaan dan hari kedepannya. Berpikir merdeka, bicara merdeka dan menjadi manusia merdeka! Salam merdeka.
Saudara-saudara sekalian.
Tatkala Pak Sarino, anggota DPP-PNI, menghadap kepada saya untuk mengundang saya datang di resepsi Kongres PNI yang IX di Sala. Sala, bukan Solo; Ya, di kalangan pemuda-pemudi pun selalu masih: " ...Dari mana, Nak ?...” “...Dari Solo, Pak...”, beliaupun minta kepada saya untuk memberi ceramah kepada pemuda-pemudi Sala, mahasiswa-mahasiswa dan pemuda-pemudi lainnya. Pada waktu itu dengan segera saya berkata: “Insya Allah, saya akan memberi ceramah.”
Ini tadi, Pak Wakil Menteri Pertama Dr. Leimena, memesan kepada saya: “Nanti kalau Bung Karno mulai ceramah kepada pemuda-pemudi, ulangilah hal sedikit fobi, dan tekankan kepada mereka bahwa problem zaman sekarang ini ialah: progresif atau tidak progresif - dan siapa yang tidak cukup progresif -. progresif yaitu maju, progresif - siapa yang tidak progresif akan digiling, digilas oleh sejarah. -” Ini perkataan, ucapan-ucapan Pak Dr. Leimena beberapa detik yang lalu.
Ucapan Pak Leimena itu tepat sekali. Memang siapa tidak cukup progresif di zaman sekarang ini akan digiling, digilas, ditindas habis-habisan oleh sejarah. Maka oleh karena itu saya minta kepada semua pemuda-pemudi supaya berpikir dengan semangat progresif. Namanya saja sudah progresif. Progresif itu mengandung arti bergerak ke muka. Kalau orang diam, itu tidak progresif. Anak-anak mengerti apa itu artinya perkataan progress ? Progress artinya kemajuan. Progresif artinya ialah menuju kepada kemajuan. Dus, bukan sikap diam, bukan sikap takut, tetapi sikap bergerak maju, sikap dinamis.
Kalau saya bicara tentang hal dinamis, bergerak, bertindak, bersikap, apalagi jika saya berhadapan dengan pemuda-pemudi, saya ingat ucapan para mahasiswa kita kira-kira 35 tahun yang lalu. Ya, pada waktu itu sebagian mahasiswa-mahasiswa Indonesia di Eropa, sedikit sekali jumlahnya, karena zaman kolonial memang tidak memberi kesempatan kepada pemuda-pemudi kita untuk mencari ilmu tinggi. Tiga puluh lima tahun yang lalu di Eropa ada sekelompok mahasiswa-mahasiswa Indonesia, dan mereka itu mengeluarkan satu majalah bulanan. Mengeluarkan pula satu risalah tahunan untuk memelihara semangat antara mereka, untuk membuat jelas dan jernih tujuan-tujuan yang harus ditempuh. Di dalam kitab tahunan mereka itu, 35 tahun yang lalu, waktu itu engkau belum lahir sebab yang hadir di sini masih teenagers. Ya, ada sedikit yang lebih dari teenagers mereka menulis begini, ini saya sitir juga pada waktu saya berhadapan dengan pemuda-pemudi kita di Tokyo beberapa bulan yang lalu, di dalam bahasa asing, bahasa Belanda waktu itu, jadi ini ucapan ditujukan kepada golongan pemuda dan pemudi daripada bangsa sendiri: “…Niet meer kunnen wij ons overgeven aan de belijdenis van een levens-philosofie die direct of indirect onze eigen ondergang is geweest. Het moderne leven eist beweging, activiteit; en wie dat niet eerbiedigt wordt verpletterd in het gedrang van mensen en volkeren die vechten om het bestaan …”
Ini kalimat adalah kalimat yang berhikmat, “… Niet meer kunnen wij ons overgeven aan de belijdenis van een levens-philosofie die direct of indirect onze eigen ondergang is geweest. Het moderne leven eist beweging, activiteit; en wie dat niet eerbiedigt wordt verpletterd in het gedrang van mensen en volkeren die vechten om het bestaan …”
Artinya, kita sekarang ini tidak boleh hidup dengan falsafah adhem, tentrem, ayem, “adhem tentrem kadya siniram banyu wayu sewindu lawase,” yang falsafah hidup demikian ini sebenarnya menjadi sebab kita tenggelam, kita hancur. Hidup modern menuntut supaya kita ini bergerak, aktif, sebab siapa yang tidak bergerak, tidak aktif, bangsa yang tidak bergerak, tidak aktif maju, akan hancur terhimpit dalam perjuangannya atau perbuatannya bangsa-bangsa atau rakyat-rakyat yang mencari hidup, “… en wie dat niet cerbiedgt wordt verpletterd in het gedrang der mensen en volkeren die vechten om het bestaan …”
“Het moderne leven eist beweging, activiteit.” Hidup baru ini menuntut kita ini bergerak, beweging, menuntut kita ini aktif, aktif maju ke muka. Siapa yang tidak bergerak, siapa yang tidak aktif maju ke muka. Siapa yang tidak bergerak, siapa yang tidak aktif maju ke muka, hancur lebur, terhimpit dalam perebutan perjuangannya bangsa-bangsa yang mencari hidup.
Ya, dunia sekarang menunjukkan, “het gedrang van mensen en volkeren die vechten om het bestaan.” Dunia sekarang laksana dunia yang terbelah dua, yang satu sama lain hendak bertempur, yang satu sama lain desak-mendesak dan bangsa Indonesia, jikalau tidak beweging, tidak ber-beweging, tidak menunjukkan activiteit, bangsa Indonesia akan hancur di dalam perjuangan perebutan ini, bangsa Indonesia akan laksana mentimun terhimpit oleh desakannya buah durian yang keras dan kuat. Akan mati terhimpit laksana cempe, anak kambing di dalam himpitan perebutan hidup dua gajah yang besar yang berjuang satu sama lain.
Saya berkata ucapan ini adalah ucapan yang amat berhikmat dan terus terang saja, kalimat ini menghikmati Bung Karno pula. Pada waktu itu, Bung Karno itu, wah seperti kamu ini, jejaka Kakrasana yang baru turun dari pertapaan Argasonya. Ya, hidup saya sebagai mahasiswa itu boleh dikatakan sebagai pertapaan Argasonya. Saya, coba tanya Pak Surowiyono ini, temannya almarhum Tjokroaminoto.
Saya ini sewaktu kecil-kecil, waktu muda-muda, hidup di dalam asuhannya almarhum Tjokroaminoto, hidup di dalam satu kamar, yang sederhana, sangat sederhana, tidur di amben. Ada lampu listrik, tetapi plenthong-nya itu mesti dibeli sendiri; tetapi tidak ada uang untuk beli plenthong, jadi plenthong – peer, oleh karena tidak mempunyai uang untuk membeli plenthong, aku beli lampu cempor.
Ya, malam-malam saya belajar di dalam sinarnya lampur cempor ini, banyak membaca, banyak sekali membaca, sehingga pernah saya ceritakan di dalam pidato di luar negeri bahwa saya ini sebenarnya, ini menyimpang sebentar saya ini sebenarnya adalah citizen of the world artinya warga negara dunia, bukan warga negara Indonesia saja tetapi warga negara dunia, oleh karena saya telah berjumpa dengan pemimpin-pemimpin besar daripada semua bangsa. Aku berkata, aku pernah berjumpa dengan George Washington, pernah berjumpa dengan Jefferson yang menulis Declaration of Independence Amerika. Saya pernah berjumpa dengan Gladstone, saya pernah berjumpa dengan pemimpin-pemimpin revolusi Perancis dari Mirabeau sampai Danton, sampai Robbespierre, sampai Marat, sampai Theroigne de Mericourt, saya pernah berjumpa dengan Mazzini dari Italia dan Garibaldi, saya pernah berjumpa dengan Sun Yat Sen dari Tiongkok, saya pernah berjumpa dengan Stalin, dengan Lenin, dengan Plekhanov dari Rusia, saya pernah berjumpa dengan Mahatma Gandhi, dengan Jawaharlal Nehru, Muhammad Ali, Syaukat Ali; saya pernah berjumpa dengan Mustapha Kamil dari Mesir, saya pernah berjumpa dengan Dr. Jose Y. Mercado dari Filipina.
Apa sebab ? Ini tadi, di pertapaan Argasonya, aku duduk sendiri, malam-malam dengan sinarnya lampu cempor aku membaca kitab sejarah, membawa riwayat-riwayat hidup, membaca tulisan-tulisan dan pidato-pidato daripada orang-orang besar yang saya sebut namanya itu tadi, sehingga saya berjumpa dengan pemimpin-pemimpin besar dari negara-negara, dari bangsa-bangsa di luar negeri itu, sehingga saya mengerti akan segenap cita-citanya, sehingga saya bisa, boleh dikatakan me-inleven in -menyatuduniakan diri saya ini dengan mereka itu, sehingga akhirnya saya kadang-kadang merasa diri saya ini bukan warga negara Indonesia, “but I am a citizen of the world,” warga negara dunia.
Lha, antara apa yang aku baca ini tulisannya, pemuda-pemudanya, pemudi-pemudinya bangsa Indonesia sendiri, menghikmati benar kepada saya. Memang jikalau kita progresif, tidak maju, tidak beweging, tidak activiteit, kita akan hancur lebur di dalam himpitannya bangsa-bangsa yang sekarang merebut hidup, yang sekarang sudah nyata dunia ini laksana kancah perjuangan. Oleh karena itu, maka boodschap, amanat saya yang pertama kepada pemuda-pemudi ialah: dinamik, bercita-cita yang tinggi.
Ya, meskipun saya harus seribu kali mengulangi bahwa engkau harus mencantumkan cita-citamu setinggi bintang di langit, jikalau tidak setinggi bintang di langit cita-citamu terlalu rendah.
Saya ambil hal ini dari kitab Emerson, yang berkata, “Hangt Uw idealen aan de sterren, wanneer zij daar niet hangen dan hangen zij te laag” gantungkan cita-citamu setinggi bintang di langit, jikalau tidak setinggi bintang-bintang di langit, cita-citamu masih terlalu rendah. Meskipun engkau berkata bahwa cita-citamu setinggi Gunung Semeru, aku berkata masih terlalu rendah. Meskipun engkau berkata bahwa cita-citamu setinggi Gunung Kinibalu di Kalimantan, aku masih berkata: Cita-citamu masih terlalu rendah. Meskipun engkau berkata bahwa cita-citamu setinggi Gunung Himalaya di India, aku masih akan berkata bahwa cita-citamu masih terlalu rendah.
Cita-citamu harus setinggi bintang di langit. Meskipun aku harus seribu kali mengulangi kalimat itu, saya tidak akan bosan-bosan sebab memang pemuda dan pemudi harus bercita-cita setinggi bintang di langit. Perkara tidak tercapainya cita-cita itu tergantung daripada kita sendiri. Dr. Ratulangie almarhum, coba, engkau pernah mendengar nama itu, salah seorang pemimpin kita; jikalau engkau ingin mengetahui benar-benar, namanya lengkap Dr. G.S.S.J. Ratulangie pernah menulis berikut: “… di Minahasa itu ada gunung, gunung tinggi, namanya Gunung Kelabat. Di lereng Gunung Kelabat ini ada satu tempat yang namanya Air Madidih.” Dr. G.S.S.J. Ratulangie berkata: “Onze gedachten gaan naar de top van de Kelabat, onze voeten brengen ons tot Air Madidih …” Kita bercita-cita sampai ke puncaknya Gunung Kelabat, tetapi ikhtiar kita, kita berjalan hanya sampai ke Air Madidih. Sama dengan kita bercita-citakan puncaknya Gunung Lawu, kaki kita membawa kita hanya sampai ke Tawangmangu.
Lha, dus perkara kamu mencapai atau tidaknya cita-cita yang setinggi bintang di langit itu tergantung daripada usahamu sendiri, tetapi lebih dahulu cita-citamu harus setinggi bintang di langit.
Nah, aku kembali kepada cerita yang mula-mula. Di pertapaan Argasonya, kamar gelap di rumahnya Haji Oemar Said Tjokroaminoto, aku mengembleng aku punya jiwa, pengetahuan dan lain-lain sebagainya. Nah, kemudian aku keluar dari pertapaan Argasonya ini, sebagai pemuda pejuang. Aku ceburkan diri di dalam gerakan nasional, menceburkan diri di dalamnya gerakannya pemuda, dan alhamdulillah, Tuhan terpuji, sekarang ini, ya Bung Karno ini, bolehlah dikatakan jadilah bibit manusia.
Saudara-saudara, Pak Leimena tadi sudah berkata, “mbok pemuda-pemuda itu jangan mempunyai rasa takut,” karena itu Pak Leimena minta supaya saya mendalamkan, mengulangi lagi hal fobi. Kita ini, dan aku menyesal bahwa di kalangan pemuda juga ada yang menderita penyakit fobi. Fobi yaitu penyakit ketakutan. Kalau kita takut kepada barang sesuatu, yang normalnya, biasanya kita tidak takut kepadanya, kita ini dihinggapi oleh penyakit fobi.
Tadi malam aku ceritakan tentang orang yang kena penyakit anjing gila, digigit anjing gila, ketularan penyakitnya anjing gila itu, -ya, Pak Dr. Saleh mengatakan bahwa penyakit anjing gila itu dinamakan penyakit rabies- Orang yang ketularan penyakit rabies, antara lain kena rasa takut kepada air. Dia kalau melihat air itu, takut, takut. Tadinya dia tidak takut kepada air, suka mandi, suka minum, suka nglangi, berenang, di dalam sungai, pergi ke Tirtonadi dan lain-lain tempat, tetapi kalau kena penyakit rabies itu di dalam bahasa asingnya hydro, hydro dinamica, hydro electro power, hydro itu air, maka penyakit takut kepada air ini dinamakan hydro phobia.
Kita ini menderita juga penyakit, ada di antara kita itu yang menderita penyakit fobi: fobi komunis, takut kepada komunis. Jangan dekat dengan orang komunis. Takut ! Yaitu yang saya namakan Communisto phobi. Takut kepada perkataan kiri. Jangan dituduh kita itu kiri.
Tadi malam saya terangkan dengan jelas bahwa orang Marhaenis tulen harus kiri: tidak boleh tidak. Ada yang berkata, Marhaenisme itu adalah satu paham tengah, PNI itu sebetulnya mesti partai tengah, tidak kanan, tidak kiri; PNI itu harus tengah, partai tengah. Marhaenisme itu adalah paham tengah. Saya berkata: “Itu adalah salah ! Marhaenisme adalah kiri.” Kita jangan takut kepada perkataan kiri. Jangan kita menderita penyakit kiri fobi.
Jangan kita takut kepada perkataan Marxisme. Ada orang yang Marxisme fobi, Marxisto phobi, takut Marxisme. Bung Karno Marxist. Ya, saya terang-terangan ora tedheng aling-aling, aku iki Marxist. Ya, malah saya katakan berulang-ulang, Marhaenisme adalah Marxisme yang dijalankan, toegepst, di Indonesia. Marhaenisme is het in Indonesia toegepst marxisme, Marhaenisme adalah Marxisme yang di toepassen, dijalankan, diselenggarakan di Indonesia, di Indonesiakan. Lantas barangkali diantara pemuda-pemudi ada yang berkata: “Bung Karno itu mendirikan masjid di halaman Istana, dikasih nama Baiturrahim. Bung Karno itu kok sembahyang …Ya, kalau begitu Bung Karno itu beragama, Bung Karno itu percaya kepada Tuhan…” Ya, aku percaya kepada Tuhan, aku bersembahyang, aku mendirikan masjid Baiturrahim. “Lha kok Bung Karno Marxist. Marxist itu kan anti Tuhan ? Anti Agama.” Ini ajarannya profesor siapa ? Marxisme itu adalah satu cara berpikir, satu denkmethode. Cara mengupas, cara berjuang. Itu adalah marxisme. Dari perkataan Marx.
Marxisme berfalsafah historisch materialism. Barangkali anak-anak mengetahui bahwa Marxisme itu dia punya dasar falsafah ialah historis materialisme. Tentu dikalangan lantas ada: “… Hmmm, nah kena Bung Karno ini, kena… Sebab Bung Karno sendiri bilang bahwa falsafah Marxisme ialah materialisme. Bung Karno berkata, historis materialisme. Materialisme, perbendaan. Dus tidak ada Tuhan. Tidak ada segala sesuatu yang tidak kelihatan oleh panca indera. Materialis tidak percaya kepada Tuhan oleh karena dia materialis. Segala itu materi, segala itu benda…”
Saudara-saudara, dengarkan, falsafah Marxisme adalah historis materialisme, materialisme historis.
Apa ada materialisme lain ? Ada ! Apa itu materialisme lain ? Materialisme lain itu ialah yang dinamakan philosophical materialism, filisofis materialisme, dalam bahasa Belandanya wijsgerig materialisme. Philosophical materialism yaitu materialisme yang filosofis itu memang berfalsafah bahwa tiada lain melainkan benda. Menurut ajaran philosophical materialism, filosofis materialisme atau wisjgerig materialisme yang pentolannya misalnya Feurbach, -di Jerman dulu ada seorang ahli falsafah namanya Feurbach.- Dia itu materialis tulen, dia adalah philosofich materialist, philosophical materialist-, dan menurut Feurbach ini tidak ada apa-apa melainkan materi; misalnya pikiran; pikiran kan tidak bisa dipegang. Kalau menurut Feurbach, pikiran itu apa ? Pikiran itu syncretie, jadi pengeluaran dari fosfor. Otak itu berisi fosfor. Fosfor ini bekerja, bekerja, keluar satu zat yang dinamakan pikiran, gedachte. Dus pikiran ini adalah pengeluaran dari materi, daripada benda yang bernama fosfor. Feurbach singkatkan dia punya perkataan gedachte is fosfor, pikiran itu adalah fosfor. Rasa itu adalah darah dari urat-urat; itulah rasa.
Feurbach adalah seorang materialis tulen. Dia adalah philosofich materialist. Historisch materialist adalah lain. Feurbach adalah Philosophical materialist. Maka oleh karena historical materialism, historis materialisme, dasar daripada Marxisme itu berlainan, maka kamu orang jangan campur-campurkan antara dua itu.
Lha itu, apa yang dinamakan historis materialisme, historical materialism ? Sebagai tadi kukatakan, materialisme adalah satu denkmethode. Satu cara berpikir. Dasar Marxisme adalah historis materialisme. Cara berpikir secara historisch materialist ialah bahwa segala kejadian-kejadian, segala alam pikiran di dalam suatu massa, segala rasa daripada bangsa, daripada manusia dalam sesuatu massa, itu adalah pencerminan daripada sociaal economische verhoudingen, daripada keadaan-keadaan sosial ekonomis. Supaya kita mengerti: lho, manusia ini, dulu pikirannya kok begini, kok lantas pindah ke pikiran yang begitu, kok lantas pindah lagi ke pikiran yang begitu. Ini oleh Marxisme diterangkan sebabnya berpikiran yang secara begitu ialah oleh karena keadaan dan perbandingan-perbandingan sosial ekonomis, dus materiil adalah begitu. Kalau keadaan sosial ekonomis materiilnya berubah, alam pikiran manusia juga berubah. Jikalau sosial ekonomis berubah menjadi hijau, alam pikirannya hijau. Jikalau materiilnya ini, berubah putih, sociaal economische verhoundingen-nya putih, alam pikirannya menjadi putih. Jikalau sosial ekonomis keadaannya ini menjadi merah, alam pikirannya menjadi merah. Jadi alam pikiran berubah menurut perubahan-perubahan di dalam sociaal economische constellatie di dalam sesuatu golongan manusia.
Engels dan Marx mengingatkan di dalam dia punya kitab, bahwa - dalam bahasa Indonesianya saja - : “bukan alam pikiran manusialah yang membentuk sifat dia punya keadaan sosial-ekonomis, tetapi sebaliknya, dia punya keadaan sosial-ekonomislah yang membentuk dia punya alam pikiran.” Itu perkataan Friedrich Engels dan Karl Marx.
Lha itulah Saudara-saudara, historis materialisme. Jadi tidak sama sekali itu mengganggu kepada kepercayaan kepada Tuhan.
Saya pernah di dalam kongres PKI di Jakarta, menerangkan bahwa saya itu percaya mati-matian kepada Tuhan, tetapi juga bahwa saya ini Marxist. Na, janganlah kita dihinggapi oleh penyakit marxisto-phobi. Lha wong nggak Jawane Marxisme, wis, nggak mau, nggak mau sama Marxisme. Itu salah ! Apalagi mahasiswa, apalagi pemuda-pemudi. Selami, selami, pelajari seperti Pak Karno di dalam dia punya pertapaan Argasonya. Baca kitab-kitab kalau mau ngerti Marxisme. Jangan kok sekonyong-konyong diambil kitab tebal yang namanya Das Kapital, kitab Marx yang termasyur. Ya, tulisan Marx yang termasyur yaitu Das Kapital diambil, dibaca, ndleming, ndak ngerti. Sama saja dengan seorang santri yang belum apa-apa sudah membaca kitab Sifat Duapuluh. Ya banyak yang miring pikirannya !
Kalau mau mengerti Marxisme, baca dulu kitab-kitab kecil yang mengomentari Marxisme. Kitab-kitab kecil, tulisan komentator-komentator daripada Marxisme itu. Kitab-kitab kecil lebih dahulu yang ditulis oleh orang-orang yang bisa bicara secara gampang, secara mudah, secara sederhana. Lha kalau kita sudah membaca kitab-kitab kecil itu, masih lagi kita baca kitab-kitab yang lebih tebal, akhirnya baru bisa datang kepada sentralnya, kita membaca Das Kapital, kita membaca kitab Marx yang lain-lain, misalnya kitab Anti-Duehring yang ditulis oleh Friedrich Engels baik sekali.
Kalau Saudara-saudara telah membaca kitab-kitab itu, nah, Saudara-saudara saya kira tidak lagi akan menderita penyakit Marxisto phobi. Pemuda tidak boleh menderita penyakit fobi. Tidak ! Pemuda harus berani apa saja. Mana yang baik buat tanah air, mana yang baik buat masyarakat, mana yang baik buat hidup, bercita-cita, ambil itu. Jangan belum-belum kok sudah memisahkan diri. Tidak !
Lha ini, pemuda-pemuda Eropa, yang mengatakan Het moderne leven eist beweging en activiteit, en wie dat niet eerbiedigt verpletterd in het gedrang van mensen en volkeren die vechten om het bestaan. Ini pemuda-pemuda adalah penganjur-penganjur daripada persatuan Indonesia. Pemuda-pemuda ini pun terdiri daripada bermacam-macam alam pikiran, misalnya pada waktu itu Pak Dr. Mohammad Hatta ada di dalamnya, Pak Ahmad Subarjo, yang sekarang menjadi Duta Besar di Swiss ada di dalamnya, ada Pak yang sekarang bernama Profesor Mr. Iwa Kusumasumatri, presiden daripada Universitas Padjajaran di Bandung. Pada waktu mengeluarkan kitab itu, Pak Iwa Kusumasumatri baru pulang dari Moskow. Padahal pada waktu itu Moskow masih hebat-hebatnya. Hebat-hebatnya menganjur-nganjurkan bolsyewisme, komunisme, komunisme. Pak Iwa Kusumasumatri tidak gentar; dia datang ke Moskow bersama-sama dengan Pak Ahmad Subarjo, dua pemuda di Moskow. Dua pemuda ini menyelami benar-benar apa yang dinamakan Marxisme, apa yang dinamakan sosial demokrasi, apa yang dinamakan komunisme. Mereka pulang dari Moskow, dua pemuda ini, bercampur gaul dengan pemuda-pemuda bangsa Indonesia yang lain; bersama-sama mereka itu lantas menggodok alam pikiran baru ini: Het moderne leven eist beweging en activiteit. Bersama-sama mereka menganjurkan persatuan Indonesia; bersama-sama mereka mengatakan bahwa Indonesia tidak bisa merdeka jikalau rakyat Indonesia tidak bersatu.
Kalau kita mau bersatu, lebih dahulu kita itu jangan fobi-fobian. Kalau kita mau bersatu, apalagi di dalam keadaan yang sekarang ini, yang bangsa Indonesia sudah nyata satu golongan besar Islam, satu golongan besar nasionalis, satu golongan besar komunis, kok kita lantas mau fobi-fobian. Wah, terpecah belah kita punya bangsa nanti, adik-adikku. Kita harus bersatu padu.
Kita harus bisa mensintesekan ini, mensintesekan ini, mensintesekan alam pikiran yang sekarang hidup di dalam kalangan rakyat Indonesia ini, dari Sabang sampai Marauke baik daripada golongan agama Islam, ataukah Kristen, maupun daripada golongan nasionalis, maupun daripada golongan apapun kita persatukan, kita sintesekan. Hanya kalau kita bisa mensintesekan segenap tenaga revolusioner di Indonesia inilah, maka Indonesia bisa menjadi satu negara yang kuat dengan satu masyarakat yang adil dan makmur di dalamnya. Jikalau tidak demikian, kita makin tenggelam. Karena itu, kita lebih dulu harus jangan fobi-fobian.
Ada fobi USDEK sekarang ini. Masya Allah, lha wong USDEK kok di fobi-fobi, sosialisme kok difobi. Iya, ada yang menuduh, Bung Karno ini sudah tidak Pancasila. Dulu Bung Karno itu Pancasila, Pancasila, Pancasila; sekarang Bung Karno kok sosialis, USDEK, sosialis, USDEK, Manifesto Politik, amanat penderitaan rakyat, USDEK, sosialis, amanat penderitaan rakyat. Ya, Bung Karno ini sudah nyeleweng!
Saya tadi malam menjelaskan dengan tegas, dan dahulu di dalam pidato koperasi Jakarta pun sudah saya jelaskan dengan tegas, sosialisme adalah sebagian daripada Pancasila. Anak-anak mengetahui Pancasila: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Kedaulatan Rakyat, Keadilan Sosial. Jangan kira keadilan sosial itu lain daripada sosialisme. Tidak ! Keadilan sosial adalah sosialisme. Bapak selalu berkata: adil dan makmur, makmur dan adil. Adil tetapi makmur, makmur tetapi adil. Ada makmur yang tidak adil. Makmur, ya, makmur tetapi adil. Ada makmur yang tidak adil. Makmur, ya, makmur. Makmur tetapi, biar kanca mampus, biar kanca menderita papa sengsara. Itu makmur, tidak adil.
Sebaliknya ada yang: adil, samarata samarasa, tetapi tidak makmur. Ya toh. Kalau semuanya kita itu baju compang-camping, Ibu Hartini compang-camping, Ibu Utomo compang-camping, Pak Saleh baju compang-camping, saya baju compang-camping, ini gaunnya yang merah compang-camping, Ibu Hartini compang-camping, Ibu Utomo compang-camping, Pak Nasution yang ganteng ini compang-camping, Semuanya compang-camping, compang-camping, semuanya dengan tikar atau goni; adil bukan ? Adil ! Samarata samarasa, tetapi tidak makmur.
Dus, keadilan sosial yang dimaksud di dalam Pancasila itu adalah sosialisme. Maka oleh karena itu jangan menderita penyakit sosialisme fobi. Siapa yang setia kepada Pancasila, harus setia kepada sosialisme. Sosialisme yang dikehendaki oleh bangsa Indonesia adalah sosialisme adil dan makmur.
Memang, sosialisme sejati adalah adil dan makmur. Dan makmur tidak bisa begitu jatuh sendiri dari langit, kataku berulang-ulang. Kalau kita ingin menjadi satu bangsa yang makmur, dan adil, satu bangsa yang cukup sandang cukup pangan, cukup perumahan, cukup pengajaran dan pendidikan, cukup alat-alat perlalulintasan, alat-alat kebudayaan, cukup segala-galanya, satu bangsa yang betul-betul gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja, jikalau kita memang benar ingin menjadi bangsa yang demikian, maka kita harus mengadakan kemakmuran yang adil dan kemakmuran ini, - yang seperti tadi saya katakan, - tidak begitu saja jatuh dari langit; tetapi karena usaha keras daripada bangsa kita yang saya berkata di dalam pidato-pidato yang lalu, untuk kita menyelenggarakan kemakmuran kita harus sekarang ini mengadakan investment of human skill, material investment, mental investment. Sebab kalau tidak, kita mengadakan investment yaitu persiapan-persiapan, persediaan daripada sekarang, kita tidak bisa membentuk satu masyarakat yang makmur, apalagi adil.
Apakah ada cita-cita samarata samarasa yang sebenarnya tidak makmur ? Ada ! Tempo hari saya jelaskan disini, misalnya antara Mahatma Gandhi dan kita, ada perbedaan yang besar sekali. Kita menghormati Mahatma Gandhi sebagai pemimpin India, tetapi dia punya cita-cita sosial ekonomis kita tidak mau terima. Mahatma Gandhi itu begini: dia itu saking bencinya kepada kapitalisme, yang dia melihat dalam alat kapitalisme, yaitu mesin, kapal udara, lokomotif, ilmiah yang bertingkat tinggi, teknologi yang bertingkat tinggi dan sebagainya; Gandhi itu benci kepada obat-obatan yang modern, benci kepada ilmiah yang tinggi, benci kepada hal-hal yang adalah hasil daripada teknologi yang tinggi. Dia itu menghendaki bahwa orang India itu semuanya, ya, adil sedikit, asal semua orang mempunyai sebidang tanah kecil, masing-masing orang menanam kapas sendiri di bidang-bidang tanah kecil itu, masing-masing orang petik sendiri kapasnya dan pintal sendiri. Ingat dia punya lambang yaitu Jantera. Sudah pernah melihat bendera India ? Di tengahnya itu ada jantera, cakranya Kresna, tetapi juga kalau ditinjau dari sudut Gandhiisme, itu jantera. Pintal sendiri: kalau sudah pintal sendiri, tenun sendiri.
Nah, kalau masyarakat India sudah begitu, tiap orang mempunyai tanah yang kecil, tanam sendiri dia punya makanan, bikin pakaian sendiri, tenun sendiri, kalau mau bepergian, tidak usah naik oto, atau naik kapal udara .... Gendheng, iki piye ? Numpak motor, numpak kapal udara.... tidak ! Jalan kaki atau naik gerobak ditarik kerbau, dia sudah senang. Kita tidak. Sosialisme kita lain daripada itu. Kita menghendaki satu masyarakat adil dan makmur, dan kemakmuran tidak bisa diselenggarakan dengan tenaga tangan saja.
Jikalau kita ingin mempunyai masyarakat yang makmur, kita harus mempunyai industri, kita harus mempunyai pabrik-pabrik, kita harus mempunyai ilmiah yang tinggi. Kita harus mempunyai laboratorium yang lengkap sama sekali. Kita harus mempunyai pemuda dan pemudi yang berpikir modern, kita harus mempunyai manusia Indonesia yang bisa mengukir langit. Jikalau kita harus mempunyai bangsa Indonesia yang demikian, bangsa Indonesia yang bisa menyelenggarakan pabrik-pabrik industrialisme, bisa menjalankan penggarapan tanah secara modern, - tidak seperti sekarang ini, penggarapan tanah, macul, mbubuti satu persatu kalau matun, lantas nggelethak di bawah pohon lantas ura-ura, pangkur atau dhandhanggula....- Masya' Allah, bangsa Indonesia begini. Kita ubah sama sekali, bangsa Indonesia menjadi satu bangsa yang modern, tetapi pembagian daripada industrialisasi, hasil agraria yang tinggi, hasil daripada kimia, hasil daripada teknologi, hasil daripada pengetahuan dokter-dokter, hasil daripada pengetahuan yang bisa mengukir langit, untuk seluruh masyarakat.
Adil. UUD’45 pasal 33, disitu ditulis bahwa perekonomian dijalankan berdasarkan kekeluargaan. Lha, kekeluargaan itu apa ? Yaitu sosialisme, Adil paramarta, adil tapi makmur, dan oleh karena itulah, oleh karena kita menghendaki satu masyarakat yang makmur, kita harus sekarang ini mengadakan investment of human skill, material investment. Human skill itu, ya, itu tadi; bisa mengukir langit.
Saya berkata di dalam kongres koperasi tempo hari bahwa kita tidak bisa mengadakan satu masyarakat adil dan makmur, jikalau kita tidak mempunyai dokter-dokter cukup, insinyur-insinyur cukup, ahli-ahli kimia cukup, ahli-ahli pertanian cukup, dari cabang-cabang yang rendahan cukup. Pendek, mempunyai human skill.
Kita kekurangan human skill, maka oleh karena itu pemerintah Republik Indonesia sekuat-kuat tenaga dan ya, sekuat-kuatnya membangun sekolah-sekolah. Membangun universitas-universitas, membangun akademi-akademi, membangun sekolah-sekolah lanjutan, membuat pemuda-pemudi yang modern, membuat pemuda dan pemudi yang bisa berpikir secara modern, secara sosialis. Tidak lain tidak bukan itu adalah sebagian daripada usaha kita untuk investment of human skill.
Jadi kewajibanmu sebagai pemuda ialah, nomer satu: membuat dirimu menjadi orang yang skillful sepenuh-penuhnya di lapanganmu masing-masing. Engkau ingin jadi dokter ? Baik, skill dokter harus engkau ambil sepenuh-penuhnya. Jangan dokter tempe. Dokter yang betul-betul dokter. Engkau ingin menjadi insinyur ? Ya, skillful yang se-skillful-skillful-nya. Jangan insinyur yang Cuma bikin gubuk dan jembatan kecil. Saya pernah di hadapan pemuda dan pemudi berkata: O, kalau umpamanya saya bisa menjadi insinyur thok, dan tidak seperti sekarang ini, disuruh gembar-gembor di hadapan rakyat, O, saya ini ingin membuat jalan kereta api, kataku, dari Kutaraja, terus ke selatan, sampai ke Panjang di Lampung, di bawah lautan Selat Sunda, tunnel, sampai ke Anyer di Banten. Kereta api terus sampai ke Banyuwangi, selulup di bawah Selat Bali, sampai di Gilimanuk, terus melintasi Pulau Bali, terus selulup di bawah Selat Sumbawa, terus melintas Lombok, Sumbawa dan seterusnya, terus sampai Kupang. Naik kereta api dari Kutaraja, dua hari kemudian sudah sampai di Kupang, bertemu dengan anak-anak kita di Kupang. Lha, ini, ini insinyur yang bercita-citakan setinggi bintang di langit.
Human skill, tetapi di samping human skill kita harus mengadakan material investment, yaitu mempersiapkan segala materi, alat-alat untuk pembangunan. Saya selalu membikin contoh semen. Mana bisa membuat gedung ini kalau tidak ada semen. Mana bisa membuat pabrik kalau tidak ada semen. Mana bisa bikin jembatan kalau tidak ada semen; mana bisa membuat landasan kapal udara kalau tidak ada semen. Mana bisa membuat pelabuhan jikalau tidak ada semen. Maka oleh karena itu, material investment adalah perlu sekali. Maka oleh karena itu kita tempo hari membuka pabrik semen. Tetapi sekarang pun belum cukup, pabrik Gresik cuma memenuhi kebutuhan 35%. Dulu sebelum pabrik semen Gresik ada, kita mempunyai pabrik semen di Indarung, Sumatera Barat, memenuhi 25% dari kebutuhan kita. Ya, kita punya pabrik semen Cuma dua ini lho; satu di Padang, Indarung, satu di Gresik. Satu menghasilkan 25%, satu 35%; Cuma 60%, kurang 40%, dan 40% ini kita harus impor dari luar negeri. Kita harus mengadakan material investment yang berupa semen, sedapat mungkin, kalau uang kita sudah ada, kita harus membangunkan pabrik semen, pabrik semen, pabrik semen, pabrik semen.
Masa, negeri Bulgaria, negeri kecil, saya kan baru darang dari Bulgaria, negeri kecil, penduduknya cuma 6 juta di Bulgaria, mereka itu mempunyai overproductie semen, membuat semen lebih banyak daripada kebutuhannya, sehingga pada waktu saya datang di sana, pemerintah Bulgaria, presidennya dan perdana menterinya menawarkan kepada saya: “.... Presiden Soekarno, kami bisa memberi semen kepada Indonesia, Indonesia mbok kasih kopi sama gula kepada kita....” Rakyat yang cuma 6 juta, yang dulunya rakyat Bulgaria rakyat yang paling miskin di seluruh Eropa ! Saya ingat pada waktu saya masih Kaakrasana, saya bikin pidato di Bandung. Saya ceritakan hal penderitaan rakyat di Indonesia, ya, pada waktu itu saya berkata, kalau di Eropa, penderitaan rakyat di Indonesia itu hampir-hampir sama dengan penderitaan rakyat Bulgaria. Saya bilang rakyat Bulgaria pada waktu itu memegang record kemiskinan. Record ! Lho, sekarang over produksi semen, Saudara-saudara, karena mereka punya usaha untuk mengadakan material investment itu hebat sekali.
Demikian pula negara-negara lain. Saya ini sudah pernah njajah desa milang kori, ke luar negeri, hanya ada beberapa negara yang belum saya kunjungi dan insya Allah Subhana Wata’ala, saya minta persetujuan Pak Dr. Leimena, tahun muka saya mau insya Allah datang juga di negara-negara itu. Dia itu pegang uang antara lain Saudara-saudara. Sebagai wakil menteri pertama, tanggung jawab atas uang pul. Lha kalau diizinkan oleh Pak Dr. Leimena, nanti tahun muka saya ingin melawat ke negara-negara lain itu.
Saya telah - kata orang Sunda - ngalanglang buwana. Menurut orang dari Jawa Barat Saudara-saudara, ngalanglang buwana saya sudah. Tiga perempat daripada muka bumi ini sudah saya jelajah dan saya melihat di negara-negara yang sosialis, di negara-negara yang berjalan di situ demokrasi terpimpin, material investment ini sangat sekali dikerjakan, sehingga mereka bisa mengadakan pembangunan tahap kemudian daripada itu, yang hebat sekali.
Maka oleh karena itu pun kita bangga Indonesia harus mengadakan material investment. Tetapi material investment pun tidak bisa hanya tergantung daripada kekayaan alam kita saja. Jangan menebah dadan dan berkata: “Indonesia paling kaya” “Indonesia is the richest country in the world.” Mau apa ? Indonesia punya besi ? Punya. Punya timah ? Punya. Punya tin ? Punya. Punya minyak ? Punya. Punya karet ? Punya. Punya kayu ? Punya. Punya kambing ? Punya. Punya bebek ? Punya. Segala-galanya punya. Jangan menebah dada, sekedar punya, punya. Itu semuanya harus digali.
Di luar negeri itu saya mempropagandakan Indonesia itu bukan main. Kalau saya sudah menggambarkan kekayaan Indonesia, timah, besi, minyak tanah, karet, dan lain-lain sebagainya itu, saya berkata kepada orang luar negeri, ya di Mesir, ya di Hongaria, ya di Rumania, ya di Bulgaria, ya di Uni Sovyet, ya di Brasilia, ya di Argentina, ya di Amerika Serikat, ya di Kanada, ya di mana-mana saya berkata: “Sekarang Indonesia ini sudah kaya bahan-bahannya; tetapi itu yang permukaan bumi kita saja.” “It is only what we have on the surface of Indonesia. What we scratched, - scratched, garuk from the surface of Indonesia,” kataku. Sekarang ini kekayaan kita yang mengagumkan dunia itu sekedar what we have scratched from the surface of our country. Belum kita mengetahui apa lagi Indonesia ini isinya, oleh karena kita memang belum selidiki sama sekali. Ini yang kita ketahui baru, ta, boleh dikatakan, baru yang kita tahu sekarang ini: on the surface. Surface itu kulit, kulit atas itu lho.
Kita baru garuk kulit tanah air. Huh, ada timahnya, huh, ada minyaknya, huh ada tehnya, huh, ada gulanya, huh, ada tembakaunya, huh, kulitnya, tetapi apa yang terkandung in the womb, di dalam haribaan Ibu Pertiwi, kita belum tahu. Kita belum tahu apa yang terbenam di dalam tanah Indonesia ini. Maka oleh karena itu, saya berkata: kekayaan kita ini baru, what we have scratched from the surface of our country.
Kita masih lebih kaya daripada ini, kita masih mempunyai emas lebih daripada sekarang. Mungkin kita masih mempunyai lebih daripada sekarang. Rakyat Uni Sovyet selalu berkata: Ural, Pegunungan Ural kaya sekali. Saya datang di kota Sverdlov; di sana itu ada museum geologi. Di dalam museum geologi ini ditunjukkan kepada saya dengan bangga: “Look here President Soekarno, rhis is what we have in the Ural.” Ya, ada bijih besi, ada bijih timah, ada batu-batu permata, batu yang hijau, ada yang merah, ada yang kuning, ada yang bruin, ada yang sawo, ada yang seperti berlian, tetapi itu Cuma semi precious, Cuma setengah berlian. Dipameri di situ; saya Cuma: “Huh… itu belum, Kalimantan jauh lebih kaya daripada ini.”
Kita lebih kaya Saudara-saudara, tetapi untuk menggali apa yang di atas kulit, untuk mengetahui apa yang masih terbenam di dalam haribaan Ibu Pertiwi, kita harus mempunyai human skill. Harus mempunyai ahli geologi, harus mempunyai ahli kimia, harus mempunyai ahli teknologi dan lain-lain sebagainya. Dus kita harus membuat banyak sekali pemuda-pemudi yang betul-betul mempunyai human skill yang setinggi-tingginya.
Kecuali dari itu, kataku, kita harus mengadakan mental investment. Mentalitas kita ini harus kita ubah sama sekali, supaya kita benar-benar bisa berpikir secara modern seperti yang dikehendaki oleh pemuda-pemudi kita 35 tahun yang lalu di negeri Eropa, “Het moderne leven eist beweging, activiteit, en wie dat niet eerbidight wordt verpletterd in her gedrang van mensen volkeren die vechten om het bestaan.” Mentalitas kita harus menjadi mentalitas yang bewegen dan actief. Mentalitas kita harus mentalitas artikel 33 Undang-undang Dasar ’45. Mentalitas kita harus mentalitas USDEK, mentalitas kita harus mentalitas menyelenggarakan amanat penderitaan rakyat, mentalitas kita harus mentalitas pejuang, pembangun, pembina yang sehebat-hebatnya. Kalau pikiran ini, seperti tadi saya katakan - aduh, bangsa Indonesia ini, mentalitas yang dinamis masih kurang - Saudara-saudara. Masih kurang. Lha, wong masih senang manuk perkutut. Kalau sudah kerja sedikit, lantas nggelar klasa, metheti manuk perkutut, lantas: “mboke njaluk the nasthelgi.” “Njaluk the panas ya kenthel ya legi.” Itu mentalitas kita, Saudara-saudara; suka mat-matan kita itu.
Lha kalau saya melihat rakyat di luar negeri, waduh negeri, waduh, dinamis-dinamisnya. Dia antara mahasiswa di luar negeri tidak ada salah pikiran, denkfout, seperti kita. Saya pernah di Jakarta mengumpulkan mahasiswa-mahasiswa, “Hai, mahasiswa-mahasiswa, saya mau mengadakan permainan senam antara semua yang muda-muda, ya murid sekolah rakyat, ya sekolah menengah, ya sekolah tinggi, semuanya bersenam, sebagai yang saya lihat di Moskow, wah, hebat sekali !” Ada yang menjawab mahasiswa-mahasiswa ini: “Pak, itu bukan buat mahasiswa, Pak; itu baik buat sekolah rakyat.” Ini denkfout, salah pikiran, mengatakan bersenam hanya baik buat anak-anak kecil; padahal dilihat di luar negeri, lihat di Uni Sovyet, lihat di Bulgaria, lihat di Rumania, lihat di RRT, O, mahasiswa-mahasiswa malahan menjadi pemuka-pemuka senam yang hebat sekali, yang membuat pemuda-pemudi kita menjadi manusia-manusia yang mentalitasnya pun dinamis, sesuai dengan adagium: Mens sana in corpore sano, jiwa sehat di dalam tubuh yang sehat. Nah, saya minta kepada pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi Indonesia, meskipun sudah di universitas, jangan dihinggapi denkfout ini pula, jangan dihinggapi oleh semua denkfout. Denkfout itu salah pikiran sebagai juga yang sudah dicekcokkan oleh zaman dahulu kepada kita.
Di Tiongkok ada satu kampanye hebat, memberantas ketakhyulan. Ya memang, ketakhyulan harus diberantas; tetapi ketakhyulan yang diberantas di Tiongkok itu bukan ketakhyulan mengenai dhemit, memedi, jin, peri perayangan saja. Juga ketakhyulan ekonomi, ketakhyulan geologi diberantas sama sekali. Kita masih menderita penyakit ketakhyulan geologi, ketakhyulan ekonomi, karena dicekoki oleh Belanda. Misalnya berkata: Indonesia tidak mempunyai bijih tembaga. Kita percaya bahwa Indonesia itu tidak mempunyai arang batu, arang batu yang kalorinya tinggi, seperti arang batu di Inggris, di Cardiff, yang dia punya kalori 7.900 atau 8.000. Indonesia tidak punya. Ada yang berkata Indonesia itu tidak mempunyai bijih emas kecuali sedikit di Sumatera Selatan. Kita percaya. Nah, ini menjadi ketakhyulan Saudara-saudara. Takhyul ekonomis, takhyul geologi kepada kita, bahwa Indonesia hanya mempunyai bijih emas di situ, tidak mempunyai bijih tembada. Diberantas RRT.
Cara memberantasnya bagaimana ? Pemuda-pemuda, pemudi-pemudi diberi sedikit pengetahuan hal geologi. Bijih besi itu, rupanya begini. Bijih emas, begini rupanya. Bijih tembaga, begini. Pemuda-pemuda mengerti lantas tahu: O, bijih ini begini, bijih itu begitu, dan lain-lain sebagainya; disebarkan di seluruh tanah air RRT, disuruh pemuda-pemudi itu mencari, mencari. Dan hasilnya apa ? Ternyata bahwa diseluruh RRT ada bijih besi. Dahulu orang berkata bahwa besi ada bijih besi. Dahulu orang berkata bahwa besi di RRT hanya terdapat di situ, di situ bagian sedikit daripada RRT utara. Sekarang tidak. Di mana-mana ternyata ada bijih besi. Oleh karena pemuda dan pemudinya menyelidiki - explore, katanya Inggris - explore di mana-mana, sehingga di tiap-tiap propinsi di RRT sekarang ada tanur. Tanur yaitu pembakaran bijih besi ini untuk dijadikan besi.
Nah, kita pun harus demikian. Berantas segala takhyul, bukan saja takhyul setan tetapi juga takhyul ekonomis dan geologis yang ada di dalam dada kita, tetapi agar supaya kita bisa memberantas takhyul itu, kita pertama harus mempunyai human skill. Kedua mentalitas kita harus investment yang sehebat-hebatnya; mental investment. Menjadi pemuda-pemudi yang dinamik, menjadi bangsa yang dinamik. Sebab kalau tidak demikian, kita tidak akan mengerti garisnya sejarah ini. Pak Leimena ini sudah takut saja; Wah, nanti Indonesia ini jikalau tidak progresif, verpletterd in het gedrang van mensen en volkeren die vecthen om het bestaan. Seluruh dunia sekarang ini mengejar kepada progresivitas.
Di dalam pidato saya 17 Agustus yang lalu saya berkata: Jangan lupa, ¾ daripada kemanusiaan sekarang ini dalam revolusi. Revolusi yang progresif, revolusi mencari hidup baru, yang lebih layak daripada yang sudah, revolusi untuk mencari dignity of man, martabat manusia. Jangan manusia itu ada yang, manusia dikatakan superior, tinggi, yang lain itu manusia yang hanya baik diludahi saja. Seperti misalnya di Amerika Selatan. Disana itu rakyat yang berkulit hitam sama sekali tidak diberi kans untuk mengembangkan dignity of man. Sekarang ini ¾ daripada kemanusiaan di dunia yang sudah jumlahnya 2.600 juta, di dalam satu revolusi yang makin lama makin menjalar. Asia sudah. Afrika sekrang ini sebagai Saudara-saudara mengetahui, laksana kancah yang berapi-api.
Tatkala saya membuat pidato di Tunisia, di muka parlemen Tunis, saya gambarkan pandangan rakyat Indonesia terhada kepada Afrika. Saya katakan, di dalam pandangan rakyat Indonesia, Afrika ini laksana burning fire, laksana satu api unggun yang menyala-nyala. Dan ucapan saya itu mengharukan segenap anggota parlemen Tunisia, sehingga mereka mencucurkan air mata, dan sesudah saya habisi pidato itu, dengan serentak mereka berdiri dan menyanyikan lagu nasionalnya.
Demikian Saudara-saudara, Tunisia, Marokko, Aljazair, - Aljazair pun laksana satu burning fire, menjalankan satu revolusi - , bagian yang lain-lain dari Afrika, Guinea, Madagaskar, yang sekarang namanya Malagasi, daerah Kongo, - Kongo pun laksana burning fire - dan saya tahu tidak lama lagi Afrika Selatan pun akan menjadi satu burning fire untuk menggerakkan ini, dignity of man.
Saya datang di negara Amerika Latin, saya datang di Brazilia itu setahun yang lebih dahulu daripada kedatangan saya, didatangi oleh Prins Bernard der Nederlanden. Saya mau datang di Brazilia; sudah, wah, jangan-jangan rakyat Brazilia itu Bernardminded, Dutch-minded. Ya, satu tahun sebelumnya Prins Bernard datang di Rio de Jeneiro. Apa ternyata, Saudara-saudara ? Saya datang di Brazilia, diterima oleh rakyat Brazilia sebagai hero, sebagai pahlawan, bukan saja pahlawan dari Indonesia, tetapi pahlawan daripada Afrika, daripada Amerika Latin pula. Di sana pun burning fire, Argentina, burning fire, Mexico, burning fire. Seluruh perikemanusiaan ini sebagian besar ¾ daripada seluruh kemanusiaan ini, sekarang di dalam revolusi sesuai dengan apa yang dikatakan di dalam pidato 17 Agustus yang lalu.
Benar sekali apa yang dikatakan pula oleh Mao Zedong. Mao Zedong berkata apa ? “Angin Timur sekarang ini mengatasi angin Barat.” Yang dimaksudkan oleh Mao Zedong dengan “angin Timur yang mengatasi angin Barat” yaitu ini: sekarang ini rakyat-rakyat Timur, rakyat-rakyat Asia, rakyat-rakyat Amerika Latin sudah bergerak mengatasi angin Barat yang datang dari dunia Barat. Lha ini, Saudara-saudara adalah revolusi progresif; dan Indonesia mau tidak mau, harus ikut di dalam arus gelombang banjir yang mahahebat ini, sebab jikalau Indoensia tidak ikut di dalam gelombang yang mahabesar ini, sebagai tadi dikatakan oleh Pak Dr. Leimena, Indonesia akan digiling oleh sejarah.
Bangsa Indonesia menghendaki agar supaya kita semuanya progresif, apalagi pemuda dan pemudinya. Huh, Pemuda dan pemudi, janganlah menjadi pemuda dan pemudi tempe atau kintel. Tidak ! Saya selalu mengundang pemuda dan pemudi supaya kita ini betul-betul menjadi manusia harapan daripada bangsa. Saya berkata; dulu saya berada di dalam pertapaan Argasonya, mempelajari segala apa yang dicita-citakan bangsa-bangsa yang besar. Aku minta juga kepadamu supaya juga mencita-citakan sebagai yang diajarkan oleh pikiran-pikiran yang progresif.
Mengertilah, mengertilah, hai anak-anakku sekalian, apa artinya UUD’45.
Mengertilah, hai anak-anakku sekalian, apa sebab maka dekrit 5 Juli 1959 diterima dengan hebat oleh seluruh rakyat. Seandainya jiwa rakyat, rakyat jelata, - bukan jiwamu, tetapi engkau adalah sebagian daripada jiwa rakyat jelata itu, - jikalau rakyat Indonesia memang tidak hidup di dalam suasana UUD’45 itu, dalam suasana proklamasi, di dalam suasana segala cita-cita yang dicetuskan di dalam amanat penderitaan rakyat, rakyat Indonesia meskipun diadakan 10 Dekrit Presiden, rakyat Indonesia akan tetap adhem. Tetapi rakyat Indonesia menyambut Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dengan sehebat-hebatnya, demikian pula saya meminta kepadamu sekalian, kecuali mengerti UUD’45, mengerti segala konsekuensi daripada UUD’45 ini.
Saya berkata di dlam kongres koperasi: UUD’45 pasal 33 jelas menghendaki sosialisme. Oleh karena itu USDEK, UUD’45nya itu sosialisme Indonesia, dus kataku, harus demokrasi terpimpin. Harus terpimpin. Sosialisme adalah diametral bertentangan dengan liberalisme, sosialisme adalah penyelenggaraan daripada satu cita-cita yang sudah jelas. Sosialisme adalah penyelenggaraan daripada satu blueprint yang membawa manusia di atas satu taraf hidup yang layak, di atas taraf dignity of man, di atas taraf yang di dalamnya tidak ada exploitation de l’homme par l’homme. Sosialisme adalah demikian. Oleh karena itu maka sosialisme hanya bisa diselenggarakan dengan demokrasi terpimpin. Maka oleh karena itu - tadi malam kuulangi - sosialisme hanya bisa diselenggarakan dengan pimpinan sosialisme. Sosialisme hanya bisa diselenggarakan dengan pemerintah yang corak besarnya sosialis. Sosialisme hanya bisa diselenggarakan oleh satu bangsa yang berpikir, beralam pikir, bercita-citakan sosialis, sosialisme tidak bisa diselenggarakan oleh satu bangsa yang masih berpikir liberal.
Sosialisme adalah satu hal yang mengenai hidup segala manusia yang menyelenggarakan sosialisme itu. Jangan dikatakan bahwa sosialisme hanya satu hal daripada satu golongan manusia saja. Sebagaimana demokrasi sejati bukanlah sekedar tulisan-tulisan zwart op wit, hitam di atas putih di dalam kitab undang-undang, saya berulang-ulang mengatakan bahwa demokrasi adalah a way life, demokrasi adalah satu cara hidup yang menghikmati segenap masyarakat, satu cara hidup yang hendak menghikmati segenap warga negara. A way of life. Maka demikian pula sosialisme adalah a way of life pula. Maka oleh karena itu aku berkata: demokrasi kita sekarang ini harus demokrasi terpimpin.
Menuju kepada sosialis ekonominya pun harus terpimpin. Dan oleh karena kita menghadapi sebagai mula-mula menjadi penjiwa dari proklamasi 17 Agustus’45, sebagai mula-mula menjadi penjiwa daripada Pancasila, maka kita harus kembali kepada kepribadian Indonesia sendiri. Oleh karena itu USDEK, Undang-undang Dasar’45, sosialisme Indonesia, dus demokrasi terpimpin, dus ekonomi terpimpin, dus kepribadian Indonesia.
Aku bertanya kepadamu, “Entahlah, engkau sekalian apakah hidup di dalam alam pilkiran yang demikian itu ?”
Kita sekarang ini mengadakan Depernas bekerja keras dan nanti tanggal 13 Agustus Depernas akan menyerahkan kepada saya, mereka punya blueprint yang pertama. Blueprint tahapan pembangunan pertama. Blueprint ini akan saya bawa kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara; dan jikalau MPRS telah menerima blueprint ini, maka blueprint ini bukan lagi milik Depernas, bukan lagi miliknya Presiden, bukan lagi miliknya pemerintah, kabinet kerja, tetapi menjadi miliknya bangsa, menjadi National Plan, dan blueprint ini harus diselenggarakan oleh kita semua. Dan blueprint yang akan diserahkan tanggal 13 Agustus ini, adalah blueprint tahapan pertama yang sudah bercorak sosialis.
Aku bertanya kepadamu, “Sudahkah engkau hidup di dalam alam yang demikian ini ? Tidakkah engkau keranjingan dengan alam yang demikian ini ?”
Tatkala aku turun dari pertapaan Argasonya - kamar kecil yang gelap di rumah Tjokroaminoto, dengan balai-balainya tetapi dengan tumpukan bukunya yang tinggi sekali, lebih daripada buku-bukunya mahasiswa-mahasiswa yang lain, - tatkala aku turun dari Argosonya itu aku merasakan diriku seperti Cakrasana, sebagai tadi kukatakan, aku laksana hidup terhikmat, aku hidup laksana di dalam khayal, aku dihidupkanlah sama sekali oleh cita-cita yang membakar aku punya jiwa, aku laksana hidup diatas api batu bara cita-cita. Aku laksana tidak bisa tidur; karena itu aku laksana tidak bisa berjalan tenang; karena itu aku laksana tidak bisa makan; karena itu aku laksana tidak bisa minum; karena itu ya tidur, ya jaga, ya makan, ya minum, ya duduk, ya berdiri. Aku laksana kena obsessie daripada cita-cita yang telah kukumpulkan dari buku-buku, kitab-kitab di dalam pertapaan Argasonya itu. Itulah sebabnya, maka aku bisa menyemburkan aku punya diri dengan seluruh aku punya tenaga dan minat di gerakan nasional dan gerakan pemuda.
Pada waktu itu aku berjumpa dengan pemimpin kita pula, Dr. Setiabudhi, yang dulu itu bernama E.F.E. Douwes Dekker. Apa kata Douwes Dekker kepadaku ? Dan apa yang dia tulis di dalam dia punya kitab yang bernama Indie ? Di dalam kitab Indie itu ia menulis: Men moet zich gehel geven; de hemel verwerpt het gasjacher met meer of minder. Artinya, orang harus memberikan jiwa, raganya, minatnya, semangatnya setumpuk-setumpuknya. De hemel, yaitu Tuhan, tidak senang kepada orang yang setengah-setengahan. Aku pada waktu itu demikian. Ik gaf mij geheel. Aku sama sekali memberikan jiwa ragaku, minatku, tenagaku semuanya, tumpah seratus persen kepada cita-cita ini.
Aku bertanya kepadamu: Sudahkah engkau hidup di dalam suasana yang demikian itu ? Obsessie ? Sudahkah engkau tidak bisa tidur jika engkau melihat bahwa sosialisme belum terlaksana ? Sudahkah engkau semuanya ? Sudahkah engkau tidak bisa tidur jikalau engkau melihat bahwa di Sumatera, di Kalimantan jalan-jalan belum lengkap semuanya ? Sudahkah engkau tidak bisa tidur jikalau engkau mengetahui di kepulauan kita Indonesia Timur kadang-kadang ada pulau yang dua bulan sekali baru kedatangan kapal Pelni ? Sudahkah engkau tidak bisa tidur kalau engkau memikirkan bahwa Irian Barat masih dikuasai pihak Belanda ? Sudahkah engkau tidak bisa tidur kalau engkau memikirkan bahwa Karel Doorman sekarang ini mengancam kepada kemerdekaan kita ? Sudahkah engkau tidak bisa tidur jikalau di kanan kirimu engkau masih melihat kere-kere ? Jikalau engkau tidak bisa tidur karena itu, tidak bisa hidup jenjem lagi karena itu, tidak bisa berjalan tanpa berpikir demikian, tidak bisa makan tanpa berpikir demikian, tidak bisa minum tanpa berpikir demikian, barulah engkau mempunyai hak untuk mengatakan dirimu patriot Indonesia. Patriot Indonesia adalah - kataku tempo hari - patriot komplet. Komplet dalam segala hal, ya patriot politik, ya patriot kultur, ya patriot ekonomi, ya patriot sosial, ya patriot di dalam keagamaan. Patriot di dalam segala hal. Hal ini sudah saya poesankan pada Hari Pemuda di Surabaya tempo hari; Jadilah patriot yang komplet, komplet, komplet, sekali lagi komplet !
Jikalau engkau telah menjadi patriot yang yang komplet, barulah segala cita-cita yang dipagurkan oleh rakyat Indonesia di dalam amanat penderitaan rakyat kepada kita, hidup di dalam dadamu, dan membuat engkau hidup laksana in een droom, laksana dalam mimpi, laksana engkau itu dipikul oleh sayapnya cita-cita.
O, hebat sekali merasakan diri sebagai demikian. Aku pernah merasakan diriku laksana hidup terpikul oleh sayapnya cita-cita. Laksana aku di khayangan, aku dibawa oleh sayap cita-cita ini hingga aku mohon kepada Allah Subhanuwata’ala, agar supaya Allah Subhanuwata’ala memberi kekuatan kepadaku untuk menyumbangkan tenagaku ini kepada perjuangan, agar rakyat Indonesia di dalam waktu yang singkat menjadi benar-benar satu rakyat yang bernegara besar, panjang-punjung, panjang pocapane junjung kawibawane, dengan masyarakat adil dan makmur, gemah ripah loh jinawi, tata tentram karta raharja, yang bebek ayam rajakaya enjang medal ing pangonan, surup bali ing handhange dhewe-dhewe. Kalau kita semuanya hidup laksana terpikul di atas sayap yang demikian itu, biarlah kita boleh berkata: Hidup kita ini tidak tersia-sia ! Hidup kita ini tidak tersia-sia !
Tadi malam aku berkata, menjawab orang yang mengatakan bahwa revolusi Indonesia gagal, - ya ada yang mengatakan bahwa revolusi Indonesia gagal, oleh karena sudah 15 tahun revolusi kok masih begini, - aku jawab mereka: “Tidak ! Revolusi tidak gagal ! Revolusi tidak diukur dengan 15 atau 10 tahun. Revolusi diukur satuan puluhan tahun.”
Revolusi Perancis yang tadi saya gambarkan dicetuskan oleh Mirabeau di dalam 1789, - Mirabeau di dalam tahun 1789, Mirabeau yang di dalam kaatsbaan bahwa ia tidak akan pergi daripada Kaatsbaan sebelum rakyat Perancis mendapat konstitusi, Undang-undang Dasar Konstitusional, - revolusi Perancis ini berjalan 80 tahun, Saudara-saudara.
Revolusi sosialis yang mencetus sejak tahun 1917 sampai sekarang belum selesai. Demikian dikatakan oleh Khrushchov sendiri kepada saya bahwa revolusi Sovyet belum selesai. Kalau dihitung dari tahun 1917, sudah berapa tahun sampai sekarang ? Empat puluh tiga tahun. Padahal tahun 1917 itu sekedar pencetusan daripada revolusi itu. Sebelumnya itu revolusi-revolusi sudah berjalan persiapan-persiapannya, bahkan sudah pada akhir abad XIX, hitung semuanya berpuluh-puluh tahun.
Revolusi Amerika Saudara-saudara, yang dicetuskan oleh Thomas Jefferson pada tahun 1776, apakah revolusi Amerika itu juga selesai dalam tahun 1786 ? Dalam 10 tahun ? Tidak ! Revolusi Amerika berjalan kurang lebih 60 tahun.
Lha kok kita baru 15 tahun ber-revolusi, sudah ada manusia yang mengatakan bukan “revolusi Indonesia belum mencapai tujuannya”, tetapi dia berkata: Revolusi Indonesia gagal. Saya berkata: Revolusi Indonesia tidak gagal ! Benar, sesuatu revolusi menunjukkan air pasang, air surut, tetapi alirannya selalu berjalan terus. Revolusi Indonesia tidak akan mandek, revolusi Indonesia tidak akan gagal. Saya tadi malam berkata; saya hanya akan berkata bahwa revolusi Indonesia gagal, kalau kepada saya datanglah seorang ibu yang menuduh kepada saya: “Hai, Soekarno engkau pada tanggal 17 Agustus 1945 telah ikut memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, engkau telah membakar apinya pemuda dan pemudi Indoensia di dalam proklamasi itu. Anakku mati gugur di dalam medan pertempuran. Engkau punya salah bahwa aku sekarang tidak beranak. Engkau punya salah bahwa pemuda dan pemudi melepaskan mereka punya jiwa di medan kehormatan itu.” Jikalau ada seorang ibu yang berkata demikian kepadaku, menuduh kepadaku bahwa anaknya gugur, anaknya hilang, suaminya mati, oleh karena menjalankan revolusi Indonesia, jikalau ada seorang ibu berkata demikian, aku akan berkata dengan menundukkan kepalaku: “Ya, aku merasa salah.” Tetapi syukur, alhamdulillah sampai sekarang, 15 tahun lamanya, tidak ada seorang ibu yang berkata demikian. Karena itu aku berkata: Revolusi Indonesia tidak gagal !
Dan sekarang revolusi Indonesia berjalan terus, terus ! Fase yang satu mengikuti fase yang lain. Fase physical revolution telah lalu, diikuti fase investment. Investment ini akan lalu, diikuti fase pembangunan semesta yang seluas-luasnya. Dan fase invesment, fase pembangunan semesta yang seluas-luasnya ini semuanya telah ada dasar-dasarnya yang jelas dan nyata: Undang-undang Dasar’45, sosialisme Indonesia, demokrasi terpimpin, ekonomi terpimpin, kepribadian Indonesia.
Maka oleh karena itu saya minta kepada seluruh pemuda-pemudi Indonesia supaya hidup di dalam alam USDEK ini. Sebagai tadi saya katakan, supaya USDEK ini menjadi satu obsessie, menjadi penghikmatan jiwa kepadamu, sehingga engkau bisa tidur nyenyak, makan nyenyak lagi, tanpa memikirkan realisasi daripada USDEK itu. Jikalau engkau sudah demikian, barulah engkau juga bernama patriot Indonesia yang sejati.
Saudara-saudara, anak-anakku, sekian ceramahku. Moga-moga Tuhan memberi berkah kepada kamu sekalian.
Terima Kasih. Merdeka!
Ceramah kepada para pelajar di Surakarta, 11 Juli 1960.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H