Ketidakadilan Menjelma Perempuan
Oleh : Salamun Ali Mafaz
"Kalau kita mengembalikan pandangan ke masa sebelum seribu tahun, maka kita akan menemukan perempuan menikmati keistimewaan dalam bidang materi dan sosial yang tidak dikenal oleh perempuan-perempuan di kelima benua. Keadaan mereka ketika itu lebih baik dibandingkan dengan keadaan perempuan-perempuan Barat dewasa ini, asal saja kebebasan dalam berpakaian serta pergaulan tidak dijadikan bahan perbandingan”
(Muhammad Al-Ghazali, salah seorang ulama besar Islam kontemporer Mesir)
Perempuan Wacana Ketidakadilan
Ketidakadilan terhadap kaum perempuan sampai saat ini belum ada henti-hentinya, baik itu disektor publik maupun non-publik, ketidakadilan itu seakan-akan terus menjelma menjadi seorang perempuan yang harus dieksploitasi kapan saja. Di kancah perpolitikan, maupun kancah-kancah lainnya, yang tidak bisa disebutkan karena merasa muak atas kenyataan ini.Penjelmaan ketidakadilan itu pada dasarnya telah meruntuhkan ajaran agama yang menilai manusia bukan dari jenis kelaminnya, saya rasa beberapa ayat sudah kerap kali keluar-masuk wacana tentang perempuan ini, sehingga hemat saya cukup kenyang kiranya untuk selalu di konsumsi, akan tetapi aktualisasi dari beragam ayat tersebut tidak bisa ditunjukan secara nyata dilapangan, dan lagi-lagi tafsir ayat hanya dijadikan “kambing hitam” terhadap perempuan.Kenyataan ini sangat tampak dari tahun ke-tahun banyak peristiwa yang memilukan bagi kaum perempuan, dimana letak ajaran agama yang selama ini berseru memuliakan sesama manusia, ajaran agama seakan hanya “omong kosong” yang hanya dijadikan bingkai pensakralan hidup.
Tanpa berpretensi untuk lebih menonjolkan sisi kemanusiaan dan keperempuan, atau terpengaruh oleh bias-bias feminisme, menarik sekali kalau kita mengamati hasil dari Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2004, bahwa sedikitnya 50 % perempuan di Indonesia didera anemia, dan 18 % kekurangan energi kalori. Kondisi buruk ini diperparah lagi oleh tingginya angka kematian ibu akibat hamil dan melahirkan yang mencapai 340 per 100.000 kelahiran hidup saat ini.
Di sektor pendidikan, perempuan juga termarjinalisasi akibat kemiskinan, jutaan perempuan tidak dapat menikmati pendidikan. Data BPS 2002 menunjukkan, 64,5 % dari penduduk miskin dan berpendidikan rendah Indonesia, tidak tamat SD dan tidak bersekolah sama sekali. Di antaranya, 43,9 % buta huruf, dan jumlah 79,6 % adalah perempuan.
Di sektor ekonomi, keterpurukan ekonomi telah membawa perempuan untuk berjuang menghidupi keluarga mereka. Saat ini, angka partisipasi angkatan kerja perempuan hanya 51 %, jauh di bawah laki-laki yang mencapai 86 %. Sebagian besar perempuan bekerja di sektor informal, sesuatu yang kebalikannya dengan pria. Dalam pengupahan, pria menerima upah 100 %, sementara perempuan hanya 60 %. Hasil Survey Sosial dan Ekonomi Badan Pusat Statistik, hampir 50 % perempuan di pedesaan bekerja sebagai pekerja keluarga yang tak dibayar.
Belum lagi angka yang ditunjukkan oleh tingkat kekerasan terhadap perempuan, baik di luar maupun di dalam rumah tangga serta angka perdagangan perempuan. Angka-angka tersebut di atas, hanya hitungan dan hasil survey kasar. Pada kenyataanya, jauh lebih parah dan memprihatinkan. Timbul sebuah pertanyaan yang menggelitik dalam benak kita masing-masing. Bukankah mayoritas penduduk Indonesia adalah Islam, dan kaum perempuan ini secara mayoritas adalah Islam, di mana fungsi sosial lembaga-lembaga keagamaan (baca: Islam) di Indonesia yang sejatinya tidak melulu berperan secara normatif yang hanya mengurusi perdebatan dan persoalan kesesatan aliran.
Dalam struktur keluarga, ketidakadilan tersebut tampak dalam peran-peran yang dibekukan oleh masyarakat, misalnya seolah tugas seorang ayah adalah mencari nafkah dan tugas sorang ibu mengasuh anak dan memasak. Pembedaan ini diperparah oleh sistem uang, yang memberi nilai rupiah pada hasil pekerjaan di luar rumah (mencari nafkah), sementara pekerjaan di dalam keluarga (rumah tangga)tidak. Sistem ekonomi yang bersetandar ganda ini menempatkan perempuan dalam peran yang dianggap kurang berharga dalam kehidupan sosial.
Sementara itu dalam kiprah sosial, kaum perempuan harus berhadapan dengan ketidakadilan, karena dalam banyak kasus kaum laki-laki bisa menggunakan tenaganya untuk mencari nafkah, sedangkan bagi perempuan sering dikecam ketika menggunakan kelembutan dan kehalusan sebagai modal kerja mereka. Dalam keadaan seperti itu, perempuan berada dalam posisi dilematis, karena dianggap sebagai mahluk lemah yang harus tinggal di rumah dan selalu dilindungi laki-laki atau dianggap sebagai penggoda apabila harus mencari nafkah.