Kasus perceraian di Subang, salah satu Kabupaten di Jawa Barat, terbilang tinggi. Pada tahun 2011 kasus perceraian berjumlah 2.555 dan menurun pada tahun 2012 yaitu 2.498 dan menurun lagi pada tahun 2013 menjadi 2464. Namun, pada tahun 2014 kasus perceraian di Subang mengalami lonjakan yang cukup tinggi yaitu menjadi 2.714 kasus. Artinya ada lonjakan 250 kasus dari tahun 2013. (Badilag.net)
Data ini masih berstatus kasus atau perkara yang belum menjadi angka perceraian. Karena kasus atau perkara yang masuk tidak semuanya yang dikabulkan menjadi perceraian. Ada yang dicabut dan ada juga yang digugurkan, artinya perceraiannnya tidak jadi. Namun demikian, dari perkara yang diproses di Pengadilan Agama hanya sebagian kecil kasus perceraian yang dicabut atau digugurkan.
Jika kita lihat data angka pernikahan di Subang yaitu rata-rata 1200 pasagan yang menikah maka ada sekitar 200 lebih pasangan yang mengajukan perceraian setiap bulannya. Dan jika dipilah dari sisi pihak yang mengajukan perceraian maka kita akan dapati bahwa angka cerai gugat (pihak istri yang mengajukan) jauh lebih tinggi ketimbang cerai talak (suami yang mengajukan).
Sebagai contoh, pada tahun 2013, kasus cerai gugat sebanyak 1661 sedangkan kasus cerai talak hanya 803 kasus. Begitu pun tahun 2014 angka cerai gugat juga jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kasus cerai talak yaitu 1859 cerai gugat berbanding 855 kasus cerai talak.
Kembali lagi ke tingginginya kasus perceraian di Subang ini, kita bisa bertanya apa sih penyebabnya sehingga banyak pasangan yang mengajukan perceraian?Data Badilag menunjukan bahwa ada dua alasan yang paling sering diajukan yaitu karena persoalan ekonomi dan tidak adanya tanggung jawab dari pasangan. Jika dilihat tingginya kasus cerai gugat maka faktor tidak adanya tanggungjawab suami menjadi salah satu alasan yang besar dalam menyumbang tingginya angka perceraian di Subang.
Jika melihat sangat sedikitnya kasus perceraian yang dicabut, maka sudah selayaknya pertanyaan efektifitas mediasi di pengadilan diajukan. Apakah cukup efektif mediasi di pengadilan dalam membantu mengerem tingginya angka perceraian? Atau perlu memaksimalkan peran KUA (Kantor Urusan Agama) dalam memberikan kursus calon pengantin (SUSCATIN) atau meningkatkan peran BP4 (Badan Penasihatan, Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan) sebagai lembaga yang memberikan konseling pernikahan di luar pengadilan?
Keterlibatan pemerintah dalam mengurangi tingginya angka perceraian ini sangat dibutuhkan yaitu misalnya dengan membuat aturan yang menjadikan kursus pra-nikah sebagai salah satu persyaratan administratif bagi calon pasangan yang akan menikah, meningkatkan usia perkawinan dan menyediakan sebanyak mungkin lapangan kerja, sehingga tidak alasan lagi perceraian karena faktor ekonomi dan tidak adanya tanggungjawab suami.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H