Krisis, kata itu yang tepat untuk menggambarkan kondisi bangsa Indonesia sekarang. Kita menyaksikan deretan permasalahan tak kunjung selesai hingga berujung pada linangan air mata kita. Lalu, pertanyaan tak lekas terjawab menetap di lubuk hati kita, “Hingga kapan kondisi menyedihkan ini segera berakhir “? Lalu siapa yang dapat menawarkan way out kepada kita untuk memecahkan masalah yang ada?Pada 1 tahun pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla, Sederat permasalahan silih berganti datang menghampiri Indonesia. Ekspektasi masyarakat pada pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla seolah hanya angan-angan saja. Buah manis yang diharapkan segera tumbuh dari usaha Jokowi-Jusuf Kalla melalui program-program yang sudah ada di lapangan, tampak belum bisa dirasakan oleh semua lapisan masyarakat. Satu per satu berita tentang harga sembako yang melambung, korupsi, bencana alam, kekerasan yang mengatasnamakan agama seolah terus-menerus tanpa henti terdengar oleh telinga kita. Masih banyak orang maupun kelompok yang berusaha ingin berusaha menguasai Indonesia untuk memperkaya diri mereka sehingga budaya keprihatinan masih melekat dengan kental di kehidupan sekitar kita.Demokrasi dan Ekonomi Indonesia dengan jumlah penduduk yang besar di dunia telah menyelenggarakan hajat demokrasi pasca reformasi dengan lancar, terbuka dan bijak. Melihat kompleksitas masyarakat Indonesia, tidak berlebihan kiranya jika negara kita menjadi parameter demokrasi bagi seluruh negara di dunia. Namun perlu diingat juga bahwa demokrasi itu bukan hanya pada persoalan politik, melainkan juga pada persoalan keamanan dan ketertiban, ekonomi, tatanan sosial dan norma agama.Saat ini adalah fase bersejarah untuk Indonesia, ketika diskusi dan debat antara pejabat dan pemimpin umat berlangsung panas, penuh kritik yang membangun, tapi tetap berlangsung dalam suasana yang wajar, dan terbuka pula. Sebaliknya, Pemikiran yang tak sejalan antara pemerintah dengan DPR belakangan ini telah membuat kegaduhan politik di negeri ini semakin membuat kuat argument bila demokrasi yang digagas di Indonesia saat ini belum bisa melahirkan kesejahteraan rakyat secara menyeluruh, yang kemudian gagasan demokrasi itu bisa disebut demokrasi di atas kertas. Jadi, hal pokok untuk saat ini adalah mengimplementasikan demokrasi yang sudah dirumuskan dengan sebaik mungkin, serta memperkuat pondasi ekonomi berbasis rakyat yang digagas oleh founding father kita, Moh. Hatta. Dengan demikian, cita-cita untuk sejajar bahkan satu langkah di depan bangsa lain bisa terwujud.Pertikaian di masyarakat timbul akibat pertumbuhan ekonomi yang lambat dan kerusakan tatanan sosial. Sebagai contoh, Kasus perkelahian antara pengemudi ojek online dan pengemudi ojek konvensional di Bandung pada beberapa waktu yang lalu hingga berlanjut sampai saat ini, bahkan menyebar pada terganggunya situasi keamanan di wilayah tersebut.Warisan kebijakan ekonomi rezim Soeharto berupa neo-liberalisme yang mengabdi pada pasar bebas dan hanya untuk melayani kepentingan asing ini belum bisa terhapus dari wajah bumi pertiwi. Pola kebijakan ekonomi semacam ini adalah perwujudan dari upaya melakukan kemiskinan secara terang-terangan. Contohnya adalah meluasnya pengaruh swalayan, mall, dan sejenisnya terhadap harga barang yang dibutuhkan masyarakat.Pendidikan Nasional Penjabaran tentang tujuan pendidikan tertulis dalam Undang-Undang No. 20, Tahun 2003. Di Pasal 3 disebutkan, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”Implementasi tujuan pendidikan yang dijalankan oleh pemerintah selama ini dengan melaksanakan berbagai program pendidikan harus mendapat apresiasi yang tinggi. Contohnya : Dana Bidik Misi, Program Kartu Indonesia Pintar , Program Wajib Belajar 12 Tahun, dan sederet program pendidikan lainnya.Namun, di dunia pendidikan ada yang perlu dikhawatirkan ! Apa itu? Yaitu masuknya Neo-liberalisme ke dalam dunia pendidikan. Contoh konkretnya adalah di jenjang perguruan tinggi. Untuk dapat merasakan duduk di bangku kuliah dan meraih gelar sarjana saja hanya milik mereka yang memiliki uang. Terlebih lagi biaya masuk perguruan tinggi sekarang sudah sampai belasan juta, bahkan puluhan juta di fakultas kedokteran. Fakta ini tidak hanya terjadi di perguruan tinggi swasta namun juga terjadi di perguruan tinggi negeri (yang katanya dibiaya oleh Negara). Mimpi muda-mudi yang berasal dari kalangan menengah ke bawah dari sudut ekonomi itu harus mengubur dalam-dalam cita-citanya untuk meraih masa depan cerah. Mereka bilang ke orang tuanya : “Pak, kayaknya aku sekarang enggak mungkin masuk Universitas A. Masuk kedokteran biayanya puluhan juta, dari mana uang sebanyak itu?”.Fakta lain seputar dunia pendidikan yang harus diketahui juga adalah dinon-aktifkannya sejumlah Perguruan Tinggi oleh Kemenristek-Dikti. Kampus yang berstatus non-aktif tersebut disinyalir melakukan berbagai pelanggaran sehingga mendapatkan sanksi dari Kemenristek-Dikti. Pelanggaran yang dilakukan kampus-kampus tersebut bervariasi, yaitu mulai dari Masalah Laporan Akademik sampai Persetujuan Perpindahan mahasiswa tanpa seizin Kopertis. Fakta ini menunjukkan bahwa adanya komitmen kuat pemerintah untuk melaksanakan standar pendidikan nasional sebagaimana bunyi ayat 3, pasal 2, PP 19 Tahun 2005 : “Standar Nasional Pendidikan disempurnakan secara terencana, terarah, dan berkelanjutan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global.”Masih banyak lagi persoalan pendidikan lainnya yang masih harus segera mendapat solusi dari pemerintah.Hate Speech and Hate ReligionBanyak orang yang akhir-akhir ini sering membahas masalah hate speech and hate religion, baik di acara terbuka seperti seminar atau diskusi, ada juga yang di dunia seperti facebook dan twitter. Tema “Hate Speech” dan “Hate Religion” tentunya menarik untuk diperbincangkan. Tapi, apakah yang memperbincangkan tersebut memiliki wawasan yang cukup, seperti netizen di media sosial. Anehnya diantara mereka justru menjadi biang keladi hate speech maupun hate religion. Follower dan pembaca catatan facebook mereka yang masih minim pengetahuan tampaknya juga ikut terpengaruh. Jadi wajar saja kan bila saat ada yang tak sependapat menyampaikan pandangannya. Bahkan ada kegiatan membully diantara pihak pro dan kontra? Kalau keadaannya seperti ini, tentunya akan semakin runyam kondisinya.Kali ini saya berikan contoh yang memuat unsur Hate Speech dan Hate Religion. Sejak proses pemikiran ajaran Islam bergulir didunia, kita menemukan fenomena sosial yang terjadi sejak generasi sebelumnya pada zaman dulu hingga generasi kita pada saat ini. Yaitu, tindakan maupun ucapan antar umat muslim atas tindakannya yang mencerminkan sifat maupun kebiasaan orang kafir, yang kemudian dikenal dengan istilah takfiri.Satu kelompok muslim dengan rajin dan semangat melakukan berbagai tindakan takfiri kepada kelompok muslim lainnya, contoh : menuduh suatu kelompok muslim sebagai suatu kelompok kafir karena menerima dan melakukan nilai-nilai orang barat yang dianggap bid’ah, ada juga suatu kelompok muslim yang menuduh suatu kelompok muslim lainnya sebagai kelompok kafir berwajah muslim untuk sejumlah harta benda. Para Rosul yang diberi amanah Allah untuk memimpin umat saja tidak pernah membagi sejumlah uang kepada masyarakat sebagai bentuk rayuan agar masyarakat mengakui dirinya sebagai Rasul.Suatu monopoli penafsiran kebenaran merupakan pertanda dari peradaban umat yang berjalan satu langkah ke belakang. Di samping itu, monopoli penafsiran juga dapat menimbulkan api pertikaian yang sulit dipadamkan. Agama yang seharusnya menjadi pedoman hidup untuk manusia kini menjadi komoditas kepentingan seseorang maupun suatu kelompok untuk mengumpulkan pundi-pundi kekayaan. Jika sudah begini, siapa diantara kita yang tidak sedih saat mengetahuinya?Dengan adanya surat edaran Kapolri tentang hate speech, setidaknya kekhawatiran kita terhadap efek pertikaian bisa berkurang. Namun yang perlu diingat juga bahwa apakah polisi punya kompetensi untuk memberantas hate speech yang mempunyai reason & background bervariasi?Tantangan untuk kita semua sebagai makhluk yang beradab adalah berhati-hati dalam menyampaikan pendapat sehingga tidak menimbulkan pertikaian yang tidak ada gunanya, mewaspadai dan menghilangkan indikasi dari suatu upaya yang berusaha memecah belah persatuan manusia di berbagai aspek kehidupan. Dengan kata lain, kebencian dan egois hanya menghambat perdamaian, ketentraman, dan persatuan yang kita harapkan selama ini dapat terwujud. Waspada boleh, Membenci Jangan.Ketika paham dan nilai-nilai baru tidak memberikan harapan untuk kehidupan yang damai, tenteram, dan aman, maka tentunya kita perlu back to paham dan nilai-nilai lama yang masih relevan dengan kondisi sekarang sehingga kehidupan yang damai, tenteram, dan aman akan tercapai. Atau bisa jadi, kedua nilai beda masa lahir tersebut berkolaborasi untuk menjadi dasar pemikiran guna mengakhiri persoalan dewasa ini.Mengutip dari WS. Rendra : Ketika kebimbangan logika mengalahkan kebimbangan hati dan keburaman masa depan,semestapun berbisik "cukup, mundur dan pergilah".Sebagai penutup, apa yang saya sampaikan dalam tulisan ini seyogyanya tidak lepas dari ridho Allah Azza wa Jalla. Bila tanpa ridho-Nya, tulisan ini tak tersampaikan dan hanya menjadi coretan harapan di atas pikiran.Semoga bermanfaat, salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H