Saya rasa mustahil. Mana mungkin Ahok lakukan penistaan agama (Islam) padahal dirinya sendiri gemar bersedekah (beramal) demi umat Islam? Ngawur apa?
Memang, frasa “penistaan agama” seolah akan terus identik dan melekat kuat pada diri Gubernur (non-aktif) DKI Jakarta ini. Fakta itu tetap akan abadi selama masih ada orang-orang yang tak mau menerima kenyataan bahwa Ahok tidaklah melakukan perbuatan tercela tersebut.
Biar bagaimana pun, bersikap adil dalam memandang Ahok adalah sikap yang patut untuk terus kita kedepankan. Sekali pun sikap mulia semacam ini akan sangat sulit dilakukan oleh orang yang sejak dari pikirannya saja sudah tidak adil. Bahwa yang membenci Ahok tetap akan memandangnya sebagai “sang penista” meski tindakan tercela itu sama sekali tidak dilakukan oleh Ahok sendiri.
Ya, sudah banyak pihak yang memberi klarifikasi bahwa Ahok tidaklah menistakan agama (Islam). Sang ahli tafsir ternama pun, seperti Quraish Shihab, telah memberi penerangan bahwa al-Maidah 51 yang disinggung Ahok dalam pidatonya di Pulau Seribu 27 September 2016 lalu, adalah ayat yang sudah terkonstruk atas pesanan penguasa atau kaum mayoriras demi kepentingan politik.
Hal ini senada dengan apa yang juga diungkap oleh Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, Nasaruddin Umar. Menurutnya, pernyataan Ahok bukanlah pernyataan bernada penistaan. Dari rangkaian kata-katanya saja bisa kita lihat: jangan mau dibohongi pakai al-Maidah 51. Jelas, bukan, bahwa Ahok justru berupaya membersihkan ayat suci Tuhan dari orang-orang yang gemar memberlakukannya dalam konteks kepentingan politik? Bahwa Ahok ingin melepas jerat itu dari upaya penyalahgunaan (politisasi agama) yang kerap orang (politisi) lakukan hanya demi meraup dan mempengaruhi pilihan serta sikap politik orang lain.
Lantas, salahkah jika Ahok menyeru kepada semua, terutama kepada para politisi yang apolitis, untuk tidak menggunakan ayat suci Tuhan dalam kegiatan politik? Wahai ummatku, kalian lebih tahu tentang urusan duniamu sendiri. Begitulah teks hadits nabi yang mempertegas bahwa politik (urusan duniawi) adalah murni urusan manusia. Tak usahlah bawa-bawa Tuhan melalui ayat-ayat firman-Nya.
Sayang, seolah nasi telah menjadi bubur. Hanya karena hasil rekayasa, Ahok dipaksa untuk menerima statusnya sebagai “tersangka” penistaan agama. Ya, apa pun itu, selama ia lahir dari proses hukum yang sehat, semua harus kita terima. Sebagaimana Ahok menghimbau kepada pendukung dan simpatisannya, proses hukum harus kita jalani. Yang salah adalah ketika kita tidak mau mengawal proses tersebut ke arah yang adil dan transparan.
Meski kasus Ahok sudah terjerumus ke ranah hukum, meski sebabnya lebih bersumber dari dorongan dan tekanan kekuatan massa, menurut Ismail Hasani, bukan hal mustahil juga bahwa Ahok bisa diloloskan. Direktur Riset Setara Institute ini meyakini bahwa jika politisi objektif dan independen dalam menangani kasus yang “mengada-ada” ini, semua akan berjalan lancar, dan akan kembali sedia kala, apa adanya.
Karena bagi Hasani, apa yang diucapkan oleh Ahok, sama sekali tidak memenuhi unsur pidana yang terdapat dalam norma hukum yang mengatur tentang penistaan agama dalam Pasal 156a KUHP dan Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (Penpres No. 1/1965).
Ya, hampir semua pihak telah melontarkan bahwa tidak ada “niat jahat” dari Ahok untuk melakukan penistaan agama. Hal ini (niat atau mens rea) jelas menjadi salah satu yang terpenting guna memastikan apakah seseorang telah melakukan tindak pidana atau tidak. Ahok sendiri pun sudah memberi klarifikasi terkait itu. Dirinya justru telah meminta maaf jika memang perkataannya menyakiti perasaan umat Islam.
Secara gamblang, Aliansa Masyarakat Sipil untuk Konstitusi (AMSIK) juga telah mengutarakan hal serupa. Sebagaimana diungkap oleh Dr. Neng Dara Affiah, Pengasuh Pondok Pesantren Annizhomiyyah Banten yang tergabung dalam AMSIK, bahwa Ahok tidaklah menistakan agama (Islam). Justru dirinya (Ahok) telah menjadi korban kriminalisasi dengan tuduhan penodaan agama—pasal 156a termasuk “pasal karet” yang bisa ditarik-tarik buat menjerat sesuai kepentingan penguasa dan pihak yang mengakui mayoritas.