Mohon tunggu...
Maman A Rahman
Maman A Rahman Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis tinggal di Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ketika Saudara Numpang Hidup di Rumah Kita

24 Februari 2014   15:54 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:31 12973
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Biaya hidup yang tinggi,seperti sewa rumah dan makan,di kota besar seperti Jakarta mendorong sejumlah keluarga hidup dengan berbagi. Misalnya satu rumah kontrakan dihuni oleh banyak orang.Seperti yang dialami oleh keluarga Paijo dan Sainem (bukan nama sebenarnya).

Awalnya mereka hidup berempat, suami, istri dan dua anak perempuan. Anak pertama berumur sekitar 20 tahun sedangkan anak kedua sekitar 9 tahun. Selama ini mereka terlihat hidup bahagia, meskipun dengan keadaan ekonomi yang pas-pasan. Mereka tinggal di sebuah rumah kontrakan berbentuk petakan, dengan satu ruang tamu, satu ruang tidur dan dapur dan kamar mandi. Antara ketiga ruangan tersebut dihalangi dinding dan hanya ada satu akses menuju ketiga ruangan tersebut. Rumah petakan tersebut berukuran sekitar lebar empat meter dan panjang sembilan meter. Bisa dibayangkan, betapa sempitnya ruangan tersebut dengan berpenghuni tiga orang dewasa dan satu anak-anak.

Kondisi tersebut berubah ketika seorang adik suami, usianya sekitar 40an,datang dari kampung ikut numpang hidup bersama mereka. Pilihan sulit tentunya, karena sang adik belum punya pekerjaan tetap sehingga tidak mampuhidup mandiri. Awalnya, satu dua hari,mereka masih bisa menjaga perasaan. Tetapi selanjutnya masalah mulai muncul. Selain persoalan ekonomi, privasi mereka juga mulai merasa terganggu., terutama bagi sang istri. Ia tidak seleluasa ketika tidak ada orang lain di rumahnya. Ia tidak bisa berbuat banyak, walau bagaimana, yang numpang itu adalah saudara suami yang harus dibantu.Sang suami pun tidak bisa bersikap tegas terhadap adiknya sendiri.

Setelah beberapa tahun hidup numpang dan tak kunjung mendapat pekerjaan di Jakarta, akhirnya ia pulang kampung.Keluarga ini pun terbebas dengan masalah yang dihadapi. Tidak lama kemudian, giliran keluarga istri yang mau ikut bersama keluarga ini. Seorang anak laki-laki dari kakaknya istri (ponakan) lulusan SMA datang ke Jakarta utuk mencari pekerjaan. Awalnya, sang suami memberikan izin untuk hidup bersamanya. Meskipun akhirnya sang ponakan mendapat pekerjaan, tetapi ia belum mampu untuk menyewa rumah sendiri. Setelah beberapa bulan, masalah mulai muncul. Komunikasi antara sang suami dengan ponakan tidak berjalan baik. Sang ponakan segan bicara dengan sang paman, begitu pun sebaliknya. Meskipun mereka jarang bertemu, sekali-kali bertemu mereka tetap tidak berkomunikasi secara akrab.Ditambah sang ponakan kurang bisa membawa diri, jarang membantu pekerjaan-pekerjaan rumah, seperti menyapu, membersihkan rumah dan sebagainya. Suasana pun semakin membeku. Puncaknya, sang suami berbicara kepada istriya pada satu kesempatan “Jika mau mempertahanan dia silakan. Tapi saya akan keluar dari rumah ini”. Kalimat tersebut sangat menyengat bagi sang istri dan memberikan pilihan sulit baginya. Walau pun bagaimana, ponakanya itu titipan dari kakaknya sendiri. Apalagi ayah sang ponakan sudah meninggal dunia. Ia tidak sampai hati untuk mengusir ponakannya sendiri. Di sisi lain, sang suami sudah membuat keputusan.

Akhirnya sang istri, dengan berat hati, berbicara kepada sang ponakan. “Jika kamu sayang tante, tolong tinggal di tempat lain dulu ya”. Akhirnya, sang ponakan menurut anjuran tantenya. Ia tinggal di tempat yang disediakan perusahaannya. Keluarga pun untuk sementara dapat diselamatkan.

Inilah salah satu kasus keluarga yang ditumpangi keluarga besarnya. Mungkin banyak lagi keluarga yang hidup dengan keluarga besarnya padahal tempat tinggalnya tidak memadai. Sehingga banyak persoalan ada di dalamnya, misalnya masalah ekonomi, seksualitas, privasi, pendidikan dan sebagainya.

Dari pengalaman di atas, banyak hal yang dapat diambil hikmahnya. Pertama, menolak dan tidak berbagi dengan keluarga yang sangat membutuhkan tumpangan hidup bukan sikap bijaksana. Namun, perlu dibarengi dengan sikap keterbukaan dan komunikasi. Termasuk dengan keluarga yang akan ikut dengan kita. Pembagian tugas dalam mengurus rumah, baik juga melibatkan orang yang numpang. Mengandalkan “pengertian” saja terkadang tidak cukup.

Kedua, bagi keluarga yang menumpang, baik juga bersikap pro aktif untuk membantu pekerjaan rumah keluarga tidak mesti harus diperintah dulu. Sehingga ada saling mndapat manfaat. Banyak orang yang mendapat simpati dari orang yang ditumpangi karena pinter membawa diri.

Ketiga, jika pun harus menyelesaikan masalah dengan meminta keluarga untuk tinggal di tempat lain perlu dilakukan dengan hati-hati, dengan kata-kata yang tidak menyakitkan dan menibulkan salah paham. Karena pada kondisi ini, emosi seringkali susah dikontrol.

Demikian sekilas kisah kehidupan keluargadengan persoalan adanya keluarga yang ikut di dalamnya. Semoga menjadi pembelajaran untuk kita semua. {}

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun