Mohon tunggu...
Man Suparman
Man Suparman Mohon Tunggu... w -

Man Suparman . Email : mansuparman1959@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sawan Kuya: Bisa Naik tak Bisa Turun

2 Juni 2017   09:09 Diperbarui: 2 Juni 2017   09:29 672
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

“SAWAN Kuya”. Artinya bisa naik tak bisa turun, yang diumpamakan seperti kura-kura. Istilah "sawan kuya" di tatar Sunda sering dijadikan olok-olok, misalnya saja “Maneh mah jiga si Kabayan, bisa naek teu bisa turun” (Kamu seperti si Kabayan, bisa naik tak bisa turun).

Istilah Sawan Kuya dalam kekinian boleh juga diumpamakan terhadap pejabat bermasalah yang tidak mau turun dari jabatannya. Boleh juga digunakan terhadap kenaikan harga-harga bahan pokok, seperti selama bulan suci Ramadhan, apalagi dalam menjelang Hari Raya Idul Fitri.

Kenaikan harga-harga sembilan bahan pokok (sembako), jika sudah naik sangat sulit untuk turun lagi. Meskipun pemerintah melakukan pelbagai upaya dan antisipasi, misalnya melakukan penangkapan terhadap pelaku penimbunan sembako dan operasi pasar. Sayangnya, kedua upaya itu, tidak memiliki pengaruh yangh signifikan untuk menurunkan atau mengendalikan harga-harga sembako, karena sifatnya temporer.

Kebiasaan naiknya harga-harga sembako dalam menjelang hari-hari besar seperti bulan suci Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri, biang keroknya bukan siapa-siapa, tetapi saudara kita sendiri, bangsa kita sendiri yang bernafsu ingin mengeruk keuntungan dalam sistim ekonomi yang ditentukan oleh pasar.

Mahalnya harga-harga sembako selain akibat perilaku para biang kerok penimbun sembako, juga akibat panjangnya mata rantai distribusi sembako dari petani . Setidaknya distribusi sembako bisa mencapai tujuh, bahkan sembilan mata rantai, misalnya dari petani – tengkulak – penampung – bandar – dari bandar yang satu pindah ke bandar yang lain kemudian pedagang pengecer di pasar.

Dengan panjangnya mata rantai distribusi inilah yang membuat harga-harga sembako mahal, sedangkan bagi petani sendiri (misalnya petani sayuran) menjual hasil pertaniannya ke tengkulak dengan harga rendah. Sehingga nasib petani tidak lebih baik, justru yang untung hanya setingkat tengkulak, bandar atau mafia yang menguasai pasar.

Untuk itu, dalam upaya menurunkan harga-harga sembako dan kebutuhan lainnya yang stabil, pemerintah harus melakukan upaya-upayab yang signifikan yaitu dengan cara memotong atau memperpendek mata rantai distribusi kebutuhan sembako yang diproduksi oleh petani.

Rasanya tidak haram jika di setiap daerah dibentuk badan usaha milik daerah (BUMD) yang menampung hasil produksi sembako atau hasil pertanian dari petani ke tengkulak, bandar kemdian masuk ke BUMD yang selanjutnya menyalurkan kepada para pedagang pengecer. Sehingga tercipta mata rantai yang pendek dengan sendirinya harga-harga kebutuhan pokok dapat dikendalikan melalui komitmen yang dibangun antara BUMD petani/produsen, tengkulak dan pedagang.

Harga-harga kebutuhan pokok dapat stabil karena adanya pengendalian sesuai dengan komitmen yang telah dibangun tersebut. Dengan begitu, barangkali tidak akan ada lagi istilah “Sawan Kuya”, jika ada kenaikan harga-harga bisa dikendalikan. Wallahu’alam.

000

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun