Pagi ini Kamis 14 Feb 2019 saya menemukan satu artikel di Portal Detik.com yang membahas tentang dinamika warga yang merayakan Hari Raya Imlek yang baru semingguan berlalu."Ngasih Angpao Pusing, Dapat Langsung Habis" Itu judulnya yang sempat saya capture.
Isi dari artikel tersebut ternyata bukan orang yang pusing kepala kena migren di hari raya. Seperti diketahui bagi-bagi angpao sudah menjadi tradisi buat mereka yang merayakan Imlek. Angpao biasanya diberikan kepada orang tua, kakek dan nenek, anak dan cucu dan beberapa lagi.
Bagi-bagi angpao itu yang dilihat memang bukan seberapa tebal isinya tapi adalah niatnya. Akan tetapi tetap saja acara bagi-bagi angpao tersebut bisa merepotkan keuangan buat sebagian dari mereka. Nah, isi dari artikel tersebut intinya adalah membahas bagaimana mengatur keuangan agar tidak pusing ketika merayakan Hari Raya Imlek.
Masih soal pusing kepala. Saya teringat adik saya yang ketika itu masih duduk di bangku kelas 3 SD. Dia menyaksikan seorang tetangga yang sedang menata kios di pasar sambil makan pisang sambil pula ngomel-ngomel bilang pusing dengan nada tinggi. Komentar adik saya dihadapan ibu dan kakak-kaknya "pusing kok makan pisang".
Tentu saja adik saya tidak memahami dengan teriakan pusing dari tetangga tersebut. Si adik tidak paham bahwa pusingnya si tetangga tersebut disebabkan bisnisnya yang sedang kurang bagus saat itu.
Lantaran tiket pesawat mahal menyebabkan penumpang berkurang dan bisa saja betul-betul membuat Bandara sepi. Tapi dari gambar yang diperlihatkan suasana sepertinya Bandara Soekarno- Hatta kelihatan masih biasa-biasa saja. Sesepinya Bandara Soetta seperti apalah?. Barangkali yang mulai agak sepi mungkin pendapatan para pengusaha yang berbisnis di bidang penerbangan.
Mundur beberapa hari kebelakang masih dari Kompas tv yang masih membahas situasi lesunya perekonomian di tanah air. Kompas tv menyuguhkan laporan dari Lhokseumawe, Aceh. Gambar yang disuguhkan, suasana para perajin tempe yang sedang mengemas kedelai yang siap jadi tempe.
Narasi yang menyertainya. Kenaikan harga kedelai membebani bisnis pembuatan tempe. Disebutkan bahan baku kedelai lokal sulit ditemukan, para perajin akhirnya menggunakan kedelai inpor yang harganya lebih mahal sebagai bahan baku, itu pun mereka harus memesannya dari Medan. Namun para perajin menyebutkan tidak menaikan harga jual tempe mereka. Alih-alih menaikan harga jual, mereka mensiasatinya dengan memperkecil ukuran tempe-nya.
Menyaksikan beberapa fenomena tersebut saya jadi teringat "Tempe Setipis ATM" yang pernah dikatakan oleh Sandiaga Uno, Calon Presiden no 02, menyikapi melesunya situasi perekonomian. Ketika itu komentar tempe setipis ATM yang dilontarkan Sandi sontak menuai banyak tanggapan dari masyarakat.Â
Dari yang bersimpati terhadap Sandi sampai komentar miring yang nyinyir terhadap Sandi. Sampai-sampai ada yang penasaran mencari-cari ingin membuktikan tempe setipis ATM. Tentu saja kecuali keripik tempe tidak akan bakal detimukan tempe yang betul-betul setipis ATM.