Mohon tunggu...
Management Letter Usd
Management Letter Usd Mohon Tunggu... Mahasiswa - share your creativity

share your creativity

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Masih Adakah Keadilan bagi Masyarakat Kalimantan Timur ?

6 Juli 2022   18:05 Diperbarui: 6 Juli 2022   18:45 404
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Penulis : Mario Oktavianus Arya 

 sebuah pertanyaan, haruskah masyarakat Kaltim yang tinggal di area pertambangan “mengemis” keadilan di negara yang katanya melabeli diri sebagai negara hukum? Negara yang memiliki Pancasila dengan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya sebagai falsafah atau pandangan hidup bangsa Indonesia, namun belum mampu memberikan keadilan bagi masyarakat kecil yang kelangsungan hidupnya terancam karena adanya aktivitas pertambangan. Keadilan menjadi sangat mahal dan harus dibayar dengan nyawa bagi warga yang hidup dekat dengan area pertambangan, karena mereka harus berjuang sendiri melawan perusahaan batu bara yang pemiliknya merupakan orang-orang yang duduk di kursi pemerintahan. Mungkin pepatah yang mengatakan, “hukum tajam ke bawah, namun tumpul ke atas” itu benar adanya. Kenyataan ini dialami oleh saudara-saudara kita yang hidupnya dekat dengan kegiatan pertambangan, khususnya di Kalimantan Timur. Jika Ir. Soekarno yang merupakan Presiden pertama Indonesia sekaligus pencetus Pancasila sebagai dasar negara melihat kenyataan ini, mungkin saja kata “merdeka” saat itu belum digaungkan.

Indonesia yang sudah merdeka dari berbagai intervensi kaum/negara penjajah sejak 17 Agustus 1945, kini dihadapkan pada makna kemerdekaan sesungguhnya yang terkandung dalam nilai-nilai Pancasila yang menjamin keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila seharusnya menjadi penggerak bagi setiap warga negara dalam mengambil tindakan. Apalagi jika tindakan tersebut dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki kekuasaan, kekuatan, dan akses untuk mengelola sumber-sumber kekayaan bangsa, salah satunya tambang batu bara, yang seharusnya dilaksanakan demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan bukan untuk segelintir orang saja. Secara konseptual, nilai-nilai dalam Pancasila nampaknya terdengar indah dan paling ideal, namun kenyataannya saat ini masih menimbulkan keraguan. Sebenarnya, yang menjadi permasalahan bukan pada nilai-nilainya, namun pada pelaksanaan ataupun pengamalan nilai-nilai Pancasila di lapangan yang seringkali diterjemahkan secara berbeda-beda.

 Kaltim memiliki seratus perusahaan tambang yang tercatat resmi melakukan kegiatan pertambangan di Indonesia. Memiliki sederet catatan kasus yang terjadi atau dialami oleh masyarakat Kaltim yang tinggal dekat kawasan pertambangan menjadi bukti nyata bahwa pengamalan nilai-nilai Pancasila belum mencapai tujuan yang diinginkan. Pengamalan dan penghayatan terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila harus dilaksanakan oleh segenap bangsa (Nurafifah dan Dewi, 2021). Pelanggaran terhadap pengamalan nilai-nilai Pancasila yang berkaitan dengan kasus lubang bekas tambang sangat jelas menyimpang khususnya dari sila kelima yang berbunyi “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Dalam sila kelima ini, masyarakat Indonesia harus menyadari sepenuhnya bahwa manusia memiliki hak dan kewajiban yang sama di mata hukum. Lebih lanjut dijelaskan bahwa perlu adanya kesadaran sikap yang adil antar sesama, menjaga hak dan kewajiban, serta menghormati harkat dan martabat orang lain. Orientasi sila kelima adalah tercapainya kehidupan masyarakat yang rukun dan damai, sehingga adanya hukum dan peraturan yang berlaku harus menjamin terciptanya keadaan tersebut.

Dalam kasus lubang bekas tambang yang menimbulkan korban jiwa serta kerugian sosial-ekonomi bagi masyarakat sekitar, sebenarnya bukan tanpa hukum dan peraturan pemerintah yang mengatur. Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, pemerintah berkewajiban melakukan pembinaan dan pengawasan reklamasi lahan pascatambang yang dilakukan oleh perusahaan tambang. Hal ini diperkuat dengan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pascatambang yang menyatakan bahwa perusahaan tambang wajib melakukan pemulihan lingkungan setelah kegiatan eksplorasi. Bahkan, tindakan pidana bagi para pelanggar pun sangat jelas tertulis pada Pasal 161 B Undang-Undang Minerba Nomor 3 Tahun 2020 bahwa pemegang izin tambang yang dicabut dan berakhir izinnya, tetapi tidak melakukan reklamasi dan pascatambang, dipidana paling lama lima tahun penjara dan denda paling banyak Rp 100 miliar. Hukum dan peraturan sudah dibuat secara jelas dan tertulis, namun mengapa dalam pelaksanaannya menjadi tumpul dan tidak mampu memberikan kepastian hukum kepada masyarakat sekitar tambang?

Mereka berharap pemerintah dan para penegak hukum memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi keluarga korban. Semua korban yang telah meninggal karena lubang bekas tambang murni menjadi kesalahan dan kelalaian perusahaan batu bara yang tidak mematuhi undang-undang dan peraturan yang berlaku, terkait reklamasi dan pascatambang, serta hanya mementingkan keuntungan mereka. Di samping itu, pemerintah juga tidak tegas terhadap berbagai bentuk penyimpangan yang dilakukan oleh sejumlah perusahaan tambang batu bara yang masih dibiarkan beroperasi dengan status perizinan yang tidak jelas (ilegal) dan kepatuhan terhadap kewajiban melakukan pemulihan lingkungan bekas galian tambang (reklamasi dan pascatambang). Hal ini semakin menambah ketidakadilan bagi masyarakat sekitar yang hanya merasakan dampak negatif dari kegiatan pertambangan, tanpa ada perhatian khusus baik dari pemerintah pusat dan daerah maupun perusahaan terkait.

Pengamalan dan penghayatan sila kelima Pancasila dalam kasus ini menjadi kabur dan bias. Keadilan sosial tidak berlaku bagi masyarakat kecil dan lemah yang tidak memiliki kekuatan (power) dan kekuasaan/wewenang (authority). Seharusnya, mereka yang saat ini duduk di kursi pemerintahan mampu melihat ketidakadilan yang dialami masyarakat Kaltim yang tinggal di sekitar aktivitas pertambangan. Saat ini mereka sedang hidup dalam kesengsaraan yang berkelanjutan dan belum mendapatkan kepastian hukum. Di samping itu, masyarakat juga masih terus dihadapkan dengan dampak negatif lainnya, seperti gangguan pernafasan, polusi udara dan air, kerusakan lahan, dan hilangnya keanekaragaman hayati, karena aktivitas pertambangan. Keadaan ini harus mereka terima tanpa adanya kompensasi dan tanggung jawab dari pemerintah dan perusahaan tambang batu bara terkait. Sangat disayangkan bila pemerintah pusat maupun daerah lepas tangan dengan jatuhnya lagi korban jiwa, dan menyebutnya sebagai sebuah “nasib” yang harus diterima oleh masyarakat.

Jika sikap pemerintah belum mampu memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat sekitar kawasan pertambangan, lalu kepada siapa mereka harus mengadu? Segala cara telah dilakukan oleh masyarakat, salah satunya mereka mendatangi perusahaan secara langsung untuk meminta kompensasi, tetapi tidak pernah mendapat tanggapan dengan alasan pimpinannya sedang keluar. Lebih parahnya lagi, polisi dan TNI lebih melindungi pihak perusahaan daripada masyarakat yang lebih merasakan dampaknya. Bahkan, salah seorang ketua RT 13 Kelurahan Makroman selalu mengadu kepada pemerintahan terdekat, yakni pihak kelurahan, namun tidak ada upaya tindak lanjut sama sekali (Marennu, 2019). Hal ini menunjukkan lemahnya penegakkan hukum di bidang industri pertambangan. Mungkin karena pemilik perusahaan adalah orang-orang yang turut membuat peraturan dan undang-undang terkait kegiatan petambangan sehingga menjadi “kebal hukum”. Dengan melihat kenyataan ini, esensi dari sila kelima Pancasila untuk menciptakan masyarakat yang rukun dan damai menjadi tidak terpenuhi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun