Â
Nenek Sari, begitu orang-orang kampung memanggilnya. Usianya diperkirakan sekitar 90 tahun. Ia tinggal bersama  Par, anak laki-laki yang sudah sangat berumur. Dua anak lainnya, Kariyem dan Karyo sudah menikah. Kariyem mengikuti suaminya ke Jakarta. Sementara Karyo menikah dengan gadis asal Cirebon. Mereka tinggal di rumah mertuanya.
Nenek Sari tinggal di rumah berdinding yang terbuat dari bilik bambu. Lantainya beralaskan tanah. Atapnya terbuat dari genteng tanah tanpa plafom. Di depan rumahnya ada tanah kosong kepunyaan Pak Haji Ramli. Sementara sebelah kanan rumahnya selokan kecil yang airnya mengalir deras ketika musim hujan. Tapi kering kerontang ketika kemarau tiba dan dipenuhi daun-daun mangga kering.  Â
Nenek Sari terkenal di kampungnya. Meskipun sudah berumur, Nenek Sari masih begitu sehat. Jalannya tidak terlalu bongkok. Pendengarannya masih tajam. Matanya masih awas. Bicaranya masih jelas. Ingatannya masih kuat.
Tidak hanya itu. Nenek Sari namanya melambung setelah rentetan kejadian luar biasa menimpanya: ia sampai tiga kali dinyatakan meninggal oleh keluarga dan tetangganya tapi kemudian ia bangun lagi, sehat lagi. Atas kejadian itu, Nenek Sari dikenal masyarakat sekitarnya sebagai Nenek sakti.
 ***
Suatu hari, masyarakat sekitar Desa Slatri, salah satu desa di Brebes, berdatangkan ke rumah Nenek Sari. Mereka dikagetkan dengan kabar dari mulut ke mulut bahwa Nenek Sari meninggal dunia. Â Ada juga yang mendengar berita kematian Nenek Sari dari pengumuman di masjid atau mushola. Â Mereka ada yang membawa beras, amplop dan lain sebagainya.
Di rumah Nenek Sari sudah penuh sesak para pelayat. Jenazah dibaringkan di ruang tengah. Tikar pandan digelar untuk alasnya. Di samping pintu masuk ada baskom yang ditutup kain tipis semacam kerudung, yang dari luar terlihat amplop dan uang kertas. Itu adalah baskom tempat para pelayat memberikan sumbangan untuk meringankan beban keluarga yang ditinggal.  Beberapa orang terlihat sedang mengaji. Beberapa lainnya  menengadahkan tangan memanjatkan do'a untuk Nenek Sari. Sementara sejumlah bapak-bapak sedang sibuk mengatur kursi dan membuat tenda agar tidak terlalu panas. Ada juga dua orang yang terlihat sedang menyiapkan kayu untuk penutup liang lahat. Ada juga tetangga yang sedang membantu membuat nama di kayu yang akan dijadikan patok tanda di atas kuburan.
Terlihat Mas Par, anak sulung Nenek Sari memakai kaos hitam dan berpeci hitam kemerah-merahan, sibuk mondar mandir menyiapkan segalanya. Sementara dua anak lainya belum kelihatan batang hidungnya.
Seorang tetangga bertanya kepada Mas Par.
"Mas, Kariyem dan Karyo sudah diberitahu?"
"Sudah. Mereka masih dalam perjalanan." Jawab Mas Par.
Kemudian mas Par melanjutkan kesibukannya menyiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan jenazah: menghubungi lebe atau amil, pinjam alat untuk memandikan jenazah, menghubungi bagian pemakaman dan tetek bengek lainnya.Â
Sementara jenazah Nenek Sari ditutupi kain batik beberapa lapis.Orang-orang yang berdatangan terus bergiliran mengaji suaranya bagai suara tawon, mengiung. Â Â
 ***