Mohon tunggu...
Maman A Rahman
Maman A Rahman Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis tinggal di Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Di Kaki Gunung Kuda Aku Mengucap Qabiltu

19 Oktober 2018   09:45 Diperbarui: 19 Oktober 2018   10:12 322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: thebridedept.com

Di gerbang masjid terlihat Ibu Bapak calon mertuaku menyambut. Dengan senyum merekah kucucup tangan mereka dengan rasa takdim. Aku disambut dan dipeluknya dengan hangat oleh mereka bak pangeran yang datang dari kerajaan agung. Dikalunginya leherku dengan untaian melati yang wanginya memenuhi ronga hidungku. Tak terasa mataku sembab. Penyambutan yang membuatku merasa sudah diterima menjadi bagian dari keluarga calon istriku.

Langkahku semakin mantap memasuki masjid. Rombongan pun perlahan memasuki masjid dengan teratur: laki-laki duduk di sebelah kanan sementara perempuan duduk di sebelah kiri. Aturan seperti ini baru aku temukan di sini. Sebelumnya, aku lihat laki-laki perempuan bercampur begitu saja.    

Kulihat keluarga dari pihak perempuan juga sudah masuk ke dalam masjid, bergabung dengan keluargaku. Kulihat beberapa laki-laki tua dengan baju gamis dan jenggot yang panjang dan lebat terlihat juga di masjid. Aku turut bersyukur akad nikahku disaksikan orang-orang yang kelihatannya sholeh dan tentunya mereka akan turut mengamini do'a-do'a yang akan dipanjatkan untuk kebaikan pernikahanku.

Aku duduk di tengah masjid dengan karpet hijau terasa empuk dan terkesan mewah. Kusapu pandanganku ke orang-orang yang hadir di masjid. Mereka terlihat bahagia. Tapi hatiku kecut teringat kedua orang tuaku. Mereka pasti bahagia kalau mereka masih ada.

Aku tidak banyak mengenal sosok ayah. Ketika aku berumur sekitar 6 tahun, ayah sudah meninggalkanku untuk selama-lamanya. Tidak banyak kenangan indah bersamanya. Yang masih kuingat adalah nasihatnya "belajarlah yang rajin untuk bekal hidupmu kelak." Selain itu, bayanganku tentang sosok ayah adalah seorang laki-laki pekerja keras dan sangat suka menanam tanaman. Di rumah, di dekat kamar mandi,  sering aku lihat bibit pohon kelapa atau yang sering disebut kitri berjejer siap untuk dipindahkan ke kebun. Di tempat lain, aku lihat berbagai bibit seperti kacang panjang, kacang hijau, pare, cabai, pare belut dan jagung tersimpan rapi di berbagai botol yang bebentuk antik dan  di dalamnya ada abunya.

"Untuk apa abu-abu itu, Ayah?" Tanyaku melepas keingin tahuanku.

"Oh itu biar biji-biji itu kuat, tahan lama tidak busuk."  

Jawabnya sambil mengambil salah satu botol yang berisi kacang tanah dan menumpahkan di telapaknya.    

Hasil tanamannya masih aku dapat menikmati. Aku sangat senang ketika diajak Ayah memanen kacang tanah, jagung dan palawija lainnya. Biasanya ayah akan segera mencuci dan memasaknya. Kami pun segera menyerbunya meskipun masih dalam keadaan panas.  

Ketika musim mangga tiba, kami  memanen bisa sampai berkarung-karung. Sangat beragam mangga yang Ayah tanam: harum manis, cengkir, bapang, gedong, keweni dan lainnya. Almarhumah Ibu biasanya akan memintaku untuk membagikan sebagian kepada para tetangga.

"ini bagikan ke tetangga tiga-tiga." Begitu Ibu memberikan perintahnya. Aku membawanya di cepon, wadah yang terbuat dari anyaman bambu. Biasanya buat tempat nasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun