Mohon tunggu...
Annisa Nur Amala
Annisa Nur Amala Mohon Tunggu... profesional -

proud to be mommy, wife, and dentist. Keep smiling...

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Saat Terpisahnya Separuh Aku

16 Februari 2013   15:11 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:13 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1361001864688463510

Seringkali saya merasa takjub melihat orang-orang hebat diluaran sana. Saya yakin dibalik kesuksesan mereka ada orang tua luar biasa yang membesarkan dan mendidik sehingga mereka menjadi pribadi yang luar biasa. Kini, tantangan itu ada di depan mata. Ketika benih janin itu mulai terbentuk dalam rahim saya, semua bayangan-bayangan menjadi orang tua mulai terakumulasi dalam benak. Bayangan itupun kini semakin terang dalam kenyataan sejak anak kami lahir. Puteri pertama kami terlahir di hari Jumat, saat adzan subuh berkumandang, 25 Januari 2013 lalu. Ghaida Shifara Qisya, sebuah nama sekaligus sebagai doa serta pengharapan kelak ia menjadi seorang wanita dengan keanggunan dan kecantikan lahir batin serta selalu diliputi kebaikan dalam hidupnya. Qisya, begitulah ia dipanggil. Tiap hari, tiap jam, tiap menit, bahkan tiap detik saya mencuri pandang padanya, selalu mengingatkan pada ayahnya. Banyak yang berpendapat auranya melekat erat dalam diri Qisya. Ya, aura kerinduan mendalam pada sang ayah yang berada jauh di seberang lautan sana. Kuwait menjadi tempat ia berpijak. Kami harus terpisah jarak dan waktu karena alasan klasik nan mulia. Hubungan jarak jauh sebagai keluarga kecil ini sudah kami lalui sejak 9 bulan yang lalu. Suatu konsekuensi yang jauh-jauh hari sudah kami persiapkan matang-matang.

Jujur harus saya ungkapkan bahwa tak gampang melalui hari demi hari dengan kondisi ini. Satu bulan sejak hari pernikahan, kami sudah harus terpisah jarak yang bentangannya tak bisa dijangkau hanya dengan 1-2 jam perjalanan dan kocek ratusan ribu belaka. Apalagi setelah saya dinyatakan mengandung anak kami tak lama setelah kami menikah. Merasakan beban yang bertambah-tambah setiap harinya sampai 9 bulan lamanya tanpa didampingi suami tercinta semakin membuat beban itu semakin menjadi-jadi. Tak terhitung lagi berapa banyak tetesan air mata, hamparan kerinduan, dan perasaan ingin bertemu yang mendera. Namun, jujur pula harus saya ungkapkan betapa indahnya semua perasaan itu dibalut dengan keadaan mengharu-biru di tengah hubungan jarak jauh, karena ketidakmampuan raga kami untuk saling berkasih sayang ternyata semakin mengasah kemampuan batin kami untuk terus menjaga cinta dan kesetiaan, untuk menjadi mandiri dan kuat, untuk terus tawakal dan menjadi penyabar, sampai saatnya kami dipertemukan melalui momen-momen tertentu yang datangnya pun tak tentu, kadang bisa sampai sebulan dalam setahun, atau mungkin tak lebih dari dua minggu saja. Hari-hari saat pertemuan itupun selalu menjadi spesial dan tak terlupakan.

Ya, menjadi seorang istri dan kini satu lagi peran baru yang harus saya jalani sebagai ibu dengan hubungan jarak jauh dengan suami adalah tantangan tersendiri bagi saya. Tantangan yang harus saya lalui dengan penuh keyakinan akan ada masa indah bagi keluarga kami kelak. Saya yakin bahkan untuk menjadi ayah dan ibu dengan short distance pun pasti memiliki tantangan. Adalah bijak bila kita selalu positive thinking. Bekali dengan ilmu, amalkan sesuai porsinya, lingkupi dengan kesabaran, kesetiaan, dan kasih sayang, saya yakin semua akan berjalan dengan penuh kenikmatan. Nikmati setiap episode kehidupan dalam keluarga kita, apakah itu short ataupun long distance. Karena merekalah yang senantiasa mendoakan kapan pun dan dimana pun kita berada.

Kanda, dalam angin yang berhembus di malam ini, aku mengirimkan pesan

Kanda, dalam lapisan lautan terdalam ini, aku menyimpan harapan

Betapa aku ingin waktu berhenti dan memihak padaku

Tuk selamanya berada duduk di sampingmu

Merebahkan kepalaku di pundakmu

Sambil mendengarkan lantunan puisi yang kau buat untukku

Menghabiskan malam itu denganmu

Kanda, untungnya hempasan angin tidak sampai melenakkanku,

dalamnya lautan tak sampai menggelamkanku

Aku teringat akan satu janji yang kita ucap bersama

Bahwa kita saling mencintai karena Allah

Allah adalah sang pemilik jiwa dan raga kita sesungguhnya,

tak pantas untukku berandai-andai dan panjang angan-angan

Suatu saat nanti, mungkin kita akan terpisah, baik oleh jarak, waktu, atau mungkin karena maut

Kanda, aku kan ikhlaskan semuanya yang telah dan akan terjadi nanti

Aku harap kau pun begitu,,,

Kini ku berdoa, cinta kita kan terus bersemi…

kini dan nanti

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun