Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan.
(QS. Ash-Shaf[61]:2-3)
Berbicara tentang guru maka terlekat padanya sebuah profesi sebagai seorang ‘penyampai’ ilmu. Guru menyampaikan ilmu yang telah ia tahu dan ia praktikkan sebelumnya (semoga kita tidak termasuk sebagai seorang guru yang hanya semalam saja berbeda tahu dengan muridnya ). Atau juga ada pepatah lama yang berbicara guru berarti akronim dari ‘digugu dan ditiru’, juga pepatah lama jika guru kencing berdiri maka murid kencing berlari. Maka, sangat wajar bila kita menyebut guru adalah ladang ilmu dan figur bagi masyarakat (tak hanya murid).
Bercermin pada realitas yang ada, idealisme guru tak seindah yang dicita-citakan. Dalam sebuah harian umum beberapa waktu yang lalu, terfoto seorang guru yang sedang melaksanakan tes ujian saringan masuk pengajar di salah satu sekolah ternama di Bandung, tampak mencontek rekan sebelahnya. Maka bila guru mencontek, apa yang akan terjadi dengan muridnya ? Jujur saja, tak mudah menjadi seorang guru yang baik, tetapi itu adalah pilihan hidup dan amanah profesi yang harus diemban.
Terinspirasi dari potongan ayat dari QS. Ash-Shaff di atas ternyata tak hanya amanah moral yang tersandang pada nama guru, tetapi juga ada amanah Alllah SWT yang menggantung pada pundaknya. Menjadi guru yang baik sekaligus penyampai nilai-nilai moral tak hanya kewajiban seorang guru agama atau guru PPKN, tetapi guru semua bidang studi sebenarnya memiliki potensi yang sama untuk menanamkan nilai-nilai kehidupan dalam materinya, sehingga diharapkan tidak akan ada lagi ilmuwan jenius yang anti agama atau seniman hebat yang lupa nilai-nilai moral ketimuran.
Menyadari tentang perannya sebagai seorang penyampai ilmu dan nilai-nilai moral, seorang guru juga ternyata perlu memberikan model tentang apa yang dia sampaikan. Bila tidak, jawabannya ada pada pandangan masyarakat dan terutama pada pandangan Allah swt yang sangat membenci umatnya yang hanya pandai berkata namun meninggalkan amalannya. Namun jangan sampai pula ayat ini dijadikan apologi untuk tidak terjun sebagai guru ‘pembawa kebenaran’ karena terdapat jazaa (balasan) yang amat besar bagi mereka.
Maka bagaimana agar kita bisa menjadi seorang guru yang bukan hanya berperan sebagai transformator ilmu semata, tetapi juga mengemban misi sebagai pembawa kebenaran?. Ada beberapa hal yang perlu menjadi bahan renungan sekaligus perhatian kita bersama, antara lain: 1) Ketulusan niat. Sebagaimana hadis Rasul saw. bahwa nilai dari amal yang kita kerjakan amat tergantung dari niat kita; 2) Hadirkan hati saat menyampaikan apapun. Penelitian seorang ilmuwan Jepang menyebutkan bahwa emosi positif/negatif yang terpancar dari kita dapat mempengaruhi lawan bicara yang dihadapi; 3) Keteladanan dan patron yang baik. Rasulullah saw., guru utama umat ini, mengutamakan keteladanan akhlak beliau sebagai media utama penyampaian risalahnya. Beliau adalah uswatun hasanah (teladan yang baik) tak hanya bagi keluarganya tetapi juga bagi umat Islam bahkan umat manusia di dunia.
Di akhir tulisan ini, marilah kita sama-sama mulai mengintrospeksi diri kita, mendiagnosis kekurangan kita dalam menunaikan tugas sebagai penyampai ilmu sekaligus mengemban misi sebagai penyambung lidah Rasulullah saw dalam menyampaikan risalah kebenarannya. Semoga amanah ini bisa kita jaga dengan penuh keikhlasan dan kesungguhan diri. Sehingga kita terhindar dari murka Allah swt yang akan menimpa orang-orang yang hanya berbicara kebenaran tapi tidak berusaha untuk mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Ibda binafsik!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H