Mohon tunggu...
Maman Suratman
Maman Suratman Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa Filsafat UIN Yogyakarta. Website: mamansuratmanahmad.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tentang Pengorganisiran Masyarakat

21 Januari 2015   10:03 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:42 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

LPM Arena, Edisi November 2014

Dalam gerakan sosial, pengorganisiran masyarakat menjadi topik sentral dari perjuangannya. Perjuangan tanpa pengorganisiran hanya akan mengaburkan tujuan gerakan. Bahwa tujuan hanya dapat diraih melalui pengorganisiran yang baik lagi tepat.

Secara istilah, pengorganisiran jelas melahirkan beragam maksud yang berbeda-beda. Apa itu pengorganisiran? Bagaimana ia dijalankan? Mengapa ia harus ditempuh? Pertanyaan-pertanyaan mendasar semacam ini mesti kita tuntaskan setuntas-tuntasnya.

Tak bisa dipungkiri, sebuah pengorganisiran kerap dianggap sebagai kerja-kerja organisatoris, membuat sebuah organisasi yang tadinya tidak baik dan tidak berjalan menjadi baik dan bisa berjalan secara disiplin. Ada juga yang melihat bahwa pengorganisiran adalah memberi kursus-kursus politik kepada rakyat, dan setelah itu pergi meninggalkannya, sebagaimana yang dilakukan LSM-LSM. Sebagian yang lain juga menganggap bahwa pengorganisiran adalah bagaimana mengajak rakyat untuk turun ke jalan-jalan, melakukan aksi demonstrasi guna menuntut keadilan sosial.

Di Indonesia, sejak kemunculannya pertama kali di akhir tahun 70-an, pengorganisiran masyarakat (massa rakyat) muncul sebagai sikap atas kondisi ekonomi, sosial, politik serta budaya yang “adem-ayem”. Sebelumnya, massa rakyat tak punya kesadaran kritis atas situasi dan kondisi yang melilitnya. Tahunya mereka hanya mengikut pada “kemapanan sistem” yang ada. Atas kondisi inilah, muncul sebuah gerakan yang berusaha mendobrak hal tersebut. Mereka terus mencari jawaban dengan mengabdikan diri pada korban-korban kebijakan sistem yang ada. Mereka terinspirasi dari gerakan-gerakan yang dibangun para organisator sebelumnya, Gandhi, Marx, Friere, dan lain sebagainya. Mereka memberontak hingga melahirkan beragam metodologi dalam pengorganisiran masyarakat.

Mula-mula, pengorganisiran dapat dipahami sebagai kerja-kerja politik. Ini dibutuhkan guna memberi kesadaran politik kepada massa rakyat terkait persoalan apa yang mereka hadapi dalam realitas kehidupannya. Ketika hal ini tercapai, menyadari apa yang yang mereka hadapi di lingkungannya, maka pengorganisiran berlanjut pada pemberian kesadaran terkait penyebab utama sehingga persoalan itu ada dan mereka hadapi. Sebut misalnya persoalan kemiskinan. Persoalan semacam ini masih jamak dipandang sebagai persoalan yang disebabkan oleh takdir tuhan, atau nasib. Padahal sebenarnya lebih kepada tata kelola sumber-sumber penghidupan massa rakyat itu sendiri, yang kita tahu pengelolaannya berada pada sistem kerja kapitalis yang ditopang oleh kekuasaan (Negara).

Melalui pemaknaan sederhana di atas, dapat disebutkan bahwa kerja-kerja pengorganisiran tidak lebih sebagai kerja-kerja penyadaran. Bahwa massa rakyat hari ini dibuat “tak sadar” atas keadaannya. Dan tugas seorang “organiser”-lah yang berkewajiban membuat mereka menjadi ingat kembali dan sadar akan keadaan-keadaan yang melilitnya.

Bagaimana Harus Melakukan?

Dalam melakukan kerja-kerja pengorganisiran, setidaknya ada 6 (enam) tahap yang harus dilalui seorang organiser. Pertama, integrasi (penyatuan). Langkah ini adalah yang utama. Seorang organiser perlu menyatu (melebur) dengan massa rakyat yang mengalami persoalan sosial. Ini perlu guna mengetahui realitas kehidupan massa rakyat, seperti budaya, ekonomi, pemimpin, sejarah, irama, dan gaya kehidupan di dalamnya.

Guna terciptanya integrasi yang baik, seorang organiser setidaknya butuh waktu minimal 6 (enam) bulan. Seorang organiser mesti benar-benar mengetahui kehidupan masyarakat dari beragam aspek. Hal ini memberi jaminan bahwa keprihatinan seseorang untuk mengubah tatanan masyarakat sesuai dengan apa yang dibutuhkan dan diingini oleh masyarakat itu sendiri. Tidak boleh menurut contoh-contoh teoritis atau ideologi, apalagi agama. Jika seorang organiser tidak demikian, omong-kosong bicara tentang perubahan.

Kedua, penyelidikan sosial. Tahap ini adalah proses yang sistematis dalam mencari masalah-masalah masyarakat yang diorganisir. Seorang organiser mesti mencari pangkal persoalan masyarakat, tentang apa yang dirasakannya, untuk dikembangkan sehingga mereka mau bertindak. Persoalan-persoalan itupun harus konkrit, menyangkut masalah yang objektif (yang tak pelak lagi untuk masyarakat setempat maupun pendatang), misalnya soal air dan kakus.

Ketiga, landasan kerja. Tahap ini lebih merupakan tahap stimulus, biasanya menggunakan selebaran yang berisi tentang propaganda-propaganda, kerap disebut sebagai agitasi. Tahap ketiga ini berusaha memberi penjelasan tentang akar permasalahan yang masyarakat hadapi, sekaligus berisi ajakan untuk terlibat dalam penyelesaiannya.

Akan tetapi, perlu dipahami bahwa dalam tahap agitasi ini, mesti menggunakan pokok-pokok yang akrab dengan budaya dan kepercayaan masyarakat setempat. Meski demikian, seorang organiser tidak boleh juga menggunakan budaya dan kepercayaan yang mereka sendiri tidak yakini. Hematnya, perlu ada kesesuaian antara apa yang diyakini seorang organiser dengan masyarakat yang diorganisir.

Keempat, rapat dan diskusi. Pada tahap ini, terjadi sebuah pengesahan secara bersama-sama tentang apa yang sudah diputuskan sendiri secara perseorangan. Bahwa pertemuan memberi rasa kekuataan dan kepercayaan bersama-sama. Ini menunjukkan bahwa mereka (masyarakat) tidak berjuang sendirian.

Kelima, bermain peran. Tahap ini lebih kepada simulasi aksi. Ini dibutuhka guna melatih masyarakat untuk bersiap-siap menghadapi apa yang bakal terjadi. Hematnya, bermain peran memungkinkan terciptanya suasana perlawanan yang rakyat harus biasakan dan rasakan.

Keenam, laporan dan catatan harian. Yang paling penting dari kerja-kerja pengorganisiran adalah membuat laporan dan catatan harian. Laporan dimaksudkan untuk memudahkan seorang organiser dalam melihat situasi secara keseluruhan, tentu untuk merumuskan strategi-taktik berikutnya. Adapun catatan harian, diperuntukkan guna membaca perkembangan masyarakat yang diorganiser. Kedua hal ini sangat penting, meski kerap disepelekan kebanyakan organiser.

***

Gerakan yang kuat adalah gerakan yang di dalamnya bernaung kader-kader militan serta memiliki kesadaran kritis atas kondisi sosial di sekelilingnya. Mereka senantiasa harus menciptakan inovasi-inovasi yang tidak hanya baru, organiser yang kreatif, tetapi juga mampu melahirkan kondisi yang benar-benar layak. Tanpa itu semua, sebuah gerakan mustahil dapat bertahan serta menjawab persoalan-persoalan ada di jamannya. Belajar dan berjuang, ini yang harus jadi agenda utamanya.

*Tulisan ini adalah hasil ulasan diskusi “Sekolah Demonstran” (23/10) mahasiswa UIN Yogyakarta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun