Mengenang usia remaja dulu, terkadang senyum simpul sendiri mengingat kenangan lewat foto dan juga beberapa memori dihati tentang hal hal yang konyol yang pernah saya jalani. Kebetulan saya melewati masa SMP dan SMA di sekolah negeri yang pada zaman itu sudah pasti dianggap punya prestige tersendiri. Â
Apalagi bila masuknya memakai standar NEM dan bukan karena kertas sakti ada kuota beberapa kursi dalam. Walaupun tetap ada juga siswa yang memilih sekolah di tempat lain walaupun nilai bagus karena alasan jarak dan biaya tambahan karena faktor jarak.
Gaya berbusana masa itu masih sangat dipengaruhi oleh majalah majalah remaja yang menampilkan gaya modis lewat baju, tas dan sepatu bermerk tertentu.Â
Aneka merek mewakili brand tertentu, iklannya wara wiri dimajalah remaja yang mewakili selera feminin, maskulin maupun unisex alias digemari semuanya. Kami secara massive jadi sekaligus tahu berapa harga tas,sepatu dan baju gaul harian teman teman yang kami pakai.Â
Kebetulan orangtua saya termasuk yang menyukai model baku, sederhana tapi awet. Bisa membayangkan kan pilihan orang tua saya? Dan kewajiban mutlak saya harus memakainya. Lagipula model baku itu termasuk katagori aman.
Beragam ekstrakurikuler yang bisa kami pilih setelah jam sekolah.Â
Nggak gaul rasanya kalo nggak ikut ekstra. Dan tentu saja ada biaya ekstra, ekstra pengeluaran bagi orang tua kami  yang harap maklum tidak saya pahami saat itu.Â
Kan memang  belum paham mencari uang. Ada rasa iri terkadang kalau ada teman yang modis trendy bisa ganti ganti gaya disetiap acara.Â
Karena hal itu termasuk modal awal diterima bergaul digrup mana saja. Cantik, ganteng juga masih dianggap biasa - biasa saja kalau belum menampilkan sesuatu yang spesial.Â
Walhasil kelompok sedang sedang saja seperti saya ini akhirnya putar otak dan harus kreatif. Bertemu teman "selevel" dan akhirnya Kreatuf berjamaah.Â
Dulu  saya ikut kelas jasa mengetik dan ketrampilan mengetik fasih standar EPM dan tidak melihat keyboard itu masih bisa saya lakukan hingga saat ini.Â