Mohon tunggu...
Maman A Rahman
Maman A Rahman Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis tinggal di Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengenang Perjuangan Ibu Djuju Djubaedah

5 Mei 2011   05:36 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:04 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

[caption id="attachment_102558" align="alignright" width="300" caption="Ibu Nyai Djuju Djubaedah "][/caption] Usia boleh lanjut, rambut boleh memutih tetapi semangat untuk memperjuangkan keadilan perempuan dan laki-laki harus terus dilakukan tanpa mengenal lelah. Semangat berjuang itulah yang selalu terpancar pada wajah dan kata demi kata yang terlontar dari aktivis perempuan ini. Ibu Djuju Djubaedah perempuan kelahiran Tasikmalaya ini ketika di forum bicaranya lantang dan kalau mempertahankan pendapat tak kenal menyerah sampai pada titik ada sesuatu yang bisa dikompromikan. Sejak masih kuliah di IAIN Sunan Kalijaga Jogjakarta, Ibu dari 3 anak ini sudah aktif berorganisasi. PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) menjadi tempat untuk mengaktualisasikan diri dan mengembangkan wawasannya. Sebagai seorang aktivis gerakan, berdiskusi dan beradu argumentasi adalah sesuatu yang biasa dilakukannya. Selepas menempuh pendidikan Sarjana, perempuan yang lahir pada 21 April 1950 ini mengabdikan diri di kampung halamannya yaitu di lingkungan pesantren Cipasung Tasikmalaya. Menjadi pengajar kitab ”kuning” di pesantren di malam hari dan menjadi guru di lembaga formal pesantren mulai dari tingkat SLTP sampai menjadi dosen di PTI (Perguruan Tinggi Islam). Selain sibuk memberikan mata pelajaran di pesantren, sekolah dan perguruan tinggi, Ibu berlima belas saudara ini aktif juga mengikuti kegiatan-kegitan yang diadakan oleh LP3ES, Depag dan lembaga lainnya. Selain aktif berorganisasi, perempuan yang mengaku waktu menikahnya dijodohkan orang tuanya ini sibuk mengurus anak-anaknya sendirian (single parent). Suami tercinta telah meninggalkannya untuk selama-lamanya sewaktu usia pernikahan baru berumur 9 tahun. Sebuah perjuangan yang tidak ringan, membesarkan tiga anak sendirian dan juga aktif melakukan kerja-kerja sosial. Pergulatannya di persoalan-persoalan masyarakat telah mengantarkan ibu Djuju bersentuhan dan berkenalan dengan wacana kemasyarakatan yang berkembang waktu itu. Pada tahun 1995 ada pelatihan kesehatan reproduksi yang diadakan oleh sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat yang ada di Jakarta. Sejak saat itu ibu Djuju bersentuhan dengan isu-isu keperempuanan dan mengenal cara-cara lain pembacaan kitab dengan perspektif perempuan. Persentuhannya dengan wacana perempuan dan Islam membawa putri Hj. Suwa dan H. Ado Hadori ini akrab dengan aktivis-aktivis perempuan lainnya. Lies Marcoes dan Rosalia Sciortino adalah sahabat-sahabat dari sejumlah aktivis yang menjadi teman dalam menggeluti wacana perempuan waktu itu. Pergulatan wacana perempuan dan keislaman semakin dalam digeluti. Pergaulan dengan aktivis perempuan semakin luas.   Keseriusan dan ketekunannya dalam melakukan kerja-kerja sosial khususnya pemberdayaan perempuan telah mengantarkan bu Djuju untuk bersama aktivis perempuan lainya mendirikan Rahima dan menjadi pengurus LSM tersebut dan bahkan keteguhan dan kekonsistensi ibu Djuju telah memperkuat temen-teman Rahima untuk memilih ibu Djuju menjadi ketua pengurus yayasan Rahima untuk periode 2005 - 2009. Ketika ditanya tentang strategi apa yang harus dilakukan gerakan perempuan untuk memperjuangkan hak-haknya? Beliau menjelaskan bahwa problem perempuan sangat kompleks, oleh karena itu penanganannya pun harus simultan , menyeluruh, konsisten berjaringan dan tidak boleh sepotong-sepotong. Kini kita hanya bisa mengenang semangat ibu Djuju. Hampir setahun yang lalu, tepatnya bulan Mei 2010 sesepuh gerakan perempuan di Tasikmalaya yang tanggal lahirnya sama dengan RA Kartini itu meninggalkan kita semua untuk selama-lamanya. Kalimat terakhir yang masih terngiang di telinga kami semua adalah ”ruhul jihad”, semangat berjihad, untuk menegakan hak-hak perempuan. Do’a kami, semoga ibu Nyai Djuju mendapat tempat yang damai disisi-Nya. Amin. Sebagian tulisan ini pernah dimuat di majalah Swara Rahima Edisi No. 17 Th. VI, Pebruari 2006 dan disesuaikan kembali setelah beliau wafat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun