Mohon tunggu...
Maman A Rahman
Maman A Rahman Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis tinggal di Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Klitoris yang Terpotong

18 Oktober 2010   21:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:19 1411
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Pro Kontra tentang Khitan Perempuan harus diakui masih terus bergulir. Perdebatan persoalan ini sesungguhnya lebih banyak pada wilayah pemahaman agama dengan ketaatan menjalankan tradisi atau budaya, ketimbang persoalan medis. Tulisan ini akan mencoba melihat hubungan Khitan Perempuan dengan relasi setara seksualitas pada perempuan.

Dalam beberapa hasil penelitian tentang Khitan Perempuan di sejumlah wilayah di Indonesia, ditemukan keberagaman praktik dan alasan praktik Khitan Perempuan. Dari alasan menjalankan tradisi sampai keyakinan atas pemahaman agama. Dalam praktiknya, dari "sekedar" mengoleskan kunyit pada ujung klitoris sampai pada pemotongan ujung klitoris. Bahkan di beberapa wilayah di Afrika, konon pemotongannya sampai menghabiskan klitoris dan bibir bagian dalam vagina.

Sebagaimana hasil penelitian Rahmah Ida pada masyarakat Madura. "Khitan Perempuan, bagi sebagian masyarakat Madura, dianggap sebagai tradisi yang turun-temurun yang tidak perlu dipertanyakan lagi. Hal itu menyebabkan efek samping sunat tidak ditanggapi secara serius." (Sunat, Belenggu Adat Perempuan Madura, PSKK UGM 2005).

Persoalan khitan perempuan, tidak hanya praktik budaya biasa. Dampak yang dirasakan oleh "korban" sangat luar biasa. Seperti yang dituturkan Sarah (sebut saja demikian) , 36 tahun. Kenangan traumatis itu masih membekas dalam dirinya saat bercerita pada Tempo Interaktif, tahun 2006. Mungkin banyak perempuan-perempuan lain yang mengalami trauma yang berkepanjangan setelah mengalami khitan pada waktu kecil. Begitu juga, ibu yang menemni anak perempuan yang di sunat. Seperti yang dituturkan ibu Hamidah "saya tidak tahan melihat itunya anak saya diputhas sampai keluar darahnya.....nangis ngejjel nggak wis-wis meskipun saya gedhong...".

Menurut Nawal El Saadawi, seorang dokter dan aktivis kemanusiaan "praktik sunat perempuan merupakan tindakan yang dimaksudkan untuk mendominasi perempuan dalam masyarakat patriarkhal. Apa pun alasannya, khitan perempuan telah memberi dampak negatif bagi perempuan meski hanya dengan mengoleskan kunyit. Karena itu sesunggugnya simbolisasi dari terpotongnya hak-hak perempuan. Karena pada praktik khitan perempuan tidak ada argumentasi yang bisa dihadirkan kecuali alasan untuk mengurangi perempuan untuk menikmati seksualitasnya.

Saya kira pemerintah melalui Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Anak dan Kementerian Kesehatan sudah memberikan peringatan akan bahaya khitan perempuan.

Menneg Pemberdayaan Perempuan, saat Meutia Hatta Swasono menjadi mentrinya dalam lokakarya Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan terhadap Perempuan berkaitan dengan praktik sunat perempuan, sangat berharap Depkes menerbitkan larangan bagi petugas medis/paramedis, termasuk fasilitas kesehatan pemerintah maupun swasta, untuk tidak melakukan medikalisasi sunat pada perempuan. Sementara Menkes juga dalam sambutan tertulisnya, pada acara tersebut, bahwa sunat perempuan tidak pernah ada dalam standar pelayanan kesehatan.

Dengan demikian, sudah saatnya kita untuk tidak lagi menjadikan perempuan korban khitan perempuan yang terpotong klitorisnya, baik secara simbolis maupun benar-benar terpotong. Biarkan perempuan tersenyum menikmati seksualitasnya.

<span styl

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun