Mohon tunggu...
Maman Suratman
Maman Suratman Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa Filsafat UIN Yogyakarta. Website: mamansuratmanahmad.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Meneguhkan Kembali Kebebasan Pers di Dunia Kampus

9 Mei 2014   06:33 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:42 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia


Hanya ada dua hal yang menerangi segala sesuatu di muka bumi:

matahari di langit dan pers di bumi.

--Mark Twain, penulis--

Dimuat di Slilit Arena, Edisi April 2014

Saban hari kita sudah mengenal apa itu “kebebasan pers”. Di Indonesia, istilah ini mulai mengemuka di saat pemerintahan sedang dilanda krisis. Kontrol atas pemerintah masih begitu sedikit saat itu, bahkan tidak ada sama sekali. Baru pada runtuhnya rezim Orde Baru, kebebasan pers cenderung semakin luas. Beragam media massa (pers), baik nasional ataupun lokal, berbondong-bondong mengembangkan sayapnya. Saling bersaing dalam hal mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, serta menyampaikan informasi sebagai konsumsi publik.

Di samping sebagai lembaga ekonomi yang dituntut berorientasi komersil guna mendapat keuntungan finansial, pers juga bertanggungjawab sebagai lembaga sosial kemasyarakatan di mana peran utamanya adalah ikut mencerdaskan kehidupan berbangsa. Peran dan tanggungjawab sosial itulah yang sampai detik ini tidak boleh ditawar-tawar lagi sebagai landasan utamanya.

Sebagai salah satu hak sekaligus kewajiban dari masing-masing warga Negara, kebebasan pers perlu untuk terus terjamin, terutama dalam hal praksisnya di lapangan. Meski Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (Pasal 4) sudah mempertegas penjaminan tersebut, yakni kebebasan pers sebagai hak asasi warga Negara; tidak diperkenankan adanya penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran; mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi; serta wartawan mempunyai Hak Tolak, pada realitasnya masih ada saja yang bertentangan. Hal ini tentu saja bermakna bahwa kebebasan pers belum sepenuhnya teranulir sebagaimana seharusnya.

Mengambil contoh di lingkungan kampus, tak jarang para jurnalis Pers Mahasiswa (Persma) menemui kendala ketika hendak “membongkar” suatu realitas lingkungan kampus di mana ia berada, terutama tentang kebobrokan pelayanan dari civitas akademiknya.

Di lingkungan kampus Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, persoalan semacam itu juga terjadi hari ini. Teman-teman Persma yang ingin mengangkat isu soal sikap “acuh tak acuh” – sikap ini dinilai dari maraknya asisten dosen (asdos) yang mengampu mata kuliah tertentu – dari beberapa dosen pengampu mata kuliah dalam proses perkuliahan, sampai tulisan ini dipublikasikan, soal itu belum terealisasi bahkan jauh dari apa yang diharapkan. Selain karena perdebatannya masih hanya berada di kalangan mahasiswa sehingga akurasi datanya masih mengawang-ngawang, informasi langsung dari dosen bersangkutan pun sangat sulit didapatkan, terutama soal alasan penggunaan asdos-asdos. Salah satu faktornya adalah karena dosen bersangkutan tidak mau ditemui apalagi dimintai tanggapan mengenai persoalan yang melibatkan dirinya tersebut secara individu.

Sepintas lalu, asisten ahli bukan menjadi masalah ataupun penghambat dalam proses perkuliahan. Bahkan, jika mereka sekalipun yang harus mengemban semua mata kuliah dari awal semester hingga akhir, tentu tidak akan pernah menjadi masalah di kalangan mahasiswa. Memang, sebagian mahasiswa menganggap bahwa perkuliahan itu hanya proses formal yang hubungannya secara langsung kepada kelanjutan studi atau ke dunia kerja. Mereka cenderung berpendapat bahwa pengetahuan sesungguhnya hanya bisa didapat di luar lingkungan kampus, sedang kampus hanyalah jembatan yang sifatnya sementara. Karenanya, mau diajar dosen atau asdosnya, menguasai atau tidak materi perkuliahan, bukan jadi soal. Yang terpenting bagi mereka adalah –  maaf jika sedikit menyebutnya pragmatis – ijazahnya.

Akan tetapi, sebagian besar mahasiswa lainnya juga perlu kita perhatikan. Bahwa ada mahasiswa yang merasa dirugikan dan “dibohongi” dengan hadirnya pengajar-pengajar dadakan seperti asdos ini. Mahasiswa yang tadinya bersemangat mengikuti mata kuliah karena menganggap dosennya mumpuni di bidang itu, misalnya karena sudah bergelar doktor atau professor di bidangnya, pada akhirnya patah (semangat) hanya karena persoalan pengajar atau dosen yang mereka anggap masih setara dengan mereka (pengajar dengan yang diajar sama-sama masih berstatus mahasiswa). Alhasil, mahasiswa pun ikut-ikutan acuh tak acuh dalam proses perkuliahan tersebut.

Dari realiatas yang demikian ini, timbul pertanyaan besar. Maraknya asisten ahli yang mengemban proses perkuliahan, bukankah ini pertanda bahwa dosen pengampu yang bersangkutan tidak memiliki komitmen luhur sebagai tulang punggung bangsa kita? Bagaimana mungkin bangsa ini akan tercerdaskan jika para pengajarnya saja tidak mampu atau bahkan tidak memiliki niat dan keinginan untuk berkecimpung dalam aktifitas pencerdasan tersebut?

Persoalan dosen dari kalangan mahasiswa (asdos) ini mungkin saja terbilang sederhana. Akan tetapi, biar bagaimanapun sederhananya, tentu tak bisa dianggap sepele, apalagi persoalan itu sudah menyangkut atau melanggar hak dan kewajiban dari masing-masing pihak yang bersangkutan. Dosen yang memiliki kewajiban sebagai pengajar tidak boleh acuh tak acuh pada kewajibannya, dan mahasiswa yang menggenggam hak sebagai pelajar tentu harus mendapatkan pendidikan sebagaimana selayaknya sebagai pelajar sekaligus warga Negara.

Bagi para jurnalis Persma, realitas yang demikian ini menjadi masalah yang urgent di mana penyelesaiannya mau tidak mau harus melibat-sertakan dosen-dosen bersangkutan. Sudah terlalu lama wacana seputar ini hanya mengalir di kalangan mahasiswa. Lagi-lagi, ini menjadi kendala terbesar bagi mereka. Seperti sudah disebutkan di awal tadi bahwa dosen-dosen bersangkutan, jangankan hendak berbagi informasi mengenai soal ini, melihat batang hidung para jurnalis Persma saja, bagi mereka (dosen-dosen), sudah seperti melihat hantu, hingga harus bergegas berlari sampai terbirit-birit. Aneh, bukan?

***

Ada baiknya untuk kita kembali mengingat bahwa fungsi pers tidak lain sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan yang utama adalah kontrol sosial (Pasal 3 Ayat 1 UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers). Keempat fungsi ini jelas memaktub beberapa manfaat di dalamnya. Sebagaimana pernah dinyatakan Amartya Sen (TEMPO : 2004) bahwa melalui pers kita dapat berkomunikasi dan lebih memahami dunia secara lebih leluasa, menyuarakan aspirasi kalangan yang termarginalkan, dan ikut serta menyebarluaskan pengetahuan.

Jadi, ketika ada pihak yang tidak mau berbagi informasi hanya karena soal itu menyangkut aibnya secara pribadi, ini jelas harus kita maklumi bersama. Akan tetapi, jika soalnya seperti yang terjadi di lingkungan kampus, di mana itu melibatkan dosen sebagai orang yang memiliki kewajiban dan tanggungjawab sosial yang besar, jelas tidak boleh ada konpensasi atasnya.

Persoalan hak dan kebenaran adalah persoalan yang berbeda ranahnya. Tidak boleh dicampuradukkan. Maka dari itu, kebebasan pers harus dan sewajibnya untuk kita teguhkan kembali. Paling tidak, itu berawal dari dunia kampus, dunia mahasiswa, dunianya para penerus cita-cita bangsa. Karena darinya, kebenaran bisa terungkap, bagaimanapun pahitnya. Bahwa konsekuensi jangan pernah dijadikan hambatan walau sedikitpun.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun