Mohon tunggu...
Mama Totik
Mama Totik Mohon Tunggu... Administrasi - Bincang Ringan di Ruang Imaji

Coffee - Books - Food - Movie - Music - Interior - Art - Special Parenting www.debiutilulistory.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Belajar Nilai Positif dari Pitutur “Jowo”

28 Oktober 2016   20:46 Diperbarui: 28 Oktober 2016   21:19 15778
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jarkoni Sumber : https://www.inspirasi.co

Hidup sebagai wong Jowo, dibesarkan dengan tata nilai Jowo, menikahpun dengan wong Jowo, tentu saja budaya Jowo menjadi akrab dengan keseharian saya. Semula kalau mendengar pitutur atau nasihat atau saran ala Jowo, saya nggak terlalu memperhatikan. Tapi seiring waktu, makin sadar ternyata nilai-nilai Jowo yg saya anggap kuno itu banyak yang masih relevan hingga sekarang untuk digunakan sebagai pedoman hidup. Saya tidak terlalu tahu bagaimana dg suku2 lain di Indonesia. Tapi saya rasa sama saja, semua pasti punya nilai positif yang diajarkan turun temurun.  

Dan di antara kesekian banyak ajaran Jowo, ada beberapa yang sangat berkesan dan saya anggap penting. Ini dia, semoga bermanfaat  

1. Jarkoni ( Iso Ujar Ora Iso Nglakoni = Hanya bisa bicara tidak bisa menjalankan )

Istilah Jarkoni biasanya disampaikan sebagai sindirian atau teguran ke orang-orang yg pintar bicara tapi dirinya sendiri tidak bisa menjalankan yg dibicarakan. Ajaran ini menekankan pada konsistensi.

Maka budaya Jawa pun sebenarnya sangat mengutamakan "konsistensi" atau keserasian antara tindakan dan perbuatan. Ditilik lebih dalam lagi ungkapan ini menanamkan nilai kejujuran.

Jarkoni Sumber : https://www.inspirasi.co
Jarkoni Sumber : https://www.inspirasi.co
Tentu saja ini budaya positif. Menanamkan sikap bertanggungjawab pada apa yg dikatakan, bukannya memang harus begitu ?

Tidak mengherankan bahwa tokoh2 publik di Indonesia yg ketahuan tidak konsisten biasanya akan dibully oleh orang-orang. Contoh paling baru tentu saja Mario Teguh dg kasus anaknya. Dulu sebelumnya adalah menPAN Yuddy Chrisnandy yg ketahuan mudik memakai mobil dinas. Sedang sebelumnya Yuddy melarang PNS mudik memakai mobdin.

Terlepas dari bagaimana duduk masalah sebenarnya, benar atau salah, dll, yang menjadikan sasaran bully sebenarnya mungkin bukan tindakan mereka.  Tapi lebih ke sikap tidak konsisten mereka saja. Bagaimana lagi, memang begitu konsekuensi menjadi tokoh publik. Tapi jika melihat sisi positifnya, bullying tersebut membuktikan bahwa kontrol nilai-nilai positif dari masyarakat masih ada, masih berjalan. Yg harus dikhawatirkan adalah jika ada tokoh publik yg inkonsisten dan masyarakat tidak peduli. Alarm bahaya sudah harus dinyalakan.

Akhirnya, orang menyadari betapa menjadi tokoh publik itu sangat berat,  meski toh setara dengan segala imbalan yg didapat.  Sebenarnya di kalangan orang biasa pun tidak bisa lepas kok dari tuntutan inkonsistensi hanya sanksi sosial yang diterima tentu tidak seberat para tokoh publik. Itulah hidup.

Narimo Ing Pandum Sumber : Twitter @kaospitutur
Narimo Ing Pandum Sumber : Twitter @kaospitutur
2. Narimo Ing Pandum (Menerima Dalam Pembagian)

Maksudnya lebih kurang, dalam hidup orang sebaiknya menerima jalan hidupnya sekarang dan menjalani dengan baik. Misalnya

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun