Hari ini saya sungguh tidak mengira kalau akan "ketiban sampur" atau mendapat tugas mendadak menjadi ketua komisi A di sidang komisi hari kedua kongres IGI I. Konggres ini berlangsung di kantor kemendiknas senayan Jakarta mulai dari hari Selasa sampai Kamis tanggal 21-23 Juni 2011. Ceritanya bermula ketika sidang pleno memutuskan untuk membagi para peserta konggres yang berasal dai seluruh Indonesia tersebut ke dalam komisi-komisi. Ada empat komisi yang ditentukan, yaitu komisi A yang membidangi AD/ART IGI, Komisi B yang membidangi struktur organisasi, Komisi C yang membidangi kinerja organisasi dan Komisi D yang membidangi rekomendasi. Saya segera mengumpulkan seluruh pengurus Cabang IGI yang berasal dari Jateng yang jumlahnya sebanyak 18 orang. Segera saya membagi kawan-kawan "guru ajaib" yang dengan rela hati datang ke Jakarta dengan biaya sendiri ini ke dalam semua komisi sama rata. Saya sebenarnya lebih tertarik masuk ke komisi D yang lebih ringan tugasnya, tetapi apa boleh buat, permintaan Mas Imron, sekjen IGI Rembang agar saya ada di Komisi A ternyata tidak bisa ditawar lagi. Katanya saya harus masuk ke komisi itu bersama beliau karena ada hal yang sifatnya urgen. Maka jadilah saya masuk ke komisi tersebut dengan setengah hati dan penasaran kenapa saya diminta Kang Imron masuk ke sana.
Sesampai di ruang yang biasa digunakan untuk berrsidang oleh Pak M. Nuh, Mendiknas kita, tersebut saya langsung bergabung dengan teman-teman yang sudah duduk berjejer dalam formasi berhadapan secara rangkap dengan posisi meja pimpinan sidang dan tampilan layar LCD di sebelah kanan kiri kami. Bu Yane dari Sultra begitu mengetahui saya ada di komisinya langsung meminta saya untuk duduk di kursi kosong sebelah kirinya. Sementara Pak Urip sang blogger dari pedalaman Kalimantan Selatan sudah sejak tadi duduk di sebelah kanannya. Jadilah bu Yane duduk dengan beliaupit oleh dua narasumber seminar yang mengisi kegiatan di hari pertama kongres. Setelah saya say hello sana sini beberapa saat sambil membagikan kartu nama, pengarah sidang, Pak Gusti dari Kalsel, meminta kita untuk memperkenalkan diri satu persatu.
Selesai perkenalan tibalah saatnya anggota komisi memilih pimpinan sidang. Ternyata secara aklamasi kawan-kawan guru (yang juga ajaib) dari seluruh nusantara itu memilih Pak Urip dan saya untuk memimpin sidang. Saya diminta menjadi ketua dan Pak Urip menjadi sekertarisnya. Saya sungguh terkejut luar biasa menerima sambutan kawan-kawan tersebut. Betapa tidak, saya harus memimpin sidang komisi yang paling berat tanggung jawabnya di antara komisi-komisi lain. Apalagi seumur hidup saya tidak pernah ikut kongres-kongresan. Bekal berorganisasi saya hanyalah menjadi anggota remaja RT selama 15 tahun dengan pengalaman memimpin organisasi tersebut selama dua tahun yaitu tahun 1991-1993 di RT 7 RW 5 Kelurahan Bangetayu Kulon, tanah tumpah darahku yang mulia.
Terus-terang saya agak enggan menerima tugas "uangiel" (baca: sangat berat) tersebut. Tersirat dalam hati keraguan apakah kira-kira saya ini "Mampu" untuk mengegolkan amandemen terhadap "konstitusi" IGI tersebut. Mengingat pengalaman saya yang "nol puthul" atau tidak ada sama sekali di bidang ke AD/ART-an. Tetapi mau tidak mau saya harus maju ke meja pimpinan sidang. Pak Urip, Pak Gusti, dan Mas Imron sudah menunggu di tempat yang jaraknya cuma enam meteran dari tempat duduk saya namun rasanya sangat tinggi dan jauh tersebut. Namun apapun yang terjadi terjadilah, qui sierra-sierra istilahnya. Sambil berjalan pelan-pelan saya memulai memainkan otak kanan. Ada mas Imron di depan, dan ini adalah kesempatan untuk "memanfaatkan" keahlian beliau di bidang "eyel-mengeyel" atau berargumentasi, apalagi beliau sudah pernaah mengupas AD/ART tersbut di dalam Pra Kongres IGI di Surabaya. Sambil tersenyum menyambut antusiasme kawan-kawan akan "kemampuan" seorang Mampuono yang hari sebelumnya "pamer" keahlian di bidang ICT di hadapan mereka sayapun duduk manis dan berbisik ke telinga mas Imron.
Saya bisikkan kepada beliau bahwa beliaulah yang akan menjadi jagoan saya dalam mengupas pasal demi pasal dan ayat demi ayat "undang-undang Dasar"-nya IGI tersebut. Iapun setuju karena memang ia diberi tanggung jawab oleh pimpinan sidang Pleno, Pak Sururi Azis, untuk mengawal sidang Komisi A. Segera setelah semua anggota sidang komisi A hadir di ruangan kita memulai membuat kesepakatan-kesepakatan sidang. Di antaranya tidak boleh berkata kotor, tidak boleh tidur, tidak boleh terkoneksi internet, tidak boleh terlalu sering keluar masuk-ruangan terlalu sering, tidak boleh membunyikan dering telepon dan menerima telepon di dalam ruangan, pengaturan waktu, jumlah ketukan palu,dan lain-lain.
Tibalah saatnya persidangan dibuka dengan tiga kali ketukan di meja persidangan. Sidang langsung saya mulai dengan meminta audiens menyetujui untuk memperingan tugas saya sebagai ketua sidang yang hanya mengatur lalu-lintas argumen kawan-kawan dalam amademen AD/ART. Maksud hati mau memperingan tugas, namun apa daya mas Mulyo Utomo, utusan dari Demak, meminta saya untuk membacakan materi AD/ART satu demi satu. Karena menurutnya itu adalah tugas ketua sidang. Blaik! Begitu seru saya dalam hati. Saya pernah membaca AD/ART dari awal sampai akhir tiga atau empat kali tetapi untuk mengupas dan mengamandemennya? Waks! Macam mana ini, sudah jatuh tertimpa tangga pula awak ini. Malang nian nasib anak yatim piatu ini (hehe...ralat: orang yatim piatu).
Terpaksa kita gunakan jurus ikan sepat ikan gabus. Berpikir cepat, bertindak cepat, percaya diri dan fokus. Dalam hati sekali lagi saya katakan, "Okey Pak Mampu, sampeyan harus bisa karena beliaunggap bisa". Maka jadilah saya mengadopsi Beny Kabur Harman yang pura-puranya galak dalam memmimpin sidang. Dugaan bahwa sidang ini akan memakan waktu lama dan berlarut larut mulai terbukti. Betapa tidak, baru mulai mengupas alenia pertama mukadimah saja sudah banyak sekali interupsi dan argumen yang panjang lebar saling tumpang tindih yang dilantarkan oleh para peserta sidang. Saya seperti melihat sebuah euphoria kebebasan mengemukakan pendapat yang sama sekali jarang atau tidak pernah ada di dalam rapat-rapat guru maupun briefing kepala sekolah. Satu jam lebih kita saling adu kepiawaian lidah dan hanya sampai alenia pertama saja kita berputar-putar antara membiarkan penggunaan istilah konstitusi dasar atau menggantinya dengan istilah yang lebih umum yaitu UUD 1945. Belum lagi perdebatan usai datang pengumuman bahwa Pak Mendiknas mau bertemu kita di aula utama. Sidang harus diskors sementara untuk makan siang dan audiensi dengan Pak Menteri.
Setelah makan siang kita langsung masuk ke Aula utama untuk menunggu pak menteri. Kabar yang saya terima dari Mas Yasin adalah bahwa Pak menteri sudah siap menuju lift untuk masuk ke Aula utama di lantai 3. Tetapi setelah menunggu satu jam lebih ternyata Pak Menteri tidak jadi datang. Beliau dipanggil oeh presiden. Di sela-sela waktu menunggu itulah saya pelajari AD/ART secara lebih detail. Setelah ada kepastian menteri tidak bisa datang maka kembalilah kita meneruskan sidang. Kali ini sidang terpaksa dibuat agak otoriter. Usulan boleh dikemukanan tetapi hanya untuk hal-hal yang sangat prinsip dan esensial. Maka jadilah akhirnya amandeman terhadap AD/ART yang siap di plenokan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H