Mohon tunggu...
Maman A Rahman
Maman A Rahman Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis tinggal di Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Nasehat Sang Mursyid Pembuat Arang

14 April 2015   09:10 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:08 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Minggu 12 April 2015 di tengah hari yang panas. Seorang laki-laki dengan mata bengkak, keriput wajah, bungkuk tubuhnya dan kaki kotornya mendatangi masjid al-Muwahiddin di kampung Pawelutan, sebuah kampung yang berada di desa Citra Jaya Kecamatan Binong Kabupaten Subang Jawa Barat atau sekitar 25 kilometer dari Pamanukan.

“Habis ngurus urusan dunya” katanya sambil membuka bajunya  bersiap membersihkan diri sebelum menjalankan shalat dzuhur. Sebelum bersih-bersih, ia duduk sambil menghilangkan penat.   Ia bercerita habis membuat arang dari kayu wrengas, kayu yang dikenal keras getahnya. Kayu itu ia dapatkan dari pinggir kali yang kebetulan habis ada proyek pembersihan kali. Ia manfa’atkan pohon-pohon yang ada di pinggir kali yang ditebang itu untuk membuat arang. Meskipun matanya harus bengkak karena kena getah kayu tersebut, tapi ia merasa senang dapat menghasilkan uang dari penjualan arang karyanya ke tukang pembuat opak ketan di kampung tersebut. Kampung tersebut memang dikenal dengan pengrajin opaknya selain terkenal juga dengan penghasil beras ketannya  dengan sebutan “ketan citra” yang diambil dari nama desa tersebut, yaitu Citra Jaya.  Konon saking terkelanya ketan citra, orang di pasar induk beras tidak asing lagi dengan nama tersebut.

Aku tidak sendiri di masjid itu.  Seorang Bapak berumur sekitar 70 tahun (ayah mertuaku) dan anak laki-laki kelas enam Sekolah Dasar bersamaku untuk menjalankan shalat dzuhur bersama. Usai shalat kami bersiap pulang, kami terlibat pembicaraan santai dengan laki-laki dengan mata bengkak itu.  Lebih tepatnya dua laki-laki senja usia itu berbincang ringan, seakan sedang bertemu teman yang sudah lama tak bersua. Sedangkan aku disampingnya yang sesekali memperjelas kata-kata lelaki bermata bengkak tersebut karena dengan menggunakan bahasa jawa. Sementara dua orang yang bersamaku biasa dengan bahasa sunda.

Laki-laki bermata bengkak itu bercerita bahwa waktu ia berusia sekitar 12 tahun ia diajak bapaknya ke Gunung Jati Cirebon untuk berziarah. Orang tuanya membawa uang satu tas yang habis dibagikan kepada orang-orang yang memintanya di Gunung Jati. Sampai-sampai ia kehabisan uang untuk kembali ke kempung halamannya di Subang. Akhirnya ia bisa kembali ke rumahnya dengan menaiki mobil pengangkut kapur dan mendapat bantuan dari sodaranya di Indaramayu.

Ia menyebut namanya dengan Mursyid. Ia memaknai namanya dengan seumur-umur (selamanya) di masjid.  Dulunya ia bernama Warsid. Yang ia maknainya dengan liwar ke masjid (jarang ke masjid) maka kemudian namanya diganti dengan Mursyid.

Salah satu yang masih tetap teringat dari perjalanan waktu kecilnya itu adalah bahwa ia harus menjalankan shalat. “manusia itu dikasih ambekan (nafas) sama Allah ya bayarnya itu dengan shalat bukan dengan duit atau lainnnya” katanya dibarengi dengan tertawa memperlihatakan giginya yang tinggal beberapa biji.

Sejak beberapa tahun belakangan ini, ia memang tinggal di masjid al-Muhawiddin di Kampung halamannya tersebut. Ia terkadang mengumandangkan adzan dengan lafal sebisanya. Sewaktu aku pulang kampung beberapa tahun yang lalu tepat liburan lebaran, ia mengumandangkan adzan shalat shubuh sehari setelah hari raya Idul Fitri. Saat itu suasana masjid sepi. Ia adzan tidak di awal waktu. Diperkirakan sekitar jam setengah enam. Kontan hal ini membuat geger masyarakat. Meskipun jika adzan dikumandangkan tepat waktu hanya beberapa glintir orang saja yang mendatangi masjid untuk shalat shubuh berjama’ah, adzan subuh Ki Mursyid, demikian orang sekitar memangilnya, tetap saja membuat heboh warga kampung. Mungkin Ki Mursyid ingin mengingatkan bahwa ayo cepet bayar ambekan yang kita pakai setap detik dengan shalat, hanya itu. Wassalam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun