Ilustrasi: www.shutterstock.com
Proses pembiaran terhadap konversi ruang di Indonesia, khususnya di Provinsi Riau, telah berdampak yang sangat mengerikan bagi kita, sehingga kita sebagai ummat yang katanya paling sempurna, sekarang hidup terjajah oleh perilaku sendiri, kita tidak bebas lagi menghirup udara bersih, karena katanya kampung kita sendiri, sebagai tanah tumpah darah kita, sudah terjajah oleh serbuan asap yang tidak memandang kasta dan jabatan yang kita sandang. Bedanya Cuma ketika pejabat kota ini bisa lari ke Jakarta (rumah kedua), tetapi masyarakat tetap tersalai persis ikan salai yang menjadi maskot kota kita yang berada depan Kantor Walikota Pekanbaru, hahahaa.
Asap merajalelah masuk ke ruang ruang privasi di lingkungan kita, merusak secara perlahan dan pasti, kita akan balik arah lagi pada zaman baholak menjadi manusia homo asapiens (pinjam istilah Riau Pos 6/9/2015) yang merupakan visualisasi karikatural adaptasi manusia, terhadap lingkungan yang dicemari kabut asap selama puluhan tahun. Banyak pesawat batal terbang dan hinggap, di beberapa provinsi, tak terkecuali di Bumi Melayu ini, sehingga merugikan triliunan rupiah pada sektor jasa transportasi ini. Merusak masa depan anak bangsa, karena sekolah sekolah diliburkan, membunuh potensi anak didik kita masa depan. Apalagi bencana ini hampir mencapai puluhan tahun, artinya anak yang terlahir pada tahun 1997, berarti semenjak lahir mereka sudah menghirup asap ini setiap tahunnya.
Ah,,, terkesan berlebihan sekali, apalagi kalimat bahwa hal ini telah terjadi puluhan tahun, terlalu dibuat buat rasanya, karena konon kabarnya sapi-pun taklah akan mau masuk dua kali ke lobang yang sama, apalagi manusia. Tetapi hal itu dapat dibenarkan, karena kita pada tahun 2015 ini merupakan ulang tahun asap ke delapan belas tahun masuk ke Riau, bahkan ketika presiden SBY dulu, sudah pernah beliau bermarkas disini. Terakhir Presiden Jokowi dengan gaya khas busukannya eh,,, salah maksudnya blusukannya, juga sudah datang kesini dikala memperingati ulang tahun asap yang ke tujuh belas tahun, nah inilah bukti bahwa pembiaran tragedi asap puluhan tahun bakal akan kita capai nantinya.
Fenomena lain, dapat juga kita lihat dari luntang lantungnya pengesahan Rencana Tata Raung Wilayah (RTRW) Provinsi Riau ini oleh Pusat, ibarat menggantang asap, serba tak pasti dan terkesan mubasir, dengan berbagai macam dalih dan alasan, apakah berbenturan dengan TGHK (Tata Guna Hutan Kesepakatan), ataupun karena banyak yang tumpang tindih dengan kabupaten kota dalam wilayah Provinsi Riau, dan lain sebagainya.
Padahal menurut kaca mata pribadi saya, melihat banyaknya persoalan ruang di Riau yang melibatkan para petinggi bangsa ini, yang berselingkuh dengan pengusaha pengusaha lokal regional bahkan internasional, bernaung dibawah asosiai “penguasaha”, untuk meluluh lantakkan lahan dan hutan basah yang ada di Riau ini, seakan akan mereka tak peduli dampak yang sekarang sudah kita alami. Apalagi sekarang sudah hampir tidak ada lagi hutan yang mau dibakar, maka bergantilah lahan yang dibakar, makanya pemerintah saat ini telah merubah singkatan “Karhutla” menjadi “Karlahut” alias kebakaran lahan dan hutan, karena yang dominan terbakar sekarang adalah lahan terutama lahan gambut.