Mohon tunggu...
Maman A Rahman
Maman A Rahman Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis tinggal di Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ulama Perempuan Ada untuk Kemaslahatan Manusia

26 November 2010   23:32 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:16 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Ulama perempuan ada ya?.... ha ha... kayaknya perlu dirumuskan ulang konsep ulama itu sendiri. jika konstruksinya masih seperti sekarang, perempuan sulit jadi "ulama", mentok2 jadi istrinya ulama... he3...”

Kalimat di atas adalah komentar teman baikku atas status facebookku ”Semiloka 'Masa Depan Kepemimpinan Ulama Perempuan' usai sudah. Kader Ulama Perempuan kembali ke rumah &jamaahnya masing2. Terima kasih telah berbagi pengalaman dlm mengupayakan kehidupan yg lebh baik, kehidupan tanpa kekerasan.”

Komentarnya cukup menyengat. Membuat saya memikirkan ulang kata ”ulama perempuan” yang sudah menjadi kata sehari-hari di tempat kerjaku. Dulu temen ini satu kontrakan denganku waktu masih kuliah di Ciputat. Komentarnya membuat aku terus memikirkannya, di tempat tidur bahkan ketika aku mengendarai motor.

Setelah saya pikirkan terus. Istilah ulama perempuan memang telah merusak kontruksi pemikiran yang sudah ada. Bahwa ulama adalah identik dengan laki-laki. Apalagi kata ulama perempuan disandingkan dengan kata kepemimpinan. Kata kepemimpinan juga seringkali diidentikan dengan laki-laki. Dalam budaya patriatkhi pemimpin hanya milik kaum adam. Perempuan tidak punya hak untuk memimpin, sepintar apapun perempuan.

Judul Seminar Nasional dan Lokakarya ”Masa Depan Kemimpinan Ulama Perempuan” telah mengusik ”kekuasaan” laki-laki dalam hal keulamaan dan kepemimpinan. Kalimat tersebut bagaikan bom yang menghancurkan kota Hiroshima dan Nagasaki yang meluluhlantahkan kesombongan Jepang. Begitu pun judul seminar di atas. Mungkin banyak laki-laki yang terusik kekuasannya, sehingga tidak sedikit yang mempertanyakan judul seminar di atas.

Disadari bahwa menghadirkan ulama perempuan ditengah masih kuatnya budaya patriakhi dan sistem pendidikan pesantren yang semakin terintegrasi dengan kurikulum pemerintah tidak semudah membalikan telapak tangan. Mencari bibit ulama perempuan yang menguasai kitab klasik bagaikan mencari jarum ditumpukkan jerami. Namun, apa pun tantangannya untuk menghadirkan ulama perempuan di tengah-tengah masyarakat perlu terus diupayakan. Saya teringat komentarnya mama Dedeh (mubalighah yang kerap tampil di TV) ketika diwawancarai Rahima untuk pembuatan film ”Ulama Perempuan”. Beliau berpendapat bahwa ulama perempuanlah yang lebih memahami persoalan perempuan.

Kehadiran ulama perempuan di tengah menumpuknya persoalan perempuan adalah sesuatu yang dinanti. Kedalaman pengetahuan tentang persoalan perempuan dibarengi dengan empati terhadap penderitaan perempuan, ulama perempuan sangat diharapkan kehadirannya meski tantangan untuk itu terus menghadang, tantangan kultural maupun struktural. Ulama perempuan dituntut tidak hanya fasih membaca kitab kuning tetapi juga peduli terhadap persoalan umat.

Teman baikku yang lain menanggapi tulisanku di kompasiana “Perempuan Juga Bisa Jadi Ulama”. Menurutnya, ulama perempuan masih harus diuji oleh kesiapannya mengabdi melayani umat“Masih harus diuji oleh pengalaman bergelut dengan kesediaan untuk melayani umat, term ulama yang melekat pada kaum laki-laki – mungkin perlu digeser. Tetapi satu hal yang pasti, ulama tidak diperoleh dari klaim, tetapi melalui pengakuan dari masyarakatsendiri. Tentu setelah melalui proses panjang hingga secara keilmuan memadai dan pergulatannya melayani umat. Saya ingat salah satu ciri ulama dari Gus Mus yakni, ‘mereka yang melihat umatnya dengan mata kasih sayang’”

Akhirnya, ulama perempuan memang harus ada dan mengada untuk mengabdi pada kemanusiaan. Mendampingi perempuan dengan empati dan kasih sayang. Biarkan masyarakat yang menilai apakah mereka layak disebut “ulama” atau sebutan apapun. Yang jelas, ilmu agama yang dimiliki berguna bagi kemaslahatan manusia. Wallahu a’lam Bishowab.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun