Mohon tunggu...
A. Rahman Musawa
A. Rahman Musawa Mohon Tunggu... -

Saya adalah mantan wartawan yang suka nonton bola

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Artikel Utama

Menanti Wajah Baru Sepak Bola Indonesia

4 Oktober 2012   04:52 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:17 1755
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1349328955942684482

[caption id="attachment_216260" align="aligncenter" width="400" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption]

Ada wacana bahwa PSSI akan mengikut sertakan  Timnas U-23 dalam kompetisi liga, sebagai bagian dari persiapan  untuk merebut medali emas SEA Games 2013. Menurut rencana, kabarnya, mereka akan bermarkas di Solo, dan akan mendapat supervisi dari tim  pelatih Barcelona FC.

Sebelumnya, Timnas U-23 juga akan berangkat ke Catalonia untuk berguru di La Masia. Di negeri Matador tersebut punggawa muda Indonesia tersebut akan beruji tanding melawan tim nasional Spanyol U-23, dan juga tim-tim lokal lainnya.

Langkah uji tandingnya patut didukung untuk membiasakan tim muda ini berkompetisi di level atas, dan hasil menang atau kalah tidaklah penting. Hanya saja, jika sepulangnya dari uji tanding di Eropa, kemudian mereka diterjunkan dalam kompetisi liga, rasanya kurang pas.  Program model begini sudah terbukti gagal mengangkat timnas di era kepengurusan sebelumnya. Kenapa masih diulang lagi?

Bukti kongkrit program pelatihan seperti ini adalah SAD Uruguay. Secara individual memang banyak manfaatnya, terutama dalam meningkatkan kualitas tehnik, fisik,  dan pengalaman bertanding.  Tetapi secara tim tidak menghasilkan apa-apa.   Kegagalan serupa juga pernah dialami program  Primavera  dan Baretti yang berguru  dan berkompetisi di Italia, sebelumnya lagi juga berantakan melalui program Binatama di Brazil (1979-1980), Garuda, juga Pratama. Tim-tim ini semuanya berlatih jangka panjang dan ikut kompetisi, bahkan di luar negeri.

Belajar dari program-program serupa  sebelumnya, yang muncul dari program seperti ini adalah nama-nama individu, seperti Kurniawan Dwi Yulianto, Bima Sakti, Indrianto Nugroho, Aples Tacuari, dan Kurnia Sandy. Dari Binatama muncul diantaranya nama Berti Tutuarima.  Sedangkan dari SAD kita kenal nama Syamsir Alam, Yericho Kristiantoko , Alfin Tuasalamony. (Vise – Belgia). Belakangkan, kabarnya, Alfin Tuasalamony dilirik oleh klub Benfica, Portugal.  Saya sangat menghargai prestasi mereka. Tetapi,  sejak era  kepemimpinan Ali Sadikin, Kardono, Azwar Anas, hingga  Nurdin Halid, secara tim nasional, hasilnya sama: tidak ada piala satu pun!

Nah, di era Djohar Arifin sekarang ini, apakah program atau proyek sejenis yang sudah terbukti kegagalannya akan diulang lagi? Pada dasarnya, pemusatan latihan jangka panjang bagi tim nasional, bukanlah model yang ideal. Apalagi mereka diterjunkan dalam arena kompetisi liga nasional, sangat tidak efisien. Biayanya sangat mahal, dan tidak ada jaminan prestasi secara berkesinambungan. Bisa jadi dengan kebersamaan yang lama, akan terbentuk skuad yang mampu merebut medali emas di SEA Games 2013. Tapi itu hanya kemenangan sesaat. Padahal yang terpenting adalah pembinaan berkesinambungan melalui kompetisi yang berkualitas yang diikuti klub-klub professional dan berkualitas pula.

Pembinaan klub-klub, mulai dari  klub amatir, divisi terendah hingga di kasta liga tertinggi itulah yang seharusnya menjadi perhatian utama PSSI. Klub-klub itulah yang bertanggungjawab untuk menghasilkan pemain-pemain berkualitas bagi tim nasional. Untuk itulah PSSI perlu membangun sistem standarisasi klub, terutama dalam pembinaan pemain usia dini. Ajukan syarat yang ketat bagi klub yang ingin mengikuti kompetisi senior level nasional (liga profesional)  di semua divisi, misalnya  dengan wajib  punya tim usia 9-16 tahun, U-U-17-18, U-20-23, dan secara rutin menggelar kompetisi nasional (setingkat liga) di level usia-usia tersebut.

Bahkan, di level senior (liga professional) tambahkan kompetisi untuk pemain cadangan (reserve tim) seperti di Eropa dan Amerika Selatan,  agar semua pemain merasakan atmosfir kompetisi, dan terpacu untuk meningkatkan kualitas secara individu agar segera bisa main di tim utama. Kompetisi tim cadangan ini juga berguna untuk recovery bagi pemain inti yang baru sembuh dari cedera. Semua pemain top dunia, pernah merasakan bermain di kompetisi cadangan, mulai dari Wayne Rooney,  Fernando Terres, hingga Christiano Ronaldo dan Lionel Messi.

Kalau boleh saya usul, Pak Djohar tidak perlu terpancing dengan isu tuntutan prestasi instan dari tim nasional. Jika tetangga sebelah memprovokasi dengan membangun rumah mewah, apakah kita harus terpancing  dan memaksakan diri membangun rumah lebih mewah pula? Jika mampu sih tidak apa-apa. Tapi faktanya, fondasi kita tidak kuat untuk mendirikan bangunan mewah, jika dipaksakan hanya akan kelihatan bersinar sesaat, kemudian rubuh dan tak terurus, seperti yang terjadi sebelum-sebelumnya.

Fokus dengan membangun program pembinaan klub, melalui standarisasi (acuannya jelas standar AFC dan FIFA) dan kompetisi di semua level usia, saya kira lebih realistis dan berdaya guna untuk jangka panjang. Dengan database klub yang terverifikasi (misalnya klub kategori D: dalam pembinaan, kategori C: berpotensi, kategori B: belum sempurna, dan kategori A: memenuhi standar dengan sempurna), maka PSSI akan dengan mudah mengarahkan sponsor dan investor untuk menanamkan duitnya di klub dengan supervisi dan pengawasan yang ketat dari PSSI. Pihak klub pun, dengan modal sertifikat  verifikasi, tidak sulit menggalang dana operasional.

Lalu bagaimana dengan nasib tim nasional? Membangun tim nasional yang kuat dan berprestasi adalah tujuan akhir ( goal-nya) dari pembinaan berkesinambungan di semua level usia kompetisi. Saya yakin, jika semua berjalan dengan baik dan sehat, dilandasi dengan murni kecintaan pada sepakbola nasional, mimpi itu akan terwujud. Memang tidak bisa besok atau lusa, belum tentu juga tahun depan,  Bahkan mungkin tidak cukup  hingga masa  kepengurusan Pak Djohar dan kawan-kawan berakhir empat tahun mendatang. Tapi saya yakin, jika program-program tersebut berjalan, dan kompetisi disemua level usia berlangsung semarak, plus kompetisi liga berkualitas, bukan mustahil Pak Djohar dan kawan-kawan di akan dipercaya untuk memimpin PSSI di periode berikutnya, sekaligus membungkam keberisikan tetangga sebelah.

Mengenai prestasi tim nasional itu sendiri, sebenarnya tolok ukurnya  sangat subyektif.  Tim nasional Inggris, misalnya. Dalam lima tahun terakhir saja, prestasi apa yang diraih? Rooney dan kawan-kawan tak berdaya di level Eropa, juga tak berkutik di level dunia. Kurang apa dengan kualitas pemain nasionalnya? Tapi, ada satu hal yang luar biasa dari tim  nasional Inggris, penampilannya, baik di level eropa maupun dunia, selalu ditunggu oleh penggemarnya di seluruh dunia. Mereka ingin melihat aksi idolanya yang tampil cemerlang tiap pekan di klubnya masing-masing, bertarung  melawan bintang-bintang dari negara lain. Dan, itu membuat pengurus  FA (PSSI-nya Inggris) tetap bisa tidur nyenyak, meski hasilnya tidak maksimal.

Kenapa? Karena kompetisinya di semua level usia menarik untuk ditonton, karena tetap melibatkan klub-klub bernama besar di liga utama, seperti MU, Chelsea, Arsenal, Liverpool dan lainnya. Fans klub, dan penggila bola pada umumnya, bisa dengan jelas melihat perkembangan pemain muda masa depan Inggris. Mereka tahu bagaimana Danny Welback, Tom Cliverly, Chris Powell, Phil John, Theo Walcott, dan lainnya, bahkan Rooney,  berkiprah sejak masih di level anak-anak. Jadi kekecewaan akibat kegagalan timnas, sedikit terobati lewat penampilan para idola mudanya di level tertinggi, setara dengan bintang-bintang dunia lainnya.

Meski timnas Inggris gagal di level eropa dan dunia, nama Inggris tetap berkibar, tetap harum, tetap menjadi perbincangan prositif di kedai-kedai kopi di seluruh Inggris Raya, bahkan di seluruh dunia, berkat nama-nama pemainnya yang mendunia, dan senantiasa ditunggu penampilannya.

Kita memang tidak bisa dibandingkan dengan Inggris dan negara lain di Eropa, bahkan di Asia saja kita belum ada apa-apanya dibanding Jepang, China, dan duo Korea. Tapi tidak berarti kita tidak mampu. Sumber daya kita lebih banyak, lebih powerfull dibandingkan mereka, Jangkauan kompetisi yang harus dilewati juga lebih luas, bahkan lebih jauh. Jadi seharusnya, dan saya yakin mampu, kita lebih kuat dari mereka. Syaratnya ya bersatu, bersama-sama meletakkan dan kemudian membangun fondasi, serta mengembangkannya menjadi kekuatan yang dahsyat, tidak hanya di Asia, tetapi di dunia.

Mungkinkah bersatu? Melihat kondisinya sekarang, jujur, saya pesimis. Yang dibutuhkan dalam situasi seperti sekarang ini adalah pengorbanan. Berkorban, tidak berarti kalah, justru bisa berbuah manis (saya tidak ingin menyebutnya sebagai kemenangan) dikemudian hari. Terus terang, mengharap tetangga sebelah berkorban untuk kita, sama dengan menunggu bintang jatuh dari langit.

Menurut saya nih, PSSI sebagai lembaga yang memiliki legitimasi kuat, baik secara hukum, maupun pengakuan formal dari lembaga internasional (AFC dan FIFA), tidak harus terpancing masuk dalam kacah perseteruan yang tidak produktif dengan tetangga sebelah, yang ujung-ujungnya adalah merugikan, tidak hanya PSSI sendiri, tetapi juga pemain, dan semua stakeholder sepakbola di tanah air ini. Dan, sekarang sudah terjadi. AFC dan FIFA pun sampai turun tangan dengan membentuk tim Task Force (TF) dan Joint Committee (JC), dan sejauh ini tidak juga mendinginkan masalah, bahkan cenderung dicari masalah baru. Yang sedang hangat adalah masalah dualisme tim nasional untuk AFF 2012.

Menyikapi situasi yang ada saat ini, menurut saya, PSSI  tidak perlu tergopoh-gopoh (kalau tidak mau dibilang panik). Jika saya adalah Pak Djohar, saya hanya akan tersenyum, bahkan mungkin justru akan menunjuk tim nasional mereka untuk mewakili Indonesia ke Piala AFF 2012 (kalau perlu melalui JC sesuai yang mereka mau ). Dengan begitu, setidaknya, satu beban pikiran yang mengganggu  produktivitas kerja terlepaskan. Toh secara kualitas pemain, harus diakui, tidak jelek. Jika mereka kelak tampil sebagai juara, PSSI akan tetap kecipratan harumnya. Saya yakin, jika benar mereka juara AFF 2012, justru Pak Djohar (PSSI),  yang dengan legowo menyerahkan tim nasional mereka yang tampil, yang akan menuai pujian dari publik. Dan, jika mereka gagal, sebagai anak bangsa, kita semua pasti kecewa sih, tapi mereka yang akan lebih terpukul!

Jujur, saya lebih cenderung PSSI saat ini lebih fokus membenahi kompetisi yang amburadulnya sudah sangat mengakar. Mumpung sudah ada yang mau membiayai tim nasional, alihakan saja dana pemusatan latihan tim nasional AFF 2012 untuk meningkatkan kualitas sumber daya di PSSI, misalnya dengan mengirim orang untuk belajar manajemen kompetisi di Inggris atau Spanyol, atau bisa juga mengundang konsultan ahli dari FA atau La Liga untuk membangun kompetisi di sini.

Di luar itu, PSSI juga bisa tenang merancang program pembinaan klub dari level terbawah hingga paling atas, baik dari sisi standar manajemen, maupun standar teknis. Undang para ahli dari MU, Barcelona, Real Madrid, AC Milan, juga AFC dan FIFA untuk mencari bentuk standarisasi klub, sebagai bahan verifikasi sesuai standar  AFC dan FIFA. Hasilnya  dipublikasikan secara luas melalui website, sehingga bisa diakses oleh siapa saja yang berkepentingan. Dalam publikasi sistem standarisasi klub tersebut, tidak hanya berisi syarat-syarat standar saja, tetapi dilengkapai juga dengan petunjuk teknis bagaimana cara mencapainya. Di sini PSSI harus siap jika ada klub yang minta bimbingan secara langsung (supervisi) untuk mencapai standar yang diinginkan, sesuai kemampuan klub itu sendiri.

Jadi menurut saya, tidak perlu PSSI membangun sendiri pusat pelatihan sepakbola usia dini yang hanya akan memboroskan uang saja (seperti Hambalang?). Serahkan saja pada klub. Wajibkan semua klub yang berkompetisi di bawah payung PSSI harus punya wadah pembinaan untuk usia 9-15, 16-18, 19-21, dan U-23. Tapi jangan cuma himbauan dan slogan saja. Harus jelas dan tegas. Kompetisi di semua level usia itu juga harus ada dan jelas jadwalnya, sehingga klub tidak bingung menyalurkan bakat-bakat muda yang dibinanya. Artinya sasaran pembinaannya ada dan jelas!

PSSI juga harus mulai merancang bangun system database klub di semua level di seluruh tanah air. Database tidak hanya berisi profil klub, tetapi juga meliputi kinerja klub, kemampuan finansial (termasuk asal usul sumber dana),  laporan keuangan tahunan klub, aset klub (pemain, pelatih, dan infrastrukturnya), dan tentu saja prestasinya di semua level usia.

Rumit? Sepintas rumit. Tetapi, di era serba canggih ini, semuanya akan sangat terasa mudah jika punya niat. Database klub dibangun secara online dan bisa diakses siapa saja. Mulai dari pengurus PSSI sendiri, klub, masyarakat pecinta bola, bahkan investor, baik dalam maupun luar negeri.  Klub-klub yang sudah terdaftar di bawah naungan PSSI, tinggal mendaftar ulang secara online, dan mengisi semua informasi yang diminta oleh database, dan bisa di update kapan saja dibutuhkan, baik oleh klub maupun PSSI.

Dengan system ini, PSSI (dan juga masyarakat) bisa dengan mudah memantau kegiatan klub, peningkatan standarnya, dan juga kesehatan klub, baik teknis maupun finansial. Bagaimana jika ada klub yang nakal dengan tidak memberi informasi dengan benar pada database?  Akan rugi sendiri. Sebab, pada saat verifikasi tahunan akan ketahuan dengan sendirinya. Apalagi jika sampai tidak mampu membayar gaji pemain, sementara laporan finansialnya pada database bagus, berarti ada yang tidak beres dalam pengelolaan manajemennya. PSSI tinggal menetapkan sanksinya saja bagi klub-klub yang nakal. Dan, jika ada unsur pidananya, tinggal serahkan kepada yang berwajib untuk diproses secara hokum.

Jika system ini berjalan dengan baik, seperti yang ada di luar sana,  tidak hanya pembinaan klub yang secara otomatis akan terpantau dengan  baik, juga memudahkan para investor, sponsor, untuk melihat dan memilih sendiri (melalui database) di klub mana akan berinvestasi. Tentu, hanya klub yang memiliki standar tinggi, dan atau yang berpotensi berkembang serta punya basis fans yang kuat, yang akan didatangi investor.  Ini akan berakibat memicu persaingan antar klub dalam menggaet investor atau sponsor. Ini bagus untuk memacu klub-klub untuk mencapai standar yang diinginkan investor atau sponsor. Hasilnya, standar pengelolaan klub akan meningkat, kualitas  pemain juga otomatis meningkat, kualitas kompetisi pun akan terus naik, dan ujungnya tim nasional akan mendapatkan suplai pemain-pemain berkualitas pula.

Kapan bisa terwujud?  Memang tidak secepat membalikkan telapak tangan. Butuh waktu dan perencanaan yang matang dan rinci. Tapi jika tidak dimulai dari sekarang, tidak akan pernah ada di masa yang akan datang. Biarlah dicaci maki sekarang, tetapi dikenang di kemudian hari. Sungguh, saya memimpikan wajah baru sepakbola Indonesia …Hidup PSSI!

Semoga artikel ini berguna

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun