Gagasan membangun International Batik Center (IBC) di Wiradesa, Pekalongan, adalah sebagai pusat perdagangan batik berkelas internasional, sekaligus sebagaiwujud pelestarian budaya bangsa, khususnya batik. Para penggagas IBC tidak mudah untuk mewujudkan bangunan megah, bercitra internasional, sehingga mampu menarik perhatiantidak hanya pecinta batik, tetapi juga para pengusaha batik, di Pekalongan dan sekitarnya.
Pada tahun pertama perjalanannya, IBC boleh dibilang mampu menjalankan fungsinya sebagai pusat perdagangan,ruang pamer, dan juga tempat yang ideal bagi generasi muda untuk mengenal batik lebih dalam, antara lain melalui workshop pembuatan batik, dan juga seminar-seminar seputar batik dan craft. Namun, seiring dengan perubahan manajemen, orientasi IBC pun ikut berubah. Fungsi sosial budaya IBC perlahan-lahan dipangkas, dan mulai menonjolkan aspek komersialnya. Gallery IBC tak pernah lagi dibuka, tak ada lagi kegiatan workshop,promosinya pun dilakukan seadanya, lebih merupakan promosi menjual kiosnya, dari pada mengarah pada peningkatan minat masyarakat untuk berkunjung ke IBC.
Akibatnya, pengunjung IBC menurun drastis. Pertama yang terkena imbasnya adalah para pemilik kios. Pendapatannya menurun drastis. Kedua,adalah sepinya IBC dari kegiatan edukasi budaya, karena setiap kegiatan budaya diukur berapa besar dana yang masuk ke manajemen IBC. Ketiga adalah pengusaha kecil yang sejak awal mendukungmelalui kios-kios kulinernya. Sepi pengunjung, berarti sepi pula yang datang ke tempat makan mereka.Sementara, pihak manajemen setiap saat mengejar uang sewa tanpa kompromi, dan juga tanpa upaya untuk mengembangkan citranya melalui berbagai bentuk promosi. “Mereka menuntut haknya, tetapi melalaikan kewajibannya. Tidak ada upaya manajemen untuk meningkatkan kualitas layanannya, termasuk keamanan, apalagi promosi agar IBC kembali ramai seperti dulu,” jelas salah satu penyewa kios kuliner di IBC.
Pengelola IBC terkesan hanya menampik pandangan-pandangan miring hanya dari kacamata mereka saja, tanpa mau mendengarkan keluhan dan usulan para tenant. Upaya mengundang bis-bis pariwisata pun terkesan sembarangan, nyaris tanpa konsep.Bis-bis tersebutmasuk ke IBC tidak lebih karena sopir-sopirnya diiming-imingi salam tempel. Jadi jelas, bukan kunjungan yang direncanakan oleh operator tour.Fungsi IBC pun lebih mirip rest area, ketimbang kunjungan belanja,dan sangat jauh dari kunjungan budaya. Sungguh ironis!
IBC di siang hari, memang terlihat megah. Namun, saat senja mulai tiba, IBC tak lebih dari seonggok bangunan gelap yang merana di pinggiran kota yang kini mendapat predikat “Kota Batik Dunia”, yaitu Pekalongan.
Melihat kondisi tersebut di atas, sudah saatnya pemerintah setempat mulai memberi perhatian. Jika peru DPRD Kabupaten Pekalongan memanggil jajaran manajemen IBC untuk mempertanggungjawabkan visi dan misi gagasan awal pendirian IBC. Manajelem IBC sekarang, juga harus berani membuka diri dan tidak malu untuk bercermin dari sukses manajemen pendahulunya. Jika tidak, maka IBC tidak hanya seonggok ikon yang merana.
A.Rahman Musawa (pecinta IBC)
[caption id="attachment_295239" align="aligncenter" width="590" caption="IBC, Ikon yang Merana"][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H