Mohon tunggu...
Mandalla Syaputra Wijaya
Mandalla Syaputra Wijaya Mohon Tunggu... profesional -

Suara jangkrik dan kidung rimba tak menghalangi daya ciptaku sebagai seorang hamba, kuingin menghantar sejuta Makna, lewat rangkaian kata dan tatapan mata didunia maya. Semoga persembahan ini bermakna.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Akankah Rakyat Diagungkan Setelah Pilpres Usai?

17 Juni 2014   19:11 Diperbarui: 20 Juni 2015   03:22 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1402981122982322841

Saat ini di beberapa daerah sedang
marak membahas pemilihan umum.
Lumrahnya pada saat pemilihan umum
kata “rakyat” dijunjung tinggi oleh
para politikus negeri ini. Hampir setiap
waktu moncong mereka mengelu-
elukan rakyat, di waktu pagi, siang,
sore, bahkan dalam mimpi di malam
hari sekalipun. Namun ini tidaklah
berlangsung lama, sehabis masa
pemilihan umum, begitu kokok ayam
menyambut mentari, kata “rakyat”
hilang meluap bak kabut-kabut di pagi
hari, hilang tak berjejak, hilang seperti
hilangnya dompet di angkutan umum,
di lupakan dan di canamkan dalam-
dalam di tempat yang terlupakan.
Tentulah hal ini bukan sesuatu hal
yang asing bagi kita, sudah menjadi
rahasia umum politikus di negeri ini
melumrahkan hal semacam itu.
Nilai rakyat seakan-akan fluktuatif di
pandangan mereka, dikondisikan
sesuai dengan keperluan masing-
masing. Kata “rakyat” hanya dianggap
sebagai tangga kekuasaan, setelah
sampai pada puncaknya mereka tak
memerlukan tangga itu lagi, di
jatuhkan dan dibuangkan. Habis Manis
Sepat Dibuang, begitulah bunyi kiasan
yang menggambarkan keadaan rakyat
saat ini.
Dalam KBBI kata “rak-yat” bermakna
n 1 penduduk suatu negara: 2 orang
kebanyakan; orang biasa: 3 pasukan
(balatentara): 4 cak anak buah;
bawahan. Bahkan KBBI pun
menyadingkan kata “rakyat” dengan
hal-hal yang berbau mengecilkan,
seperti “rakyat biasa”, “rakyat
gembel”, “rakyat jelata” dan “rakyat
kecil”. Bukan bermaksud menyalahkan
KBBI ataupun mereka yang
menyusunnya, namun pemimpin negeri
ini bermula dari rakyat, para pembesar
peradaban negeri ini pun awalnya
“rakyat”, bahkan yang mendirikan
negeri ini pun hingga seperti kini
adanya adalah rakyat. Pantaskah
kiranya kata “rakyat” hanya
diapresiasikan sedemikian rupa?
Sudah sekiranya kata “rakyat”
medapatkan posisi tinggi dalam
kacamata mereka yang bertengger
bangga di kursi kepemimpinan.
Tidakkah mereka sadar tanpa rakyat
mereka hanya bagaikan seonggok
kantong penyimpan uang berjalan, tak
perlu dibahas entah uang siapa yang
mereka kantongi. Sudah sepantasnya
kata “rakyat” disejajarkan dengan
kata “harta negara”, tanpa rakyat
negara ini kosong bagai rambutan
yang berbulu lebat namun tak berisi.
Tanpa rakyat negeri ini hanya
bagaikan seonggok yang ditanami
semak belukar. Rakyat adalah mutiara
dalam kerang, pantas untuk dihargai,
pantas untuk dijaga, pantas untuk
diperindah. Semoga para politikus
negeri Indonesia tercinta ini
memahami makna dari petikan yang
kerap mereka sampaikan sendiri: dari
rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Semoga rakyat tidak hanya berarti di
depan baliho-baliho partai, di hadapan
kibaran bendera-bendera partai, dan di
dalam riuhnya kampanye-kampanye
partai. Semoga kata “rakyat” bernilai
lebih dari pada sekedar kata bagi
mereka.

[caption id="attachment_343201" align="alignnone" width="300" caption="Kompasiana kutoarjo"][/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun