Mohon tunggu...
Zidna Ilhami
Zidna Ilhami Mohon Tunggu... Editor - Fans garis keras

Hiduplah sesantai mungkin sampai kamu lupa tugas dan kewajibanmu.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Silent Majority Berpihak pada Prabowo-Gibran

28 Februari 2024   15:37 Diperbarui: 28 Februari 2024   16:41 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: bylinetimes.com/ (Diolah sedikit)

Pilpres 2024 yang baru saja berlalu ini memang dipenuhi oleh kegaduhan suara-suara. Bahkan beberapa hari sebelum hari pelaksanaan pencoblosan, kehebohan pun pecah dengan hadirnya film 'Dirty Vote', yang jika diartikan secara bebas bisa diartikan sebagai 'pemilihan kotor'. Dengan kata lain, sebutan itu merujuk menyiratkan pada adanya permainan kotor di dalam sebuah pemilihan yang dilakukan oleh pihak tertentu.

Pasca ini, maka suara-suara yang mendiskreditkan 02 pun semakin nyaring baik itu datang dari kubu 01 maupun dari pendukung 03. Dirty Vote, dengan sendirinya, menjadi 'senjata' bagi mereka untuk mendeligitimasi keberadaan mereka. Tujuannya jelas adalah sebuah siasat untuk mendegradasi elektabilitas mereka. Tapi benarkah ada dampak itu?

Jawabannya tidak. Terbukti, Prabowo-Gibran memenangkan dengan angka yang begitu telak: 58% suara berdasarkan hitung cepat semua lembaga survei. Kok bisa? Bukankah 'Dirty Vote' seolah disuarakan oleh banyak orang, dan mendominasi perbincangan baik di dunia maya atau di dunia nyata?

Inilah yang akhirnya muncul apa yang disebut sebagai 'Silent Majority', yang digunakan oleh M. Qodari untuk menandai fenomena itu. Secara singkat, pandangan M. Qodari soal Silent Majority bisa disimplifikasi seperti ini: bahwa kegaduhan menyerang 02 itu bukan suatu kegaduhan yang diucapkan oleh mayoritas masyarakat. Kegaduhan itu hanya oleh segelintir orang. Sisanya, yang mayoritas tetap tenang-tenang saja. Mereka memilih diam. Mereka sudah memiliki semacam iman politik yang kokoh untuk melabuhkan pilihan pada pihak 02.

Pandangan ini semula ditentang di forum-forum diskusi oleh pihak lain. Sebab istilah 'Silent Majority' pada mulanya dilekatkan pada pihak oposisi atau yang kontra dengan pemerintah. Tetapi melihat situasi politik saat ini, dengan indikator approval rating atas Jokowi sebesar 75-80 persen, dan pada akhirnya dibuktikan dengan kemenangan Prabowo-Gibran, maka pemaknaan 'Silent Majority' mengalami sebuah pergeseran. Tidak lagi bisa dimaknai secara lama, melainkan baru dan kontekstual saat ini.

Fakta kemenangan Prabowo-Gibran adalah sebuah indikator bahwa pada saat segelintir orang gaduh oleh adanya Dirty Vote, mereka yang mayoritas memilih 'silence', diam saja. Tapi pada hari H, barulah aksi mereka ditunjukkan dengan mencoblos 02. Terbukti 02 menang telak dan basis-basis PDIP yang dianggap sakral sebagai kandang banteng, jebol pula dengan kemenangan 02.

Sebagai penutup, M. Qodari membuat sebuah ilustrasi yang menarik untuk menggambarkan adanya 'Silent Majority' yang berpihak ke 02. Di grup WA keluarganya, ada sesepuh-sesepuhnya yang pilihan politiknya jatuh pada 01 dan 03. Pada saat film 'Dirty Vote' dirilis, sesepuh-sesepuh ini berkoar-koar dan mendegradasi 02. MQ, dan yang muda-muda lainnya di keluarga grup WA, memilih 'silent' hanya demi menghormati sesepuh-sesepuh di dalam keluarga. Apakah yang muda-muda ini berubah pilihan? Tidak! Itulah yang terjadi di bilik suara pencoblosan. Dan itulah hasilnya: Prabowo-Gibran menang telak. Silent Majority berada di sisi 02.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun