“Ceritakan aku tentang kesetiaan,” pinta Aridi kepada ayahnya. Lalu ayahnya bercerita tentang Pak Umar dan sepeda onthelnya
*
Pak Umar siap-siap mau mengajar. Terbayang hari ini ada ulangan. Soal ulangan sudah dia buat semalam. Tas sudah digantung di stang onthel.
“Sudah lah, Pak, jangan pakai sepeda butut itu.”
“Kenapa kau benci sekali sepeda tak berdosa ini?”
“Kamu tidak kasihan sama tubuhmu?”
“Dengan onthel ini, aku malah tambah sehat.”
“Aku malu melihatmu pakai sepeda itu.”
“Lha? Aku yang naik sepeda mengapa jadi kamu yang malu?”
“Tetangga sering bilang, anak kita semua pakai motor, bagus-bagus lagi. Masa bapaknya bawa sepeda onthel. Butut.”
“Jangan dengar bisik-bisik tetangga. Tidak bagus.”
Pak Umar pun jalan mengayuh sepeda onthel kesayangannya. Sudah 26 tahun dia menjadi guru SD. Selama itu pula dia mengayuh onthel untuk pergi ke sekolah. Setiap kaki kanannya mengayuh, keluar bunyi nyit dari as sepedanya. Dia sangat menikmati bunyi itu. Sebab bunyi itu selalu menyeret ingatannya ke masa lalu.
*
Di dalam kelas siswa membisu mengerjakan ulangan. Semua kepala tertunduk menekur meja. Murid paling nakal, Gusur, tampak gelisah garuk-garuk kepala. Mimin, yang semester kemarin rangking satu, bersemangat mengerjakan tugasnya. Imam sesekali melirik Pak Umar, mencari celah biar bisa buka kertas yang dia simpan di saku celana. Pak Umar berjalan pelan mundar-mandir di depan kelas. Matanya awas seperti elang, mengamati takut ada yang curang saat ulangan.
Hape Pak umar berbunyi. Telepon dari Subur anaknya yang tinggal di Bandung.
“Pak, akhirnya saya bisa beli rumah di sini.”
“Alhamdulillah..”
“Lumayan besar. Apalagi pemandangannya, indah sekali. Aroma pegunungan.”
“Iya Alhamdulillah. Bersyukurlah Subur.” Mata Pak Umar tetap mengawasi muridnya, tak lengah sedikit pun.
“Maksud saya begini, Pak. Pindah saja kesini sama ibu. Bapak sudah terlalu tua untuk mengayuh sepeda. Pikiran bapak tidak pantas lagi memikirkan anak sekolah yang bandel-bandel. Di sini saya jamin bapak nyaman. Hidup santai di hari tua.”
“Hey Subur, muridku sedang ulangan ini. Nanti saja ya?”
“Jangan dulu ditutup. Saya juga sekarang naik jabatan. Gajinya wah lebih dari lumayan. Bapak mau makan apa saja, bapak mau pergi kemana saja, terserah. Anakmu akan penuhi semua.”
“Sudahlah kau sangat menggangu. Nanti lagi ya kita terusin. Assalamu`alaikum…” telepon ditutup Pak Umar.
*
Malam hari, seperti biasa onthel di taruh di dapur samping rak piring.
“Kita beruntung punya pemilik seperti Pak Umar,” kata ban onthel.
“Dia sangat setia pada kita,” jok ontel menimpali.
“Meski diledek istrinya tiap hari, dia tidak peduli,” ini suara rantai.
“Sebenarnya aku hampir bocor, tapi aku tahan, aku tidak mau diganti, takut berpisah dengan Pak Umar,” ujar ban lagi.
“Kulit aku pun robek dikit, ah semoga tidak sampai besar robeknya,” jok tidak mau kalah.
“Aku baru di onthel ini, tapi mendengar cerita dari kalian, aku jadi takut putus,” rantai ikut-ikutan.
Sinar bulan mulai menghilang, disambut suara ayam yang membelah pagi.
*
“Besok ceritakan lagi aku tentang kesetiaan,” pinta aridi di akhir cerita
“Masa tentang kesetiaan terus?”
“Aku ingin seperti Pak Umar. Aku mau jadi guru.”
*
SELAMAT HARI GURU
25 November 2010
gambar dari gugel
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H