Mohon tunggu...
Maman Suratman
Maman Suratman Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa Filsafat UIN Yogyakarta. Website: mamansuratmanahmad.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pendidikan, Peradaban dan Revolusi Mental

21 Januari 2015   09:56 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:41 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Kedaulatan Rakyat, 18 November 2014

Tiada bangsa yang berperadaban tanpa mengutamakan pendidikan. Semakin terdidik suatu bangsa, semakin berperadabanlah bangsa itu. Bahwa bangsa yang beradab adalah bangsa yang terdidik.

Berkaca pada cita-cita kemerdekaan, sudah seharusnya jika pendidikan menempati posisi sentral di atas segala kebijakan Negara. Hal ini lebih sebagai konsekuensi logis. Mengembannya adalah keharusan, sebagai kewajiban semua warga Negara tanpa kecuali.

Sebagai bahan refleksi, bangsa ini tak boleh lupa akan sistem pendidikan di era SBY-Boediono yang silam. Di era itu, sistem pendidikannya tak lebih sekedar praktek politik etis di jaman Kolonial. Pendidikan sama sekali tak pernah diarahkan kepada penciptaan insan-insan akademis, pencipta dan pengabdi bagi nusa dan bangsanya. Jikalaupun lahir beragam macam tenaga terdidik, mereka tidak pernah dapat mengelolah dan meningkatkan sendiri surplus value dari kekayaan alam yang dimiliki bangsanya. Sebabnya? Pendidikan diselewengkan hanya untuk kebutuhan pasar tenaga kerja. Para pelayan jasa sengaja dilahirkan guna kepentingan modal-modal internasional. Semua semata-mata untuk mengeruk kekayaan alam bangsa ini.

Banyak data yang menunjukkan bahwa preferensi pekerjaan yang diisi oleh lulusan perguruan tinggi justru minim di bidang industri pengelolaan. Tak heran ketika industri nasional mengalami kehancuran, sistem pendidikannya justru menciptakan barisan pengangguran. Ironis bahkan, karena kesemuanya terdiri dari golongan orang-orang terdidik.

Pertanyaanya, mengapa hal itu bisa terjadi? Pertama, sebagian besar lulusan perguruan tinggi hanya bermental pencari kerja (job-seeker), bukan pencipta kerja (job-creator). Kedua, tiada lain karena efek dari sistem perguruan tinggi yang berpijak pada kebijakan neoliberal: kepentingan pasar. Acapkali perguruan tinggi cenderung mendorong para mahasiswa untuk cepat lulus dengan IPK cumlaude. Parahnya, percepatan itu tidak didasari dengan pemberian kompetensi serta keterampilan sebelum keluar sebagai “lulusan terbaik”. Belum lagi, selain masalah kualitas para lulusan, lapangan kerja begitu minim. Yang terjadi, pengangguran terdidik merajalela di segala penjuru angin.

Pasca pelantikan Jokowi-JK sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI Periode 2014 – 2019, harapan akan perubahan pendidikan di negeri ini semakin dekat. Melalui “revolusi mental” yang dicanangkan di setiap kebijakan-kebijakannya, tidak hanya patut untuk kita dukung dan apresiasi, tetapi wajib berpartisipasi dalam perealisasiannya. Tanpa peran semua rakyat Indonesia, “revolusi mental” hanya akan eksis sebagai simbol tanpa makna.

Merujuk pidato Karlina Supelli (2014) dalam Mengartikan Kembali Revolusi Mental, kebijakan pemerintahan Jokowi-JK hari ini hendak membangun basis kekuatan rill sejak dini. Melalui lembaga-lembaga pendidikan di tanah air, “revolusi mental” berusaha diarahkan sebagai visi utamanya. Tujuannya adalah mencetak generasi bangsa yang paham akan sifat dan karakternya sebagai warga Negara Indonesia. Dan untuk itu, selain pendidikan kewarganeraan yang diutamakan, pendidikan karakter pun menempati posisi yang sama, di samping pendidikan budi pekerti.

Karena itu, berbeda dengan era SBY-Budiono yang berusaha mengembalikan rakyat Indonesia pada kondisi kolonial, di era ini, kita patut menyambut gembira visi “revolusi mental”. Secara esensi, visi ini tidak akan lagi melanggengkan kekuasan. Kolonialisme tidak akan lagi mengabadikan keterbelakangan, kebodohan dan mentalitas inlander suatu bangsa.

Meski demikian, bangsa ini pun mesti tetap waspada. Bahwa terkadang, kebijakan yang kita rasakan sebagai bagian dari aspirasi kita, lebih sangat mungkin diselewengkan ketimbang yang secara terang-terangan menghujam. Dan untuk itu, bangsa ini tetap butuh pemuda-pemudi pemuda-pemudi cerdas dan progresif, yang sanggup membawa “obor” untuk kemajuan bangsanya, semata-mata menghendaki sebuah peradaban yang lebih baik dari sebelumnya. Mereka diharapkan mampu menjadi pengawas serta pengawal setiap kebijakan-kebijakan Negara untuk warga Negaranya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun