Mohon tunggu...
Maman A Rahman
Maman A Rahman Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis tinggal di Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Meninggalnya Seorang Debt Collector

28 September 2018   15:21 Diperbarui: 28 September 2018   15:51 894
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Foto:money.cnn.com)

Pernah Pak Omy bercerita tentang anak keduanya, si Ibra. Katanya, si Ibra itu anaknya tidak tegaan. Waktu di dalam rumahnya ada seekor kucing yang melahirkan anak-anaknya ia tidak tega untuk mengusirnya. 

Waktu itu, saya akan menangkap kucing-kucing itu dan dimasukkan ke dalam karung dan membuangnya jauh-jauh. Tapi apa yang dikatan si Ibra. "Jangan Pak kasihan. Nanti siapa yang akan memberi makan? Ibunya kan lagi sangat butuh makanan biar air susunya banyak." Pak Omy bercerita dengan mata sembab. Terlihat ada keharuan dan kebanggaan pada anaknya itu. Meskipun ia sebagai debt collector yang seringkali menggunakan kekerasan dalam menjalankan tugasnya tetapi hati anaknya begitu halus dan penuh kasih sayang.

Sejak saat itu, Pak Omy sebagai pemimpin debt collector berubah. Ia mengurangi kekerasan dalam menghadapi orang yang menunggak hutangnya, kartu kreditnya  atau orang yang belum bayar cicilan motornya. Ia lebih mementingkan negosiasi untuk mencapai penyelesaian masalah yang lebih menguntungkan kedua belah pihak.

Ketika bulan agustus tiba. Saya paling senang kalau pas kebetulan satu tim dengan Pak Omy dalam lomba tarik tambang. Karena ia tubuhnya besar, ototnya kuat seperti kawat, tenaganya besar seperti tenaga banteng. Biasanya kami selalu menang kalau lomba tarik tambang. "ini om, lumayan hadiahnya." Katanya menyerahkan uang hadiah tarik tambang, suatu waktu.

***

Pada suatu pagi, saya dikagetkan kabar bahwa Pak Omy meninggal. "Iya, Pak Omy meninggal pagi tadi. Kata mas Bayu. "Iya mas, saya ikut mengangkat ke mobil untuk dibawa ke Rumah Sakit."

Tetangga, warga sekitar pun heboh. Mereka mulai berdatangan ke rumah Pak Omy.  Sementara anak-anaknya sudah berangkat ke sekolah. Teman-temannya yang berasal dari satu daerahnya mulai berdatangan. Ada yang menyiapkan tempat untuk jenazah. Ada yang menjemput anak-anaknya di sekolah. Ada yang membuat bendera kuning untuk memberitahukan ada yang meninggal dan lain sebagainya.

Ketika anak sulungnya di jemput di sekolahnya, ia tidak percaya Bapaknya meninggal. "Saya tidak percaya, Bapak saya meninggal. Tadi pagi Bapak mengantar saya ke sekolah." Katanya dengan mata menyala-nyala tak percaya. 

Orang yang menjemput terus berusaha menyakinkan bahwa benar Bapaknya telah meninggal dunia. "Kalau Bapak saya meninggal dunia, siapa yang membunuhnya?" katanya dengan penuh emosi. Tangisnya muai pecah. Dengan meronta-ronta "siapa yang berani membunuh Bapak saya, siapa?" tantangnya.

Si Ibra sudah sampai rumah sedang menangis dalam dekapan saudaranya. Sementara si Ema yang baru datang dengan seragam putih merah lengkap dengan topi dan tas rangselnya menangis tak henti-hentinya. Saya mencoba menenangkannya dan para tetangga membujuk mengajak ke rumahnya, menghibur dan menguatkannya.

Beredar cerita pagi itu. Pak Omy, semalam mengeluh tidak enak badannya. Ia bercerita ke istrinya ingin minum jamu karena sakitnya itu. Malam itu, mereka berdua berboncengan motor mendatangi kedai jamu di Pasar Minggu dan Pak Omy pun meminumnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun