Mohon tunggu...
Ahmad Saukani
Ahmad Saukani Mohon Tunggu... Administrasi - pensiun bukan lantas berhenti bekerja

pensiun bukan lantas berhenti bekerja

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Balada Martabak Cinta

24 Oktober 2011   14:40 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:33 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Malam ini bersama istriku sekembalinya dari rumah mertua aku parkir Alphard sederhana model terakhir, Gerobak Besi andalan kami di depan alfamart, tujuan kami bukan mau belanja di alfamart, cuma kebetulan saja kalau kami belanja disitu. Aku parkir disitu dikarenakan didepan situ ada tukang martabak, penganan kegemaranku.

Seperti biasa istriku yang turun dan pesan martabak tersebut, dua Loyang martabak manis dan dua juga martabak telur, kedua model martabak tersebut memang kegemaranku. Bukan pekerjaan mudah membuat martabak, perlu keahlian khusus juga perlu waktu untuk mengolahnya, biasanya hampir setengah jam kami harus menunggu sampai martabak tersebut siap, itupun bila cuma kami yang pesan. Sudah terbayang bagaimana nikmatnya makan martabak malam ini, terlebih kami belum sempat makan malam.

***********

Malam ini agak suram, langit kelam tak berbintang, sempat turun gerimis sore tadi aku pikir hujan akan turun. Tapi si Abang tukang martabak tampak ceria sama sekali tidak terpengaruh dengan kondisi cuaca malam ini. Dia terus membolak-balik adonan martabak sambil besiul. Pintu rezekinya malam ini tampaknya terbuka lebar, pelanggan antri memesan, berarti kami harus ekstra sabar menanti martabak pesanan kami siap.

Menyadari harus menunggu agak lama, istriku masuk ke alfamart. Seperti kebanyakan kaum perempuan punya hoby yang sama, semua suka belanja. Alfamart cukup ramai malam ini.

Biasanya aku santai saja tunggu di mobil, tapi malam ini entah ada dorongan dari mana, aku juga akhirnya ikut nimbrung masuk ke Alfamart.

Baru selangkah dari pintu masuk. Aku tertegun. Seulas senyum yang pernah bertahun lekat dihati. Aku hafal betul, diapun rupanya begitu masih hafal sekali siapa yang berdiri dihadapannya.

Dia, Rukmini kasir yang bertugas malam ini. Rukmini yang pernah jadi asisten manajer keuangan perusahaan ritel ternama, bagaimana mungkin bisa ada disini. Bertahun kami berpisah, kami sudah memutuskan jalan hidup kami masing-masing. Sejak itu akukehilangan jejak Rukmini, sedikit saja yang aku tau, Rukmini sudah menikah dengan seseorang. Tapi malam ini senyumnya mengundang.

Belum sempat kami bertegur sapa. Istriku datang, menyadarkan kami, ternyata dunia isinya bukan hanya kami berdua.

Tangan kami sempat secara reflek saling bersentuhan, entah siapa yang mulai, tidak sepatah katapun keluar dari mulut kami. Cuma mata dan hati kami sudah bicara banyak. Istriku sempat heran melihat gelagat kami, untung saja dibalik kaca, Abang martabak memberi isyarat, kalau martabak kami sudah siap.

***********

Istri saya sudah siap dengan martabaknya, sementara aku masih terpaku dibalik pintu kaca Alfamart. Kaki ini begitu berat diajak melangkah. Hatiku tertinggal dimeja kasir.

Istriku yang tampaknya curiga berusaha kembali masuk Alfamart. Sebelum dia sempat masuk, aku sadar dan segera meninggalkan Rukmini. Aku tau dia berat melepas kepergianku. Pertemuan kami yang selintas begitu berkesan. Mengembalikan kami kemasa silam.

***********

Malam ini, martabak kegemaranku sama sekali tidak menggugah selera, tidak ada hasrat untuk menyantuhnya. Istriku masih terus menatap curiga. Istriku selain penyabar dan lugu mungkin yang orang bilang tipe nrimo dia cuma membisu seribu kata. Dia tidak tau aku sempat minta nomor ponsel Rukmini.

***********

Suara mendayu haji Aho yang melantunkan sholawat tahrim menjelang azan subuh dari Mushola sebelah membuat aku terjaga. Rupanya aku tertidur di meja makan, dihadapanku masih utuh potongan martabak. Rupanya istrikupun tidak menyentuhnya. Aku keluarkan secarik kertas dari saku celanaku, disitu tertera sebelas dijit angka yang ditulis Rukmini semalam, kupandangi deretan angka itu, kuremas dan kupandangi lagi, begitu berulang. Tumpukan rasa berkecamuk di dada.

Aku bertekad, resah dan bimbang ini tidak boleh berkepanjangan.

Kumandang azan menyadarkanku. Segera aku beranjak utuk berwudhu, selintas kulihat istriku masih nyenyak diatas peraduannya. Semoga mimpi indah. Aku tidak berniat membuyarkan mimpinya, biar nanti selepas sholat baru akan kubangunkan dia.

Pagi ini aku berniat sholat jamaah di mushola sudah tiga hari ini aku tidak melakukannya. Selesai berwudhu, sebelum aku beranjak ke Mushola aku cabik-cabik carik kertas dari Rukmini semalam. Bersama gemuruh air di kloset. Biar hanyut kenangan indah bersama Rukmini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun