Mohon tunggu...
Farida Hanum
Farida Hanum Mohon Tunggu... Guru - MI. Asasul Huda Randegan

Hobby menulis dan travelling

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Menyoal Krisis Sastra Anak

16 Agustus 2024   11:59 Diperbarui: 16 Agustus 2024   12:19 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

MENYOAL KRISIS SASTRA ANAK

Oleh: Farida Hanum

            Ketika masa kecil dulu, orang tua selalu menemani kita sebelum tidur dengan dongeng cerita yang menarik, bahkan masa-masa tersebut masih berlanjut saat anak-anak kita masih balita. Pada masa itu, dongeng dan buku cerita menjadi hiburan penting bagi anak-anak. Sentuhan kasih sayang orang tua melalui keteladanan baik secara langsung maupun melalui karya sastra yang dibacakan menjelang tidur, membawa dampak besar terhadap karakter anak. 

Tradisis membacakan cerita atau bercerita secara tidak langsung memberikan kedekatan dengan orang tua serta berfungsi sebagai media pewaris nilai-nilai yang akan mengisi dan membangun kepribadian anak. Momen-momen manis tersebut bisa tercipta karena pada masa itu keberadaan televisi dan gadget masih terbatas.

            Namun, saat ini, pesatnya perkembangan teknologi digital menggeser keberadaan seni mendongeng, menyedikitkan kegemaran anak membaca buku cerita bahkan terjadi kelangkaan akan karya sastra anak. Muncul dampak yang signifikan terhadap krisis sastra anak. Anak cenderung mengalami penurunan minat membaca dan eksplorasi sastra, akibat ketertarikan pada hiburan cepat dan visual yang disajikan oleh media modern. Kelangkaan ini juga terpicu dengan kondisi generasi Z yang terlahir di era kecanggihan digital, dan bergantung kepada benda kecil yang disebut dengan gadget.        

Mendongeng, membacakan cerita saat menjelang tidur adalah bagian dari mengajarkan anak mengenal karya sastra, mengajak anak untuk bermetafora, karena sesungguhnya hidup kita dikelilingi oleh sastra. Lakoff dan Johnson (1980) dalam bukunya yang berjudul; "Metaphors We Live By" mengungkapkan bahwa "kita hidup dikelilingi sastra". Kalimat ini menyadarkan kita bahwa sesungguhnya kita hidup dikelilingi metafora. Tanpa kita sadari, disetiap aktifitas, berfikir dan berbicara tak lepas dari unsur metafora. 

Ungkapan buah hati, jatuh cinta, keras kepala, bunga bangsa dan masih banyak lagi contoh kata yang mengandung unsur metafora, yang sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Metafora sendiri merupakan bentuk majas atau gaya bahasa yang digunakan untuk menyampaikan pesan dengan cara imajinatif. Majas biasa tersemat dalam karya sastra seperti cerpen atau puisi. Itulah mengapa Lakoff dan Johnson menyebutkan bahwa metafora menguasai kehidupan manusia, baik cara berfikir, cara berbahasa maupun berbudaya.

            Sedangkan sastra sendiri berperan sebagai alat pendidikan untuk membentuk dan mengembangkan kepribadian seseorang. Jika sastra dimanfaatkan secara benar dan dilakukan dengan strategi yang benar pula, maka sastra tersebut memiliki andil yang tidak kecil dalam usaha pembentukan dan pengembangan kepribadian anak, meskipun sejatinya pembentukan dan pengembangan kepribadian anak melalui kesastraan berlangsung secara tidak langsung, sebagaimana pembelajaran etika, budi pekerti, norma agama atau yang lainnya. Sebagai salah satu bentuk karya seni, sastra tentunya memiliki tujuan dan manfaat yang akan disampaikan. 

Tarigan (1995:9-12) mengemukakan bahwa dalam sastra terdapat nilai-nilai yang bermanfaat bagi perkembangan anak. Nilai-nilai tersebut diantaranya; (1) cerita yang disuguhkan dapat memberikan kegembiaraan dan kenikmatan tersendiri bagi anak; (2) dengan sastra anak memiliki pengalaman baru; (3) dengan sastra imajinasi anak akan terbangun; (4) mengembangkan wawasan anak menjadi perilaku insani; (5) memperkenalkan kesemestaan alam bagi anak; (6) meneruskan dan menyebarkan warisan sastra dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dengan demikian, nilai sastra berpengaruh terhadap perkembangan bahasa, kognitif, kepribadian dan tentu saja perkembangan sosial. Namun sayangnya karya sastra anak mulai terkikis keberadaannya, benarkah demikian?

            Sastra anak merupakan genre sastra ditujukan untuk anak-anak dan remaja. Berbeda dengan karya sastra pada umumnya, karya sastra anak memiliki ciri khas yang mempertimbangkan karakteristik perkembangan, minat dan pemahaman anak-anak dalam berbagai rentang usia. Karya sastra anak dirancang untuk meransang imajinasi dan kreatifitas anak melalui cerita-cerita yang menarik dan fantasi yang memikat, mengandung pesan moral dan nilai positif didalamnya, cerita yang ditampilkan pada sastra anak seringkali menghadirkan cerita mengenalkan anak pada budaya, tradisi serta keberagaman masyarakat. 

Selain itu melalui karya sastra anak yang berkualitas memberikan pengalaman membaca yang berkesan dan memberikan pengaruh terhadap kemampuan anak menjadi pembaca yang kritis dan penuh imajinasi. Cerita-cerita yang dihasilkan dalam karya sastra anak dapat berupa cerita pendek, novel, puisi, dongeng dan cerita bergambar (cergam).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun