Hidup sebagai wong Jowo, dibesarkan dengan tata nilai Jowo, menikahpun dengan wong Jowo, tentu saja budaya Jowo menjadi akrab dengan keseharian saya. Semula kalau mendengar pitutur atau nasihat atau saran ala Jowo, saya nggak terlalu memperhatikan. Tapi seiring waktu, makin sadar ternyata nilai-nilai Jowo yg saya anggap kuno itu banyak yang masih relevan hingga sekarang untuk digunakan sebagai pedoman hidup. Saya tidak terlalu tahu bagaimana dg suku2 lain di Indonesia. Tapi saya rasa sama saja, semua pasti punya nilai positif yang diajarkan turun temurun. Â
Dan di antara kesekian banyak ajaran Jowo, ada beberapa yang sangat berkesan dan saya anggap penting. Ini dia, semoga bermanfaat Â
1. Jarkoni ( Iso Ujar Ora Iso Nglakoni = Hanya bisa bicara tidak bisa menjalankan )
Istilah Jarkoni biasanya disampaikan sebagai sindirian atau teguran ke orang-orang yg pintar bicara tapi dirinya sendiri tidak bisa menjalankan yg dibicarakan. Ajaran ini menekankan pada konsistensi.
Maka budaya Jawa pun sebenarnya sangat mengutamakan "konsistensi" atau keserasian antara tindakan dan perbuatan. Ditilik lebih dalam lagi ungkapan ini menanamkan nilai kejujuran.
Tidak mengherankan bahwa tokoh2 publik di Indonesia yg ketahuan tidak konsisten biasanya akan dibully oleh orang-orang. Contoh paling baru tentu saja Mario Teguh dg kasus anaknya. Dulu sebelumnya adalah menPAN Yuddy Chrisnandy yg ketahuan mudik memakai mobil dinas. Sedang sebelumnya Yuddy melarang PNS mudik memakai mobdin.
Terlepas dari bagaimana duduk masalah sebenarnya, benar atau salah, dll, yang menjadikan sasaran bully sebenarnya mungkin bukan tindakan mereka. Â Tapi lebih ke sikap tidak konsisten mereka saja. Bagaimana lagi, memang begitu konsekuensi menjadi tokoh publik. Tapi jika melihat sisi positifnya, bullying tersebut membuktikan bahwa kontrol nilai-nilai positif dari masyarakat masih ada, masih berjalan. Yg harus dikhawatirkan adalah jika ada tokoh publik yg inkonsisten dan masyarakat tidak peduli. Alarm bahaya sudah harus dinyalakan.
Akhirnya, orang menyadari betapa menjadi tokoh publik itu sangat berat, Â meski toh setara dengan segala imbalan yg didapat. Â Sebenarnya di kalangan orang biasa pun tidak bisa lepas kok dari tuntutan inkonsistensi hanya sanksi sosial yang diterima tentu tidak seberat para tokoh publik. Itulah hidup.
Maksudnya lebih kurang, dalam hidup orang sebaiknya menerima jalan hidupnya sekarang dan menjalani dengan baik. Misalnya