Sejak 2007, saya dan keluarga tinggal di Condet. Tepatnya di kelurahan Balekambang. Sebuah kelurahan yang ada di wilayah kecamatan Kramat Jati Jakarta Timur. Tempat ini sekitar 7 km dari terminal Kampung Rambutan yang bisa ditempuh 20 menit perjalanan dengan kendaraan umum atau sekitar 5 km dari Pusat Grosir Cililitan (PGC).
Pada 1974, Gubernur DKI Jakarta ke-7 periode 1966-1977, Ali Sadikin, menjadikan Condet sebagai kawasan cagar budaya Betawi, dengan Surat Keputusan (SK) Gubernur No. D. IV-1511/e/3/74 tanggal 30 April 1974. Dengan alasan untuk mempertahankan aset budidaya pertanian di Jakarta Timur dan juga budaya masyarakat setempat yang juga merupakan budaya yang berciri khas kehidupan masyarakat Betawi. (Windarsih, 2013)
Konon sekitar 10 tahun yang lalu, Condet adalah daerah yang dingin dan sejuk.Banyak pepohonan yang tumbuh di daerah ini. “Dulu sepanjang jalan Condet itu rindang karena banyak pohon di pinggir jalan”tutur Ahmad Fauzi (38), yang mengaku lahir di Condet.
Tidak hanya buah-buahan, binatang pun banyak yang hidup di daerah Condet. Dari berbagai macam burung sampai monyet. “Dulu orang Condet banyak yang berkerumun disekitar kali Ciliwung melihat monyet bermain air” cerita Urip (38) pria kelahiran Brebes yang sudah tinggal di Condet sekitar 20 tahun. Cerita tentang monyet masih terbawa sampai sekarang karena di Condet Batu Ampar ada satu tempat yang dinamakan “kandang monyet”.
Kini cerita Condet sudah berbeda. Pohon salak, pohon dukuh hanya tertinggal satu dua pohon yang jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Binatang seperti monyet sudah tidak ada lagi.
Beruntung, saat ini jika pagi datang, saya masih menikmati indahnya suara burung yang berkicau dari alam bebas. Mereka akan tetap ada selama pohon-pohon besar masih menancap. Entah bertahan berapa tahun lagi. Sebagai gantinya gedung-gedung tingkat mulai mengisi tanah-tanah yang dulunya ditanami pohon salak, pohon dukuh, pohon melinjo dan pohon pohon lainnya.
Tidak hanya fisiknya yang berubah. Condet, dari sisi sosial budayanya pun mengalami perubahan. Penduduknya mulai beragam. Tidak hanya suku betawi dan arab tapi sudah masuk jawa, sunda, batak dan bahkan etnis Tionghoa. Sayangnya, ruang-ruang berkumpul warga tempat ngobrol, berbagi informasi untuk saling mengenal sudah semakin langka. Tinggal acara-acara keagamaan yang masih bertahan. Seperti acara tahlilan, acara aqikahan yang itu biasanya hanya bagi kelompok yang homogen, kaum nahdhiyin. Sementara forum-forum atau ruang-ruang yang melibatkan semua kelompok dan etnis tidak tersedia. Acara agustusan yang setahun sekali itu, sebenarnya mempunyai potensi untuk mempertemukan itu, tetapi biasanya tidak terjadi.
Adanya “ruang publik” atau “public sphere” meminjam istilah Jurgen Habermas (Sosiolog dan Filosof Jerman) semakin memdesak. Apalagi ditambah dengan semakin derasnya paham radikal dan aliran keagamaan yang merasa benar sendiri dan kekerasan seringkali dilakukan terhadap kelompok yang berbeda. “Ruang Publik” tidak hanya tempat bertemu untuk saling kenal, berbagi informasi. Lebih dari itu, sebagai ruang diskusi bertukar pandangan tentang berbagai hal: seni, agama, ekonomi, sosial budaya bahkan politik.
Langkanya “ruang publik” ini saya kira bukan hanya khas tempat saya di Jakarta tetapi dirasakan juga orang yang ada di kota-kota besar lainnya . Dimana kehidupan warganya mulai sendiri-sendiri, tertutup dan kurang peduli dengan kehidupan orang lain. Dengan kondisi ini, kebutuhan akan ruang yang bisa memberikan banyak orang untuk mengekspesikin diri, mengkomunikasikan ide, gagasannya dan saling kenal serta peduli satu dengan lainnya sangat mendesak kehadirannya.
Kehadiran Kompasiana sebagai media yang memberikan kesempatan setiap “warganya” untuk “sharing and connecting” telah memberikan alternatif jawaban atas kelangkaan “ruang publik” yang digambarkan Habermas tersebut.
Di ulang tahunnya yang ke-8 (berdiri tahun 2008), Kompasiana melakukan perubahan penting pada slogannya. Sebelumnya, slogan yang diusung adalah “Sharing & Connecting” telah menginspirasi banyak orang dari berbagai kalangan untuk bergabung dengan “blog berjama’ah” ini dan rela berbagi informasi, gagasan, opini dan karya seni tanpa dibayar sepeser pun. Bahkan, blog di bawah naungan Kompas Gramedia Group ini mampu melahirkan puluhan komunitas diantaranya Amboina, Bolang, Desa Rangkat, Fiksiana Community, Kampusiana, KBandung, KKA dan lainnya. Kompasiana juga berhasil meraih sejumlah penghargaan bergengsi diantaranya media sosial terbaik di Asia dengan meraih penghargaan Asian Digital Media Awards (ADMA) 2010.