Mohon tunggu...
A. Rahman Musawa
A. Rahman Musawa Mohon Tunggu... -

Saya adalah mantan wartawan yang suka nonton bola

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

Bienvenidos a La Masia!

3 Oktober 2012   07:23 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:19 1219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Timnas U-23 Indonesia akan berlatih di La Masia, Spanyol, mulai Januari 2013 mendatang. Targetnya adalah medali emas SEA Games 2013.  Program tersebut disampaikan Ketua Umum Djohar Arifin dalam jumpa pers pada hari Selasa (2/10/2012) sore di Gedung Energy, SCBD, Jakarta.

Membaca berita tersebut, jujur saya bingung, antara gembira dan juga rada aneh. Gembira, karena  nama besar La Masia, tak perlu diragukan dalam  memproduksi pemain-pemain kelas dunia , seperti Messi, Iniesta, Xavi, Puyol, Fabregas, dan lainnya. Aneh, kenapa harus satu tim berangkat ke La Masia? Efektifkah? Apalagi, secara gamblang Ketua Umum PSSI menyebut angka Rp 30 milyar untuk  berlatih setahun di markas Barcelona FC tersebut. Meski dibiayai oleh sponsor, tentu uang sebesar itu akan memberi manfaat lebih jika dipakai PSSI, atau setidaknya dijadikan modal dasar,  untuk mulai membangun pelatihan usia dini,

Dan, yang paling penting, tahukah filosofi pembinaan sepakbola di La Masia? La Masia bukanlah akademi sepakbola yang menciptakan bintang dunia secara instan. La Masia membentuk pemain sejak usia dini, 9-15 tahun. Messi bergabung pada usia 13 tahun, dan  hingga usia 16 tahun, remaja Argentina itu hanya berlatih sepakbola selama 1, 5 jam sehari. Itu pun hanya berlatih mengolah bola saja, tanpa dibebani latihan fisik apapun.

“Sejujurnya para penghuni La Masia tidak banyak mencurahkan waktu untuk bermain bola. Dalam sepekan rata-rata hanya satu setengah jam per hari mereka berlatih dengan bola. Kecuali ada kompetisi, latihan bisa ditambah satu jam,” kata pelatih muda Barcelona, Albert Capellas kepada Jawa Pos, saat berkunjung ke La Masia.

Pemain muda Barcelona  memang didoktrin untuk mengendalikan permainan dengan terus menguasai bola. “Sampai pemain berusia 16 tahun, mereka tidak pernah menjalani latihan kebugaran. Cukup berlatih dengan bola. Setelah lewat 16 tahun, barulah diperkenalkan sedikit demi sedikit dengan latihan kebugaran, seperti fitness dan aerobik, meski tetap disatukan latihan dengan bola.

Lantas ngapain saja anak-anak muda yang datang dari berbagai penjuru benua itu?  Setiap hari, para calon bintang itu malah diminta bekerja keras menyelesaikan tugas-tugas sekolahnya. Setiap pemain juga diharuskan mengikuti kelas tambahan tanpa pembimbing.

“Tujuannya, jika mereka nantinya gagal menjadi pemain sepakbola professional, maka bisa memilih melanjutkan masuk ke universitas,” kata Capellas yang juga alumnus La Masia periode 1984 -1988, atau adik kelas setahun mantan pelatih Barca, Pep Guardiola.

Jadi, filosofi La Masia sendiri, sangat jelas, yaitu membangun tim melalui kemampuan individu yang mumpuni dengan pembinaan secara sistematis  sejak usia dini. Seperti kata Pep Guardiola seusai mengalahkan Real Madrid  5-0. “Kemenangan  (5-0) ini tidak dapat dicapai hanya dengan empat sesi latihan saja (maksudnya dalam waktu singkat).  Ini adalah hasil dari proses yang lama, dan dalam sepakbola harus tekun dan sabar. Dan, kami tetap setia dengan konsep yang dibangun oleh Johan Cruyff. Maka, berdosa besarlah kami, jika tidak mempertahankannya.”

Dari komentar Pep usai kemenangan fenomenal atas seteru abadinya itu, sangat jelas, bahwa Barcelona sendiri tidak dalam sekejap untuk mencapai prestasi secemerlang sekarang. Mereka dengan yakin, tekun, dan sabar, menunggu hasil yang dicapai La Masia.

Ya, La Masia resmi didirikan pada tahun 1979. Idenya datang dari Johan Cruyff  semasa menjadi pemain Barca pada tahun 1973 – 1978. Saat akan meninggalkan Barca (1978), kapten legendaris Belanda itu ngotot  bertemu Presiden Barca saat itu, Josep Nunez, hanya untuk mengatakan penting dibangun sebuah akademi sepakbola seperti yang ada di Ajax Amsterdam.

Sepuluh tahun kemudia, tahun 1989, Cruyff kembali ke Barca, kali ini sebagai pelatih. Benar, dia membawa bintang-bintang luar negeri ke Barca, seperti Romario (Brazil), Hristo Stoichkov (Bulgaria), Ronald Koeman (Belanda) dan Michael Laudrup (Denmark).  Tapi ia juga tidak lupa untuk melirik pemain yang ada di La Masia, akademi yang lahir dari pemikirannya. Hasilnya, Guillermo Amor, menjadi produk pertama La Masia  yang berhasil menembus barisan  inti skuad Cruyff. Tak hanya itu, Amor pun menggapai pencapaian hebat dengan memenangi 17 gelar, salah satu yang terbanyak yang pernah diraih oleh pemain dalam sejarah klub Catalan itu.

Selanjutnya, kita tahu. Pada tahun 1992, Barcelona menjuarai Piala Eropa untuk pertama kalinya, setelah mengalahkan Sampdoria di Wembley. Saat itu, hanya ada dua pemain dari La Masia yang ada di tim utama, yaitu Albert Ferrer dan Pep Guardiola. Sedangkan penjaga gawang Carles Busquets (ayah Sergio Busquets) hanya berada di bangku cadangan. Meski jumlahnya masih sedikit, Cruyff  bangga. Setidaknya ia telah membuktikan bahwa pembinaan berjenjang dari usia dini, dengan memboyong filosofi sepakbola “menyenangkan” berhasil menjejakkan kaki di level tertinggi sepakbola Eropa.

Pujian memang banyak yang dating, tetapi kritikan juga tak kalah kecengnya menerpa. Namun Cruyff beserta jajaran petinggi Barcelona (meski telah berkali-kali ganti pengurus)  tetap tabah, yakin, sabar, dan konsisten  menjaga irama La Masia sebagai pabrik pemain muda bervisi total football. Hingga akhirnya kita tahu, ketika Frank Rijkaard masuk menjadi pelatih, ia mulai menikmati lebih banyak hasil olah La Masia, antara lain Victor Valdes, Oleguer Presas, dan Charles Puyol. Sedangkan Xavi Hernandez dan Andres Iniesta sudah bersiap di bangku cadangan. Hasilnya, gelar juara Eropa untuk kedua kalinya di raih dengan mengalahkan Arsenal 2-1 di Paris pada tahun 2006.

Usai era Rijkaard, Pep Guardiola yang asli produk La Masia, naik tahta. Sebagai pemain yang sejak kecil ada di lingkungan Catalan, ia tahu persis apa yang dibutuhkan Barca, dan sangat hapal di luar kepala filosofi klub yang membesarkannya itu. Bintang-bintang Barca yang sedang cemerlang saat itu, seperti Ronaldinho, Deco, Zambrotta, dan juga Edmilson, dipersilahkan minggir.  Sementara lulusan La Masia yang ada di luar, seperti Gerard Pique, ditarik pulang dari Manchester United. Dari tim B, Sergio Busquets, Jeffren Suarez dan Pedro Rondrigues disisipkan dalam skuad utama. Hasilnya, kita tahu semua, sangat dahsyat!  ‘treble winner’ diraih, termasuk menyabet gelar juara Eropa, setelah menjungkalkan Manchester United di Roma. Saat itu, ada tujuh pemain lulusan La Masia, termasuk di dalamnya sang bintang, Lionel Messi, di tengah lapangan, dan tiga lainnya duduk di bangku cadangan.

Cruyff yang duduk di kursi VIP di stadion Olympico Roma, tak kuasa menahan haru. Ia seolah tak percaya, La Masia mengangkat trophy tertinggi di Eropa, setelah 30 tahun bekerja keras. Hebatnya lagi, 10 pemain La Masia ikut mengantarkan Spanyol menjadi juara Eropa 2008, juara dunia 2010, dan juara Eropa 2012. Dahsyat!

Mantan presiden Barcelona, Joan Laporta mengatakan, sukses Barca sangat didukung oleh falsafah La Masia, “Untuk menghasilkan tim juara, dibutuhkan sistem pembinaan  berkualitas dan berkesinambungan sejak dini. Itu adalah  adalah dasar mutlak dan fundamental, sehingga mampu membentuk identitas tim, sebagai tim yang bukan sekadar tim juara.”

Diklat Salatiga La Masia Indonesia

Bagaimana dengan Indonesia? Sebenarnya, Indonesia pernah memiliki akademi sepakbola yang memiliki filosofi sama dengan La Masia, yaitu Diklat Sepakbola Salatiga. Diklat yang berada di dataran tinggi Jawa Tengah itu diarsiteki oleh pengusung total football fanatik asal Belanda, yaitu Wiell Coerver.

Coerver datang ke Indonesia atas undangan  Ketua Umum PSSI saat itu, Bardosono. Saat itu, tahun 1975, Coerver baru saja mengantarkan klub Fayenoord Rotterdam menjadi juara UEFA Cup periode 1973-1974. Ia dikontrak PSSI untuk menangani tim nasional menghadapi kualifikasi Olimpiade Montreal 1976. Saat itu Indonesia baru kembali ke pentas internasional setelah dijatuhi sanksi larangan tampil selama 16 tahun oleh FIFA,  akibat memboikot pertandingan kualifikasi Piala Dunia 1958 melawan Israel.

Tugas utama Coerver memang menyiapkan timnas ke pra-Olimpiade. Tapi, sebagai pelatih yang memiliki visi jauh ke depan, perlu meletakkan dasar-dasar pembinaan jangka panjang. Maka, ia pun merombak total sistem pembinaan sepakbola di tanah air menjadi lebih modern, antara lain lewat Diklat sepakbola Ragunan dan Diklat Sepakbola Salatiga. Meski ditentang oleh banyak pengurus teras PSSI kala itu, Coerver jalan terus.

Hasilnya, Diklat Salatiga, yang saat itu juga tempat pemusatan latihan tim nasional, menjadi satelit pembinaan sepakbola usia muda di Indonesia. Salah satu diantaranya, yaitu Suhatman (sekarang pelatih Semen Padang), adalah murid Coerver dari Diklat Salatiga, yang berhasil menembus deretan pemain top nasional, seperti Ronny Pattinasarani, Waskito, Iswadi idris, Oyong Liza, Anjas Asmara, dan lainnya.

“Coerver adalah pelatih yang keras, dan tidak suka dicampuri oleh siapapun, meskipun itu pengurus PSSI, bahkan Ketua Umum sekali pun,” kata Anjas Asmara yang pernah menjadi muridnya.

Perjalanan Coerver menangani Indonesia memang penuh liku. Sang pelatih harus pandai-pandai bersiasat dengan manajemen sepakbola tanah air yang berbeda jauh dengan budaya negara asalnya. Seperti yang dicatat Tempo edisi 1975, Coerver tak segan beradu pendapat dengan Bardosono tentang pemilihan pemain. Coevrer bukanlah pelatih Indonesia lain yang bersedia "membungkuk-bungkuk asal bapak senang".

Ketika Indonesia kalah 1-0 menghadapi tim asal Austria, Voets Linz, dalam sebuah pertandingan uji coba tim pra-Olimpiade, Desember 1975, ketua dewan penasehat Maladi dan ketua Badan Tim Nasional Pardede turun ke pinggir lapangan untuk meminta seorang pemain, Waskito diganti, tapi Coerver menanggapinya dengan ringan. "Itu urusan saya," cetusnya.

Selama di Indonesia pula, Coerver mengembangkan  dan meletakkan fondasi pembinaan pemain muda di Indonesia, yang kemudian ditulisnya menjadi sebuah metode  pelatihan sepakbola modern yang terkenal dengan nama Coerver Method, atau Metode Coerver, dan Diklat Sepakbola Salatiga dan Ragunan dijadikannya sebagai pusat pelatihannya.

Sambil mengembangkan metode pelatihannya, Coerver tetap konsisten menangani timnas. Lewat tangan dialah timnas bisa beruji coba dengan klub-klub papan atas Eropa, antara lain dengan bersegitiga melawan Manchester United dan Ajax Amsterdam. Waktu itu Indonesia mampu menahan imbang MU dengan 0-0, tetapi kalah 1-4 dari Ajax, sedangkan MU akhirnya kalah 2-3 dari Ajax.

Puncaknya,  di hadapan 120 ribu penonton di Gelora Bung Karno, Indonesia kalah dramatis dari Korea Utara, dan gagal melangkah ke Olimpiade 1976.  Tidak hanya itu, kontrak Coerver juga tidak diperpanjang. Sebelum meninggalkan Indonesia, dia sempat berkata, “Tidak pernah saya melihat publik yang begitu solider dengan tim nasionalnya.” Ia memang sangat terkesan atas kecintaan publik Indonesia pada sepakbola.

Kembali ke Belanda, Coerver melanjutkan pengembangan metode Coerver dengan menganalisa beberpa pertandingan yang melibatkan pemain-pemain besar, diantaranya adalah Pele. dia mematahkan konsep dalam sepak bola yang mengatur bahwa keahlian tidak hanya bisa diturunkan dengan pemain muda tetapi juga bisa diajarkan dengan pendidikan akademik yang baik. Pada dasarnya, pemain terbentuk dalam proses yang terstruktur secarapyramidal, dimulai dari dasar penguasaan bola sampai dengan menerapkan taktik penyereangan berkelompok. Mereka juga diajarkan beberapa hal utama sepertiReceiving and Passing,Moves,SpeeddanLethal Finishing.

"Mencetak pemain bintang harus dimulai sejak dini. Saya selalu mengajarkan kepada pemain, kita yang memerintah bola, bola ada dalam kuasa kita, bukan sebaliknya," tukasnya saat itu kepada Tempo.

Albert Einstein untuk Sepakbola

Wiel Coerver yang lahir pada 3 Desember 1924 di selatan Limburg, kawasan Belanda yang dikenal dengan industri pertambangan, dasarnya adalah penganut total football tulen, yang kemudian menjadi dasar pelatihan di La Masia, Barcelona. Tak heran pula, jika metoda Coerver, tidak jauh berbeda dengan La Masia. Sebagai bukti,  Coerver pernah menyabet penghargaan Rinus Michels oeuvre award 2008.

Dasar pelatihan usia dini yang dikembangkan Coerver pun kemudian menjelma menjadi buku pintar para arsitek sepakbola handal di seluruh dunia. Setelah Suhatman di Indonesia, salah satu murid pertama Coerver di Belanda, yaitu Boudewijn Zenden, masuk skuad inti timnas Belanda di Piala Dunia 1998 di Perancis.

"Figur Coerver sangat penting dalam dunia sepakbola. Beliau peletak dasar metode mengendalikan bola tanpa kehilangan fokus," ujar Leo Beenhakker. Metode ini pula yang digunakan La Masia saat ini, dan juga di Akademi Manchester United di Carrington. Adalah Rene Meulensteen, asisten Sir Alex Ferguson di Manchester United yang dikenal menerapkan metode Coerver di Carrington, yang kemudian membentuk Christiano Ronaldo menjadi mega bintang. Ruud Van Nistelrooy dan Arjen Robben juga penganut fanatik metode Coerver.

“ Coerver adalah sosok Albert Einstein untuk dunia sepakbola," puji Frans van Balkom, eks pelatih Roda JC Kerkrade yang juga pernah menangani timnas Indonesia.

Sayang, dasar-dasar metode Coerver yang pertama kali diletakkan di Indonesia menguap begitu saja, seiring dengan kepergiannya.  PSSI saat itu, dan sepertinya turun temurun sampai sekarang, enggan memakai apapun yang berbau Coerver. Maklum, Coerver juga dikenal sangat membela hak para pemainnya, baik ketika berkiprah di Eropa maupun di Indonesia.

Ketika agenda uji coba timnas diubah PSSI secara mendadak usai kekalahan melawan Linz, Coerver tampak berat menerimanya karena sudah terlanjur memberi libur dua hari penuh kepada para pemain. Selama berlangsung pemusatan latihan di Salatiga, Coerver membagi rata hasil penjualan karcis dari pertandingan uji coba kepada 40 pemain anggota seleksi.

Asisten pelatih Ilyas Hadede pernah mengungkapkan, Coerver berhasil "memaksa" Bardosono menandatangani kesepakatan bonus untuk para pemain. Setiap kemenangan dinilai Rp70 ribu, imbang Rp50 ribu, dan kalah Rp25 ribu. Untuk final, timnas mendapat bonus kemenangan Rp2,5 juta sedangkan kalah Rp1 juta. Bahkan Coerver menggagas terbentuknya "Dewan Pemain", terdiri dari Iswadi Idris, Risdianto, Junaedi Abdillah, Oyong Liza, dan Ronny Pattinasarani, untuk menyuarakan pendapat pemain kepada para pengelola sepakbola.

"Kedua kaki para pemain adalah periuk nasi hari ini dan jaminan mereka di hari tua," demikian ujarnya suatu ketika.

Sikap tersebut tak lepas dari kecaman kalau Coerver "merusak" pemain dengan uang dan mengabaikan nasionalisme. Tetapi, seperti sejak awal kedatangannya, Coerver hanya berupaya memperkenalkan profesionalisme dalam sepakbola Indonesia. Pelatih memiliki tugas dan tanggung jawab penuh terhadap tim yang ditangani tanpa intervensi sekalipun dari orang tertinggi otoritas sepakbola tertentu, serta pemain merupakan sendi utama dari industri sepakbola.

Sikap tak mau diintervensi oleh pengurus itulah yang mendepaknya dari Indonesia, berikut metode pelatihannya, yang kemudian dilanjutkan dengan tak terurusnya Diklat Salatiga dan Ragunan. Meski begitu, ketika berkesempatan mengunjungi kembali Indonesia pada tahun 2008, optimismenya terhdap persepakbolaan Indonesia tak berkurang. Indonesia, disebutnya, mampu membawa dirinya sendiri berkompetisi di level internasional dengan memulai program pembinaan pemain usia dini.

Coerver kini telah tiada. Beliau tutup usia 22 April 2011 di usia 86 tahun, karena pneumonia. Kala itu, bukan hanya masyarakat sepakbola Belanda yang berduka. Selain Feyenoord yang mengenakan pita hitam saat menjamu PSV Eindhoven pada lanjutan Eredivisie, Barcelona  juga mengenakan pita hitam saat menjamu Osasuna, demikian pula Arsenal yang bertanding melawan Bolton, dan Manchester United melawan Everton.  Suasana duka juga merambah hingga Jerman dan Italia, mereka mengenakan pita hitam  demi mengenang kiprah Coerver.

Lalu, apa yang kita kenang dari Coerver? Hanya sebuah cerita panjang pembinaan usia dini yang sistematis, tanpa wujud. Padahal, fondasi itu telah diletakkan oleh Coerver sejak tahun 1975 di Diklat Salatiga, lebih awal empat tahun dari La Masia, yang digagas Cruyff pada 1979. Dasar dan filosofinya tak berbeda, yaitu total football, karena baik Cruyff maupun Coerver adalah sama-sama murid Rinus Michels, “Bapak Total Football”.

Seandainya fondasi itu terus dibangun, dikembangkan, dan diterapkan secara konsisten oleh para pengurus PSSI sejak era Bardosono hingga Djohar Arifin, semestinya kita sudah ada di pentas dunia, pemain-pemain professional kita sudah meretas ke berbagai penjuru dunia. Sayang, penyakit egoisme, intervensi, sok kuasa, dan lebih suka bekerja per proyek serta berharap menghasilkan prestasi secara instan, dari  pengurus PSSI sejak dulu hingga sekarang, tidak pernah sembuh. Ingat, kan? Program Primavera, Baretti, belum lagi  Binatama yang di Brazil, dan terakhir adalah SAD di Uruguay, semuanya tak berdampak apa-apa, terhadap timnas.

Saya jadi ingat filosofi Barcelona yang diletakkan Cruyff di La Masia, dan diterapkan secara cemerlang oleh Pep Guadiola di tim utama, Barcelona dibangun dari sistem sepakbola indah yang sudah terpateri sejak para pemain itu berusia 9-15 tahun. Pergerakan bola bawah, sangat menjangkau semua talenta tanpa pandang besar dan tingginya postur tubuh pemain. Messi, Xavi, Iniesta, Thiago, Fabregas, bukanlah pemain berpostur tinggi di Eropa. Dan, apa kata Arsene Wenger, boss Arsenal, “Filosofi Barcelona  lebih besar dibanding sekadar menang atau kalah dalam sebuah turnamen”.

Nyaris sama persis dengan filosofi yang dibawa Coerver ke Indonesia, “Ketika Anda berusia 10-15 tahun, kaki lebih bermanfaat untuk mengolah bola sebanyak mungkin, ketimbang kepala. Dan, saat usia memasuki 20 tahun, gunakan kaki sepuluh kali lipat lebih banyak dalam permainan, dibanding kepala, karena pertandingan akan sangat indah jika bola 85 persen berada di rumput,” kata Coerver dalam salah satu artikelnya metode pelatihannya.

Artinya, pergerakan bola bawah menjadi ciri permainannya, tanpa pandang postur pemain, dan perlu dilatih sejak usia dini. Tak ada bedanya dengan La Masia, bukan?

Lewat artikel ini, saya berharap, jika benar nantinya PSSI U-23 berguru di La Masia, hendaknya  bukan hanya untuk mengejar  kemenangan sesaat, seperti target emas SEA Games 2013. Tetapi yang lebih penting adalah membawa ilmunya kembali ke tanah air, dan membangun kembali puing-puing fondasi pembinaan usia dini yang pernah dibangun Coerver. Mundur 37 tahun, tidak apa-apa, dari pada tertinggal semakin jauh lagi…

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun